* Dari Kuala Ligan Hingga Kuala Bubon
HARI itu, di Januari yang indah, adalah hari ketika kami memulai petualangan mencari jejak tanah yang hilang. Hari mengharukan ketika kami menyaksikan teluk dan tanjung sejak dari Koetaradja hingga Kuala Bubon telah berubah lekuk dan garis. Teluk dan Tanjung yang telah melewati proses kehidupan baru dengan keindahan “subhanallah” permainya.
Keindahan dalam decak kagum seorang kawan saya dari Makassar, yang menyertai perjalanan kami di hari itu, dengan nada tanya, “apakah ini keping surga yang dilontarkan bersama gempa dan tsunami itu?” Sebuah keindahan, yang katanya, tak akan pernah singgah di pantai manapun di pelosok bumi ini.
Keindahan baru ketika keping ingatan kami berlari merambat ke jaring memori untuk membongkar sisa kenangan tentang kampung-kampung yang dijemput sakratulmaut untuk disedekahkan ke rahim samudera.
Kampung-kampung ketika kami remaja dulu pernah mengisi penggalan kisah tentang pahitnya perjalanan anak selatan menuju Koetaradja. Pahitnya derita telikung umpatan yang menyengat harga diri anak negeri “ketelatan” itu untuk menggapai asa dan mengenyahkan stempel kasta “paria” bernama “jamee” yang diwariskan oleh garis turunannya .
Cobalah bertanya kepada sisa anak negeri disana tentang garis laut tempat mereka menambatkan “jaloe,” sampan, yang raib tanpa meninggalkan tanda. Tanyakan juga dimana balai tempat mereka menjual “eungkot” jinara, ikan kembung, sekaligus tempat mereka menunaikan shalat subuh sebelum turun ke laut.
Mintalah kepada mereka jawaban dimana letak jalan “gampong,” kampung, menuju tanah “blang”nya, kebunnya, untuk memetik “boh u,” buah kelapa, atau petak rawa tempat mereka mencari “punai,” sejenis burung balam, dengan getah nangka di ujung tanjung.
Jangan pernah lupa menyapa sisa anak remaja di Desa Suak Timah, dan godalah ingatannya tentang gundukan tanah bekas “kuruk-kuruk,” gua persembunyian di zaman Jepang, persis di tengah kebun kelapa, di timur “gampong,” yang hilang entah ke langit mana, dan dulunya menjadi lokasi permainan perang-perangan ketika mereka kanak-kanak.
“Semuanya telah lenyap,” kata Dulah Ligan, lelaki paruh baya yang kami jumpai di Desa Ligan, Kecematan Sampoinet, Aceh Jaya Ketika gergasi laut bertandang lelaki tua itu “hanyot” dan “meulangu,” sejauh dua kilometer ke hutan “bangka,” di sudut rawa bakdah di utara “gampong.”
Ia dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat mengatakan,” kini tak ada lagi “nanggroe aso lhok,” negeri asal anak negeri. Telah punah. “Jinoe,” di sini, telah lahir negeri baru dengan pulau-pulau kecil, pantai baru maupun teluk baru setelah petak kampung-kampung kami diterjangnya ke rahim laut. Semuanya, kini, telah berubah.”
Bahkan sepanjang sisa tanah daratan, bibir pantai, hingga nun jauh ke sana, ke laut lepas, kata Dulah Ligan, sembari menudingkan ujung jari telunjunya yang bengkok dan gemetar, semuanya serba asing.
“Kami seperti peziarah yang tersesat di kampung ini. Kampung lama kami telah jadi sejarah dan tak pernah akan kembali. Ia telah tutup buku dan hanya tersisa di ingatan. Tak ada tanda dimana ia dikuburkan. Kami tak pernah diberitatahu dimana ia ber “jirat,” kuburan, tutur Dulah Ligan.
Bahkan, ketika kami singgah dan bertanya kepada Nyak Sabi, seorang tua yang tersisa di Kuala Bubon tentang letak desanya, dengan acuh lelaki itu mengatakan, “Entahlah. Semuanya telah pergi. Tak ada lagi yang tersisa. Hana le.”
Dengan pandangan kosong ia mencoba merangkai kembali ingatannya ke gampong lamanya, kedai Kuala Bubon, sebuah desa nelayan di Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, yang usai diayak gempa dan dilindas humbalang laut terisolir karena ditinggalkan jalan raya dan tercampak menjadi negeri di “ujong donya.”
Untuk sampai ke Kuala Bubon, kala itu, harus menyeberang sungai rawa dengan rakit kayu bermesin “Yanmar.” Kini, dengan duit dolar sisa sumbangan negara donor, telah terbentang sebuah jembatan panjang di rawa Bubon. Jembatan yang memotong rantai perjalanan ke negeri permai di barat-selatan itu yang setiap sore di penuhi penjual kacang dan menjadikannya tempat wisata.
“Kami tak pernah tahu lagi letak meunasah tempat buka puasa bersama dan bertadarus di bulan ramadhan. Meunasah tempat kenduri maulid dengan kuah beulangong, gulai kambing dicampur nangka, dihidangkan untuk seluruh penduduk kampung,” cerita Nyak Sabi lirih.
Kini nanggroe, negeri, Kuala Bubon dengan barisan toko kayu, jembatan beton di atas Krueng Bubon, dan sebuah balai nelayan pendaratan ikan, tempat boat dan perahu disandarkan, telah hanyut ditelan jejak air berjelaga yang mengelupaskan tanah “blang” maupun “eumong” serta menghapus “hak ware’eh,” tanah warisan anak negeri di pesisir kampung yang dulunya di hibah “indatu,” nenek moyangnya, mereka sebagai tanah milik bersama..
Semua itu, kini, menjadi destinasi baru. Destinasi ketika citra photo satelit memberitahu telah terjadi pergeseran letak garis pantainya dan Dulah Ligan, Nyak Sabi atau siapapun penduduk pesisir itu dengan takzim menerimanya dengan satu kata, sebagai garis takdir. Tawakal.
Pergeseran letak kampung, jalan desa, maupun tubir laut itu, bagi mereka, dan kelak akan menjadi “heritage” bagi anak cucunya, adalah sebagai sebuah kehendak Illahi. Peninggalan itu, kelak, akan dikisahkan anak generasi baru dalam nyanyian “oral.” Nyanyian “hikayat” tentang bagaimana negeri nenek moyang tercintanya ini pernah dicabik hantu laut.
Tidak hanya gergasi laut yang mencabik eksotisme alam negeri Lembah Geureutu itu. Sensasi Gunung Meudang juga telah dikoyak gergasi besi. Sensasinya dirampas atas nama efesiensi pembangunan jalan. Tak ada lagi tanjakan membelok di pendakian dan penurunan sempit, berkelok dengan tikungan patah-patah yang jurangnya mejuntaikan kakinya ke laut dalam, membuat tengkuk penumpang bergidik. Puluhan truk, bis dan kendaraan pribadi sepanjang dekade kehadirannya pernah tersungkur diselangkang jurangnya.
Kini, sensasi Gunung Meudang itu, sudah ditelikung kontraktor Korea Selatan, Sangyong Ltd, yang mengerjakan jalan bantuan US-Aid, dengan memangkas bukit, membelah gunung kecil dan menimbun jurang untuk mendapatkan jalan interseksi dengan lintasan lurus tanpa menyisakan, sedikitpun, rasa nyeri dan gamang yang pernah hinggap di kepala penumpang.
Dalam perjalanan hari itu pula, kami memanfaatkan waktu menghitung puing jembatan yang tersungkur sepanjang bibir pantai dan laut lepas. Puing jembatan yang di tendang gergasi tsunami berkilometer dari tempat duduknya dan diterik matahari siang bulan Januari itu itu, sedang berkejaran dengan waktu menuju lapuk setelah dibelai riak gelombang angin barat dan dihirup karatnya oleh buih air asin.
Untuk para pelancong baru yang memakai kendaraan pribadi dan melewati lintasan ini, sejak dari Lhok Nga, km 16 hingga ke Calang, km 150, jangan pernah alpa untuk mengintai pangkal jalan yang tak punya ujung.
Catatlah berapa puluh belokan jalan tanpa rambu yang bisa menyesatkan. Jalan lama yang pangkalnya masih utuh, beraspal hotmix peninggalan projabam, proyek jalan Banda Aceh-Meulaboh sebelum tsunami, sedangkan ujungnya menuju bibir pantai. Sudah tak terhitung, dulunya sebelum jalan USAID rampung, jumlah pelancong yang disesatkannya sehingga harus memutar kembali ke pangkal jalan.
Juga ada daratan bergelombang, dulunya muara sungai, yang kini bereinkarnasi membentuk delta pasir yang luas, seperti di Babahnipah, dan dari rahimnya telah lahir teluk baru berdanau kecil berair payau, yang di hari kami melintas bersuhu 34 derajat celcius, dan menghunjamkan gelegak panasnya ke ubun-ubun. Danau kecil yang dihulunya ditumbuhi “hutan” bakdah itu pernah menjadi lokasi rakit penyeberangan selama enam tahun dan menyiksa penumpang dalam hitungan jam dan hari karena sulit disebarangi.
Catat dan tanyakanlah kepada setiap lelaki tua yang masih tersisa di Patek, Panga, Lhok Kruet maupun Teunom, berapa jumlah kampung yang lenyap di negeri ujung dunia itu.
“Entahlah,” jawab Usman Husein, lelaki tujuh puluhan yang sudah renta di Desa Patek, yang dulunya nelayan, kini pensiun di sebuah rumah petak bantuan sebuah NGO asing jauh dari bibir pantai. Tigaperempat dari jumlah garis turunan Pak Tua ini telah berpulang. Husein banyak ternanar ketika di hari perjalanan itu kami istirahat di teras rumahnya.
Sang tetua, ketika kami tanyakan letak kampungnya sebelum gempa dan tsunami menelikung, mengangkat telunjuknya yang tidak lagi lurus itu kearah laut, dan mengatakan dengan air mata berbulir,” kampung itu telah bersalin rupa menjadi tubir laut di bentangan karang, yang dibawah hamparan jejak buih hempasan gelombangnya ada tanah jirat, kuburan, keluarga kami.”
Husein bercerita tentang sepenggal riwayat tempat dia lahir dan menjalani masa remaja sebagai anak udik dengan keahlian memanjat kelapa sambil mengeja hafalan “dhalail khairat” di mushala. Setelah “baligh,” dewasa menurut ukuran kampung di Aceh, ia menjadi nelayan, kawin, beranak pinak dan akhirnya, datanglah gergasi laut itu menjemput maut dan membawa hampir seluruh turunannya untuk diterbangkan ke “arash.”.
Kini, Husein, jadi petarung tua yang tergagap mendekap luka kepedihan dan berupaya mencampakkan aroma kenangan pilunya ketika sahabat barunya, keringkihan, datang di hari senjanya.
Ketika kami menanyakan tentang tidak adanya “plakat” atau “plang” yang memberitahu satu persatu kampung yang hilang di sepanjang pesisir itu, lelaki tua itu mengatakan, tak perlu ada. “Untuk apa?” katanya ringkas. Ia dengan sangat sentimentil mengatakan dalam kalimat berbisik, “rasakan saja denyut perasaan samudera. Tangkaplah pesan dari bunyi debur ombak dan desir angin laut yang mengabarkan tentang adanya kubur sebuah negeri di bawah selangkangnya.” Selangkang yang menyimpan banyak kampung pesisir yang punah tanpa pernah meninggalkan pertanda.
Itulah bagian ringkas laporan perjalanan sensasional kami. Perjalanan yang mengharmonikan perpaduan eksotisme nyanyian laut dengan bentangan keindahan samudera . Perpaduan rasa nyeri yang berdegup atas peristiwa alam, gempa dan tsunami, lebih tujuh tahun lalu. Degup kegusaran yang sering datang membasuh rasa sakit hulu hati kami atas kenangan tentang berjibunnya kematian di tanah yang sedang kami lewati ini.
Rasa nyeri yang seakan datang memberitahukan ada seribu kisah kesengsaraan bersama uap laut dan bulir kapas rawa bakdah serta suara gemerisik pasir halus di bentangan pantai.
Sebuah pemberitahuan yang senyap bahwa di tanah ini pernah bertakziah gergasi laut menjungkirbalikan negeri ulayat ini. Takziah bencana bermaklumatkan pesan kedatangan maut untuk menerbangkan ratusan ribu roh penghuninya ke “arash” atas nama kematian.