Beginilah kondisi penghancuran Rawa Gambut Tripa, Nagan Raya, Aceh bagian barat, sehingga menimbulkan banjir dan jejak kemiskinan bagi masayarakatnya
Dua tanya yang menjuntai di tubir memori “Santos,” ketika ia rehat di Bukittinggi, usai menyelesaikan etape keduabelas Jelajah Sepeda Kompas Sabang-Padang, mengusik kami di Kamis malam yang gerimis “nyut..nyutan” menyiram Banda Aceh.
Satu dari dua tanya itu, sepertinya, menyesakkan ruang jawab di otak kecil kami dan mengibaskan lecut tanggungjawab sebagai insan “anek jamee” dari warga “Aceh Ketelatan.” Pertanyaan “Santos,” yang ia salin, sepertinya dilakukan dengan sangat hati-hati, ke pesan pendeknya, untuk kemudian dia terbang dari Bukittingi, sebuah kota terkenal di pusar Sumatera Barat, lewat sebuah tombol klik, bertutur sederhana tapi “nyilu.” Sebuah pesan pedih yang sulit menemukan akurasi jawab yang tuntas.
”Kenapa negeri seindah, sekaya dan se-damai Aceh di pinggir Samudera harus berkubang dengan kemelaratan, ngon?”
Itulah bunyi pertanyaan “Santos.” Bunyi pertanyaan, yang katanya, juga menjadi milik para peserta gowes ketika mereka “diskusi” kecil saat istirahat di penginapan sepanjang lima etape di kota-kota pesisir barat-selatan Aceh.. Bahkan ia menyebut beberapa nama termasuk Boyke Lumowa, pria Minahasa, yang jenderal polisi berkarir cemerlang, dan menjadi bagian tim Jelajah, juga ikut mengurai tanya.
Saya, sebenarnya tak peduli dengan Boyke Lumowa atau siapa pun yang mengurai tanya tentang negeri pesisir itu. Yang saya tahu, sejak awal menulis Jelajah Sepeda Kompas ini, kami hanya ingin memberi pemahaman “latar belakang” kultur, ekonomi dan pembangunan,erta isian manusia yang menjadi penghuni negeri pesisir itu.
Kepada “Santos,” yang namanya aslinya sengaja kami sembunyikan, dan akan kami buka usai dia kembali ke “kampung” halamannya di sebuah perumahan berdurasi “kluster” di Bekasi sana, sesuai dengan kesepakatan kami, memang ada “agreement” untuk saling menjaga privacy agar ada kenyamanannya selama bertualang.
Kami kami juga menjanjikan akan menjadikan tulisan ini sebagai “ikon” ikutan bagi lajunya kayuh gowes rombongan, dan ikut pula menjawab setiap juntaian tanya yang datang dari “Santos” tentang negeri yang ia lewati, betapa pun pahitnya.
Bagi saya pertanyaan terakhir yang di “klik” Santos dari Bukittinggi, di Kamis malam, 12 September itu menyebabkan terurainya timbunan memori kami. Memori yang berlarian tentang negeri pesisir, yang di tahun 2005 dimakan gigi gergasi humbalang laut. Hinga punahnya tanah daratan menjadi tubir laut dan menyemayamkan penghuninya berkubur di kaki langit samudera.
Pertanyaan itu juga bagaikan reinkarnasi dari tanya yang mengalami kematian suri untuk hidup kembali di memori anak-anak pinggir “samudera” di irisan “Aceh Kemelaratan” sana.
Pertanyaan itu menerbangkan saya ke masa empat puluh lima tahun silam ketika harus mengucapkan, “say’s hello” untuk negeri selatan itu ketika harus melata ke Koetaradja memenuhi panggilan “tanah persada.”
Ya, pesan pendek “Santos” itu, sampai siangnya masih hinggap di “hand phone” kami. Ketika ingin mencoba, mencari dan menemukan kata-kata untuk dirangkai dalam kalimatnya, ada benturan sentimentilisme “anak marjinal” ber-arak dengan nada berang yang merusak keseimbangan jawaban kami untuk diterbangkan kembali ke “Santos.”
Saya tidak ingin “menyakiti” Santos dengan jawaban emosional, bahwa tanah “ketelatan,” nun di barat-selatan sana, sudah lama berkubang melawan penyakit “complexu” dari warga yang direndahkan. Negeri barat-selatan, hingga kini, nyaris merupakan “paria” di tengah “hegemonitas” timur-utara.
Tak percaya? Ikutilah sejarah rejim kekuasaan di Koetaradja yang mengatasnamakan keabsahan dirinya sebagai penguasa dengan mengenyampingkan harakat pembangunan di “tanoh jamee” sana. Dan ketika “Santos” mengatakan tentang negeri kaya, damai dan kemiskinan yang masih menjadi warna belang, itulah dia konkretisasi sejarah yang tak bisa ditanggalkan.
Konkretisasi dari pengabaian pembangunan yang lebih member porsi ke Aceh bagian timur-utara dalam jumlah program dan dana. Padahal, siapa pun tahu, pembangunan di timur dan utara sana juga ber”selemak-peak” dengan korupsi dan pembancakan sehingga tak pernah mengangkat harakat dan kemakmuran penghuninya.
Aceh Utara, misalnya, sebagai “gudang” dana alokasi otonomi khusus malah tercatat sebagai kabupaten yang menyimpan jumlah masyarakat miskin terbesar. Kebijakan pembangunan di negeri yang perut buminya berisi gumpalan gas dan telah dikuras hingga habis, kini, “termehek-mehek” mmelewan arus kemiskinan yang terus datang bak air bah.
Maaf “Santos,” kalau “rakan” membaca tulisan ini juga larut dengan apa yang ada dalam garis tangan kehidupan kami. Kami tak ingin menyeret “ngon” dalam pusaran perdebatan yang hampir selama enam dekade tak pernah selesai tentang tuntutan kemakmuran yang terhambat oleh “superioritas” birokrasi “koetaradja.”
“Superioritas,” ketika mereka menghancurkan “hutan gambut” Rawa Tripa hingga menenggalam Tripa Makmur, Kuala dan pesisirnya dengan menjual hak guna usaha ke petualang atas nama pembukaan lahan perkebunan sawit. Kini Rawa Gambut Tripa hanya tersisa 11 ribu hektar dari luas semula 62 ribu hektar.
Kami sering mengatakan, perbuatan ini “jahanam.” Perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan, karena setiap musim penghujan kampung-kampung sepanjang Krueng Tripa tenggelam dan belasan ribu keluarga hidup melata. Mereka juga harus melarat ketika musim kemarau karena sungai mengering dan harus mencari air hingga jauh untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Jahanam.” Itulah kata yang pas dari kebijakan merampok hutan rawa gambut yang menjadi hak hidup anak-anak Tripa.
Tidak hanya anak Tripa yang melata di tanah milik indatunya. Anak Kluet, anak Geumpang, atau anak Tutut sana juga melata ketika hutannya ditebas untuk kolaborasi kemakmuran penguasa, pengusaha dan calo penjual negeri.
Cobalah urut berapa izin pertambangan yang sudah mereka “jual” hanya untuk sebuah tanda tangan dengan harga miliaran. Pergilah ke Kluet di Manggamat sana. Saksikan sendiri bagaimana tanah mereka dikelupas oleh bulldozer untuk mendapat bijih besi dan jalanan pedesaan milik ulayat mereka hancur digilas ban dump truck bertonase tigapuluhan ton.
Sebuah ironi dari “negeri terbelakang.” Ironi dari mirisnya pembangunan yang tidak terstruktur dan hanya menghabiskan alokasi dana untuk kesejahteraan segumpal golongan. Glongan, yang dulunya, berjuang dengan slogan “makmue beusare.” Slogan yang usang di atas mobil “double cabin,” Honda CR-V dan rumah dibanyak lokasi dengan “istri” di kiri-kanan dan berhaa…hiii… di “cafée-cafee” hotel berbintang di Medan dan Jakarta dengan satu misi,”proyek.”
Dan yang hanya tersisa bagi anak Kluet, anak Tripa, anak Geumpang dan anak Krueng Sabe adalah daki dari debu kemiskinan dari jalanan yang berlumpur di udik sana, banjir yang datang secara berkala. Ini namanya sebuah ironi, “Santos.”