Gelembung investasi Murban Energi Pulau Banyak, dua pekan lalu, akhirnya pecah.
Isinya?
Ups. Ingin tahu aja. Uap angin.
So pasti bukan agrement atau persisnya kesepakatan. Jalan kesana, seperti di sampaikan seorang rekan, yang namanya nggak usah di sebut. takut dibreidel, masih panjang.
Masih akan ada studi ulang dan perbaikan persyaratan.
Sang rekan, yang sudah puluhan tahun bermukim di Abu Dhabi, dan bekerja di sebuah corporat investasi, hanya tertawa ketika saya interogasi tentang buyarnya acara penanda tanganan agrement itu lewat video call.
“Ah… nggak usahlah saya ditanyai macam pesakitan. Anda kan seorang jurnalis beken. Bukan wartawan odong-odong,” katanya dalam nada canda diiringi tawa lepas.
“Bukan merupakan pepesan kosong?” tanya saya mengejar jawabannya sebelum ia tertawa lagi. “Entahlah?” jawabnya mengalihkan pembicaraan tentang bagaimana dengan kondisi Pulau Banyak hari-hari ini.
Pembahasan tentang keindahan Pulau Banyak akhirnya menjadi topik utama kami hari itu.
Maaf, sekali lagi saya tak ingin menyebut dan menulis namanya dalam tulisan ini.
Untuk Anda tahu, sang rekan yang saya interogasi itu adalah anak “ketelatan” yang sukses menapak karir sebagai prefesional di bidang investasi.
Anak “ketelatan” ini merupakan sebutan heboh kami sejak remaja bagi mereka yang “keluar” dari Aceh Selatan di akhir tahun enam puluhan
Ia memang anak “ketelatan” yang berasal dari sebuah desa terpencil di ujung Bakongan. Melewati jenjang pendidikan sekolah menengah di Tapaktuan untuk kemudian beringsut melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di salah satu universitas di Jawa.
Sejak mula ia memang senang dengan hitung-hitungan dan menyelesaikan pendidikan akutansinya dengan cumlaude dan bekerja di Jakarta, Singapura, Taiwan serta ke Abu Dhabi.
“Saya concern dengan investasi resort di Pulau Banyak Namun tidak terlalu senang dengan investor luar. Kenapa nggak di bangun lewat kreatifitas anggaran daerah atau pusat. Kok dikit-dikit asing,” katanya dengan nada tinggi.
Masih dengan suara baritonnya, sang rekan, memberitahu bahwa Murban Energi itu ada adukan Cinanya. Kelak mereka akan menyerahkan manajemenya dengan Cina dan ujungnya akan masuk tenaga kerja Tiongkok.
“Aneuk aso lhok i pe tak. Alasannya sepele, nggak bisa kerja. Kita akan dapat remeh temehnya.”
Saya mengamini celotehan sang rekan. Ia banyak benarnya. “Investor asing itu nyinyir lho bang. Mereka ingin safety saja. Mereka selalu mengecilkan faktor resiko. Yang digimbalnyakan kita,” tambahnya.
Saya hanya bisa menyahut di ujung pembicaraan, Wallahualam…
Terlepas dari ocehan ala meunasah berbasis intelektual sang rekan, pecahnya gelembung investasi Murban Energi di Pulau Banyak, yang isinya hanya angin surga itu, memang sudah saya prediksi dan analis dalam dua tulisan terdahulu.
Sebagai jurnalis yang dibesarkan oleh media berjargon investigasi reporting dan beriklan “enak di baca dan perlu,” saya menangkap ada keluguan dari ekspose pejabat lokal dan pusat tentang investasi ini.
Nggak percaya?
Bacalah isi media, baik cetak maupun medsos, yang mengutip keterangan gubernur Nova, bupati Singkil hingga ke ngomong Luhut Binsar Panjaitan. Semua isinya kutipan yang dari judul hingga isinya hanya kalimat tanya.
Tak ada jawaban di sana.
Saya sendiri semula ingin mengejar rencana investasi ini. Sempat berbincang dengan seorang kawan di Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ia bernama Reza Pahlevi. Saya tak ingin ia buka-bukaan. Maklum. Saya harus tahu etika.
Pembicaraan kami hanya sekadar wawasan. Ia hanya mengarahkan saya untuk diskusi dengan Martunis. Ia kepala dinas investasi di Aceh, kata Reza, yang memberi nama dan alamat.
Di sebuah pagi saya meneleponnya. Jawaban, sedang meeting. Di kesempatan lain saya kembali call. Janji hari Senin bisa ketemu, Saya tunggu. Berlalu tanpa ada saling sapa.
Ya, udah. Saya nggak antusias untuk bertemu. Ia mungkin menganggap saya wartawan kartu nama. Mungkin juga lebih bawah dari itu. Jurnalis pasar Penayong.
Integritas saya melonjak. Tensinya saya meluap. “Saya bukan jurnalis abal-abal. Kok sewot dengan pejabat ikan lele,” pikir saya.
Sudah.
Kenyataannya?
Sama-sama tahulah. Gubernur Nova dan Bupati Dasril harus kembali melipat jas dan hem serta dasi merahnya. Mereka kembali menghitung cost perjalanan Jakarta -Abu Dhabi.
Kehilangan waktu. Walau Nova, sang gubernur, datang berhinjit karena patah tulang kakinya belum sembuh dan sang bupati Singkil menerawang karena tidak bisa datang ke Pulau Sarok sebagai rekreasi akhir pekannya.
Soal cost? Ah.. itu kan kecil mah … . Soalnya, ada APBD.