“Hasymi itu tukang mimpi,” tutur Talsya, tergelak, mengenang “guru” spiritual budayanya itu, ketika mengadopsi ide pekan kebudayaan Aceh di awal tahun1958. Ya, Hasymi itu, bagi seorang Teuku Ali Bsyah, yang dikenal dengan nama sapaan Talsya, memang “pemimpi.”
Sang penyair, yang salah satu sajak terkenalnya, sangat plural, “Antara Suara Azan dan Lonceng Gereja,” membuatnya terangkat sebagai penyair terkenal yang menumbuhkan semangat kemajemukan sebagai birokrat, dan mencapai puncaknya ketika menjadi Gubernur Aceh kedua di pasca kemerdekaan. Hasymi memang seorang berjiwa plural yang memimpikan Aceh sebagai sebuah pusat tamadun melayu di Asia Tenggara.
Ia juga seorang megalomania yang menginginkan Aceh menjadi “pusat” cultural di belahan Melayu. Hasymi juga seorang yang mampu meyakinkan banyak orang lewat pesona nya secara “persona” dengan “orasi”nya yang mengandalkan tutur sendunya seorang sastrawan sejati.
Hasymi itu tipikal yang tidak meledak-ledak. Nadanya bicaranya datar dengan tutur intonasinya yang ‘enak di dengar dan perlu.” Lembut dan memesona lewat kalimat-kalimat yang berjejer dengan kata-kata kerja aktif yang bernas.di pendengaran. Hasymi yang juga berwibawa tuturnya, walau pun tidak seluruh idenya dan latar belakang ceritanya bisa di”pegang” sebagai realitas sejarah.
Bagi Talsya, ketika kami bertemu di dua dekade lalu, Hasymi adalah mentor “budaya”nya. Ia hidup dalam “glamour” pemikiran Hasymi ketika menjadi wartawan di koran “Atjeh Shinbun” dan “Semangat Merdeka.” Dari Hasymi jugalah pemuda Talsya belajar menulis dengan gaya “jurnalistik sastra” lewat perpaduan “bahasa novel.”
Kami sengaja “meminjam” Talsya untuk mencari “jejak” budaya Hasymi karena dialah yang pernah menyalin banyak pengalaman kesejarahan di tiap penggalan zaman dan karir tokoh kalem, tapi sering menimbulkan kontroversial di kalangan pengamat kritis itu.
Talsya sudah bersama Hasymi sejak di pangkal sejarah dan eksistensi tokoh itu. Pangkal dari ujung kesejarahan kolonial dan terus bersama di zaman romantisme Jepang serta menjadi salah satu anak sejarahnya di pasca kemerdekaan.
Bahkan di masa menapaki jalan menuju “jembatan emas” kemerdekaan, Talsya menyertai Hasymi sebagai birokrat untuk kemudian menjadi jurubicaranya hingga di ujung usia tua tokoh dengan segepok ide yang belum tentu menjadi idealis.. “Saya tahu bagaimana Hasymi membentuk tamadun Aceh. Walau pun terkadang saya bisa kritis dengannya,” ujar Talsya tergelak.
Dan ketika kami dengan gairahnya berdiskusi dengan Talsya tentang megalomania Hasymi terhadap budaya Aceh, dengan antusias mantan Kepala Jawatan Penerangan di tahun lima puluhan ini menegaskan, sulit dicari orang yang intensitas kehidupannya berada dalam pusaran budaya itu sendiri.
Hasymi memang berada dalam putaran sejarah kebudayaan itu sendiri. Ia berangkat dari keulamaan yang menyalin bagaimana berahinya orang-orang Minang mencari posisi dirinya dalam kesejarahan Indonesia. Hasymi berada di Padang Panjang ketika gairah itu bergelora. Ia sekolah di sana dan membuhulkan akar keacehan dalam konteks minangkabau.
Hasymi melihat bagaimana gairah minang mendapat ceruk kedalaman agama di Sumatera Tawalib. Ia juga mendapati bagaimana berlombanya anak-anak di Kayu Tanam mencari jati diri dengan kreasi intelektual kebudayaan.
Semuanya disalin oleh Hasymi. Ia simpan puluhan tahun. Dan kemudian ia jelmakan menjadi realitas dalam perjalanan hidupnya. Ia menghadirkan sebuah pesta budaya dari ketidakberdayaan Aceh yang diamuk perang.
Ia tak peduli dengan harga yang harus dibayarkan oleh masyarakat untuk bisa mengangkat jatidiri mereka secara berbudaya. Ia menggelontorkan gagasan pekan kebudayaan dari keterkejutan akibat provokasi anak-anak muda, semacam Nyak Yusda, Teuku Oesman Basyah, Sayed Aboebakar dan Talsya sendiri.
Anak-anak muda itu menggugatnya untuk melaksanakan pesta budaya karena Minagkabau sedang bersiap untuk itu. Hasymi terpengaruh. Ia mulai merancang sebuah gagasan besar. Ia tak peduli amuk perang yang sedang berlangsung. Ia menyuruh Teuku Hamzah, kala itu Kastaf KDMA, atau semacam Kodam sekarang, untuk menyiapkan kepanitiaan.
Hasymi tidak sekadar membikin pesta budaya. Ia membuat “pekan” kebudayaan, dimana bertemunya banyak “jualan” di sebuah pasar. Ia meminta kepada para pejabat di kabupaten untuk mendatang apa yang pernah mereka miliki.
Ia mengatakan, “pekan” yang ia akan lakukan adalah untuk “menjual” barang kelas satu agar laku dan “dibeli” oleh pendatang. Ya, Hasymi menemukan momentum dari sambutan yang luar biasa dari “audiens.”
Bagaimana terpesonanya Prof Prijono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melihat “kekayaan” Aceh dalam khazanah budaya. San menteri mencatat koleksi budaya Aceh dan mengatakan sulit dicari tandingannya.
Talsya mengatakan, pekan kebudayaan bagi Hasymi bukanlah sebuah seremoni. Bagi Hasymi pekan kebudayaan adalah sebuah gagasan besar untuk mewijudkan Aceh bermartabat. Aceh yang mampu menembus lintasan peradaban dengan tampilnya seudati dan saman menjadi “trade mark” keindonesiaan.
Hasymi juga, seperti banyak orang yang tidak tahu, yang mengangkat seudati menjadi “tarian” ekspresif dengan gerakan atraktif yang sangat dinamis di lingkar elite kesenian yang membuat Soekarno “termehek-mehek” mempertontonkan disetiap kunjungan tamu kenegaraan. Seudati, kala itu mencapai puncak keeamasan sebagian tarian “milik” istana.
Tarian ini pernah dibenamkan oleh promosi buruk Belanda sebagai tarian kelompok orang “meunasah” yang mengesahkan pergaulan sesama lelaki.
Bayangkan pula saman. Lama terpendam di negeri Pinding, kala itu masih menjadi bagian Aceh Tengah, dan kini masuk Kabupatan Gayo Lues, setelah pekan budaya “made in” Hasymi, muncul sebagai tarian dunia. Bahkan, dua tahun lalu, menjadi bagian “heritage” seni tari dunia yang disahkan oleh Unesco.
Kami sengaja menempatkan Ali Hasymi dalam kontek pekan budaya, tidak terkecuali PKA-VI, yang sedang berlangsung sekarang, karena dialah yang menggulirkan gagasan ini dan menjadikan PKA-I sebagai tonggak dari pijakan keterkenalan Aceh sebagai negeri berbudaya lewat kekayaan jenis tarian, kuliner dan kebesaran sejarah masa lalunya.
Tidak hanya itu, Aceh yang megalomania di tangan Hasymi menghasilkan seudati dan saman sebagai warisan tarian yang mendunia hingga hari ini. Aceh yang tumbuh dalam gagasan ide kreatif seorang Hasymi adalah Aceh yang berpijak pada kebesaran sejarah masa lalu yang menerima realitas akulturasi budaya yang terjadi hari ini.
Tulisan ini memang kami tulis dari sumber paling “up date” yaitu Talsya. Kami menginginkan Talsya menjawab sebuah keingintahuan banyak orang tentang postur “kebesaran” mimpi yang menggantung dalam memori Hasymi dikaitkan dengan pekan kebudayaan bergagasan besar.
Bukan kebudayaan “pasar malam” yang terjadi di Taman Sri Ratu Safiatuddin hari ini. Pekan kebudayaan dengan pepesan kosong yang hanya sebagai seremoni sebuah tontonan tanpa disertai decak kagum kebesarannya sendiri.
Pekan kebudayaan hari ini adalah sebuah pemilahan sejarah kebudayaan itu sendiri. Pemilihan setelah Aceh terbelah dalam gairah otonomi yang membuat inti dan akar kebudayaan di negerinya sendiri kehilangan makna.
Aceh memang, sejak dekade lalu, sudah kehilangan makna tentang hakekat kebudayaan itu sendiri. Aceh melata mencari jatidirinya dan bangga dengan masa lalu yang terkotak dalam sejarah sempit.
Aceh, hari ini, tidak mampu merefleksikan dirinya, sebagaimana Hasymi merefleksikan kesejarahan budaya Aceh dalam kontek Melayu Raya. Aceh, kini, dibekap oleh sebuah ilusi tentang kehebatannya yang tidak berpijak dibumi. Kehebatan ketika aroganisme menjadi biang kekusutan yang tak pernah diselesaikan.
Dan, ketika pekan kebudayaan berlangsung Taman Sri Ratu Safiatuddin, rasanya, tak ada kebanggaan yang menjulang tentang Aceh bermartabat. Pekan kebudayaan itu berlangsung sebagai rutinitas empat tahunan. Ia dihelat dengan nilai APBD bukan nilai berkesenian sejati.