Lama sekali saya menjadi pen”dosa” karena alasan yang tidak jelas.
Sudah lama terentang waktu bagi saya mencari tahu alasan yang membawa saya sebagai pendosa. Mencari tahu dengan bertanya pada diri sendiri.
Jawabannya tak pernah berujung. Mentok. Itu ke itu saja.
Kok ya…. Ya, kok..
Ujung-ujungnya, soh. Nggak pernah ketemu. Padahal pangkalnya saya tahu. Masih tertanam. Belum lapuk. Tapi sudah mulai mengelupas.
Tiba-tiba, entah mimpi apa yang datang, di ujung pekan lalu, si pen”dosa” ini, mendekat dengan jarak pangkal pertanyaan itu. Pangkal pertanyaan, seperti syair lagu religi Bimbo, “seakan dikau di sini”
Pangkal itu datang dari sebuah podcast media online. Tajuknya, e..e… bukan tajuk, tapi umpatannya. “…Abeh Peng-peng Kee.”
Anda tahulah arti carut dari kata-kata di kalimat pendek itu. Kalimat “mbong” yang lahir dari kepanikan dan kejengkelan. Anda tak usahlah saya ajari bagaimana harfiahnya makna satu persatu kata umpatan itu.
Kata “abeh,” kata “peng-peng” dan parahnya lagi kata “kee.” Kata terakhir umpatan yang sangat pasar itu. Sangat preman. Yang metamorfosa dari kata itu berujung ke “lon.” Kata tabik dari anak “aso lhok” yang lahir dari kesantunan.
Sebagai umpatan preman Anda pasti tahu mimik orang yang meng”hambo”kan kata-kata itu.
Saya tak ingin membawa pergulatan Anda dengan “pendosa” dan umpatan itu. Karena, saya, ingin mempertemukan kata “dosa” dan “abeh peng-peng kee” di alur tulisan ini.
Alur yang muaranya bernama Persiraja. Persatuan Sepabola Kutaraja. Sebuah bonden atau perserikatan sepakbola milik kota Banda Aceh.
Klub yang kini bercokol di Liga I PSSI. Berada di nomor me,ata. Nomor corot klasemen liga. Urutan kedelapan belas dengan poin enam usai kalah beruntun dari Sleman dan psis Solo, kemarin
Kekalahan beruntun yang menjauhkan jarak poinnya dengan Persela Lampung, di urutan ketujuh belas, makin memelas. Selisih sembilan angka dari sembilan belas laga.
Hanya janji langit yang bisa menolong bonden ini dari degradasi. Bukan janji bumi yang telah menganga menghisap harapannya.
Lalu apa hubungan pen”dosa” dengan kalimat “abeh peng-peng kee” dalam konteks Persiraja ini.
Hubungannya bertaut ke pangkal hari di penanggalan terakhir bulan Agustus empat puluh dua tahun lalu. Hari “meuhambo” di Stadion Utama Senayan.
Ketika Persiraja bertemu Persipura di final perserikatan diivisi utama PSSI. Disaksikan langsung enam puluh ribu penonton.
Persiraja dengan nama julukan “meugampong,” kala itu, laskar rencong, sukses meraih gelar juara setelah menamparkan tiga gol berbanding satu gol d\ke jaring si mutiara hitam, persipura.
Siapa yang percaya Persiraja bisa jadi juara kala itu. Saya sendiri yang duduk di box sisi barat stadion, di bawah box vvip, juga tak percaya.
Nanar yang sadar dari refleksi buncah kegembiraan. Buncah dari keinginan untuk berlari pulang ke hotel. Hotel “wisma atlet,” yang jaraknya sepelemparan dari stadion, usai peluit panjang wasit ditiup T Saramani
Saya ingin berlari dan berlari untuk menulis dan menulis. Menuliskan buncah kemenangan. Buncah semua yang saya saksikan. Semuanya. Semua jejak dan tapak perjalanan Persiraja menuju singgasananya.
Menulis gol umpan tarik Rustam Safari. Menulis gol kemelut dan heading Bustamam. Menulis tonggak sliding M Daan.
Juga ingin menulis tangkapan safety kiper Zaim Merdeka usai membuat running ball umpan tarik Leo Kapisa yang menjadikan persipura unggul satu gol di pertengahan babak pertama.
Menulis semuanya. Menulis pekik hati yang telah melumeri otak saya.
Anda tentu heran dengan pengulangan kata tulis dikalimat pendek yang bernarasi nostlagia saya ini. Kalimat yang membuat saya terbang lewat kepak sayap ke masa lalu.
Masa lalu ketika saya ada di Senayan sebagai wartawan regional sebuah harian top di Medan bernama Analisa Yang telah menjanjikan empat halamannya sebagai bonus untuk kemenangan Persiraja.
Bonus yang masih ditambah boks headline di halaman satu sebagai janji blow-up pemberitaan. Janji si Pemrednya Soffyan kepada leader tim peliput Amir Siregar dan saya.
Namun begitu, keinginan saya untuk berlari menuliskan semuanya disentakkan oleh lirik Haji Di Moerthala yang datang menggamit saya dari trap atas stadion sambil mengangguk.
Saya tahu arti anggukan orang yang saya panggil abang itu. Bang Di Moer. Bukan seperti ejaan yang banyak ditulis dimasa kini, Dimurthala.
Ejaan yang salah dari sisi harfiah namanya yang berawalan “Di” berjarak satu ketukan spasi dengan Moerthala. Di yang merupakan jati dirinya menyimbolkan trah Arab. Trah ayahnya. Trah gampong Pande yang kini juga menjadi pangkal nama anak lelakinya. Di Syahrial.
Anggukan Di Moer ini saya respon lewat genggaman tangan sebagai ucapan selamat.
Lantas, sejenak, kemudiannya, Di Moer menyapukan pandangannya ke arah pemain yang sedang berpelukan menuju pinggir lapangan.
Ia turun dari trap tribune mendekat ke ke lapangan untuk menyalami Andrew Yap, sang pelatih, yang nanar. Terus ke pemain. Bersalaman dengan uluran keikhlasan. Mengucapkan komat kamit kalimat, dan untuk kemudian melangkah ke pintu utama.
Melangkah gontai.
Tidak seperti langkahnya di pagi sebelum laga final. Langkah terseok. Terseok karena asam uratnya meninggi usai memberi wejangan ke pemain.
Wejangan yang tak banyak kata. Wejangan yang didominasi sorot mata. Semua pemain tahu apa arti sorot mata seorang Di Moer menjelang laga final itu.
Kalau Anda nggak percaya tanyakan kepada Nasir Gurumud. Nasir ia antarkan dengan helikopter carteran dari Polonia, Medan, ketika ayahnya, Gurumud, berpulang di Bireun. Gurumud yang berprofesi seorang penjahit.
Tanyakan ke Bustamam. Dan tanyakan juga dalam bisik lembut ke Let Bugeh, nama panggilan menterang Zainuddin Hamid, yang telah berpulang. Pak Let, begitu kami menyapanya, yang digamit Di Moer untuk datang ke “asrama” pemain.
Saya sendiri?
Ya, si “pendosa” sejarah ini tak pernah lepas dari peran “apit awe”-nya seorang Di Moer.
Peran sepele. Yang kalau Anda ragu testimonikanlah ke Maulisman Hanafiah, mantan sekretaris partai gerindra Aceh, yang kini bergeser sebagai salah seorang wakil ketua di parpol yang sama.
Maulisman yang bergulat dan tidur sepapan dengan kami kala menata koni Aceh dan membesarkan Persiraja.
Apakah Anda tahu siapa Di Moer?
Kalau pun Anda tak tahu siapa persisnya seorang Di Moer, cukuplah untuk menggumamkan sebuah nama stadion dan di sebuah jalan kawasan Lampineung.
Sebuah stadion dan jalan dengan namanya.
Stadion yang ditatanya, saya nggak berani mengatakan dibangunnya, dari peng-nya sendiri. Bukan dari “peng ripe” anggaran atau hasil bancakan proyek. Stadion yang kemudiannya ditabal untuk namanya.
Nama yang keliru dari ejaan huruf di pucuk stadion itu. Nama yang salah diejaan kata tapi betul untuk diucapkan. Dimurthala.
Di Moer adalah anak legenda Aceh.
Anak legenda yang sampai diharinya berjirat tak pernah beranjak dari mimpi untuk Aceh hebat. Mimpi yang dijadikannya sebagai ritual dalam melangkah.
Sejak muda. Sejak mahasiswa di Unsyiah. Yang kini bersalin nama menjadi USK.
Jejak langkahnya dari Darussalam. Jejak sebagai ketua dewan mahasiswa. Di kesatuan aksi mahasiswa. Di di knpi dan terlalu panjang untuk dituliskan lagi.
Dimoer yang saya tahu kala melangkah tak pernah menggadaikan dirinya ke pilinan sengkarut birokrasi. Dia memang berlayar di kancah politik. Tapi dengan setengah hati. Jauh dari gagah-gagahan. Ia menjalani sebagai anggota terhormat dari provinsi hingga ke senayan.
Tidak hanya setengah hati di dunia politik. Sebagai entrepreuner ia juga tak ingin larut. Tak ingin terbungkus dalam keranjang duit kala ia mendapat hak monopoli membeli cengkeh di Simeuleu atau menebang kayu di Nagan untuk membangun pemukiman transmigrasi.
Di Moer menjaga jarak dengan itu semua.
Tapi ia tak pernah menjaga jarak dengan Persiraja. Ia larut dengan sepakbola. Padahal ia bukan seorang striker atau gelandang. Ia hanya seorang pengumpan terbaik di sebuah tim voli.
Sampai di alinea tulisan ini saya digoda oleh perasaan ge-er. Ge-er tak menghiraukan efesiensi kata untuk sebuah tulisan.
Untung saja ini bukan tulisan untuk media surat kabar yang menghitung panjang pendek sebuah tulisan berdasarkan kolom dan “page.” Sebab di media surat kabar atau media cetak lainnya ada keseimbangan antara berita dengan iklan.
Dan untung saja tulisan ini saya hadirkan di media sosial berbasis online yang tidak peduli dengan panjang pendek sebuah artikel. Juga tidak takut dengan kebosanan pembacanya. Tidak takut ditinggalkan pembaca
Sebab pembaca di online bisa saja mengetengnya. Kalaupun nggak suka dengan tulisan ini silakan pindah ke topik lain. Mudah. Hanya memindahkan lewat jemari.
Bukankah, seperti Anda tahu, pekan lalu, media online “USA Today” menulis tujuh ratus nama lengkap dengan identitasnya yang panjangnya minta ampun.
Tulisan panjang tentang demo besar di gedung Capitol, Washington yang menggugat kemenangan Joe Biden.
Demo yang ditunggangi Donald Trumph yang berujung ke ranah criminal. Masya Allah panjangnya.
Dan “US Today” menyilakan pembaca untuk enyah bila bosan. Tapi Anda tahu? Jubelan pembaca memburu tulisan ini hingga ke ujung tulisan. Dan dalam hitungan jam puluhan ribu comment berdesakan.
Okelah. Paragrap ini hanya untuk intermezo. Mengingatkan
Mengingatkan saya kembali untuk menulis Persiraja yang Di Moer. Bukan Persiraja yang “abeh peng-peng kee” Persiraja orang lainnya, Dan orang lain itu bernama Dek Gam. Nazaruddin.
Saya tahu dengan Dek Gam Nazaruddin ini. Tapi tidak dekat. Tidak mengenalnya seperti saya mengenal Di Moer. Mungkin karena selisih umur. Itu rasional.
Yang nggak rasionalnya adalah perbedaan sentimen.
Dek Gam yang saya tahu adalah seorang remaja kecil kala berhaji bersama di enam belas tahun silam. Berhaji dengan kloter dan pondokan yang sama ketika dia dibawa ayah bersama keluarganya ke Makkah dan Madinah.
Saya pun begitu. Membawa keluarga. Kami bersentuhan sebagai tetangga kamar. Sentuhan antar keluarga. Selebihnya saling “assalamualaikum”
Kemudiannya saya tahu Dek Gam ini seorang saudagar yang berpolitik. Saudagar dan politiknya lebih larut ketimbang Persirajanya. Saya tidak tahu apakah Persiraja ini menjadi “kendaraan”nya. Tapi ia bergelar “presiden” di perserikatan itu.
Yang saya tahu juga ia menjadi bagian dari pak walikota Banda Aceh. Aminullah Usman. Menantunya. Untuk itu pantas saja saya curiga apakah Persiraja itu jadi kenderaaannya. Kan politik itu perlu kendaraan bernama popularitas.
Itu kecurigaan jurnalis yang harusnya disertai fakta hasil investigasi. Tapi manalah yang tahu tentang cerita kendaraan ini. Sebab ia tidak ada dalam kamus resmi jurnalistik
Anda kan juga tahu bahwa popularitas itu perlu “hepeng” Jadi Dek Gam perlu melengkapi dirinya dengan keparipurnaan saudagar yang punya ….. dan perlu juga jangkar…..
Ah… “su’udzon.” Berburuk sangka. Kan Dek Gam itu anak muda sukses. Sukses saudagarnya dan sukses politiknya. Anggota de-pe-er merek senayan.
Yang nggak sukses hanya Persirajanya. Terseok. Hanya menang sekali dan seri empat kali. Kalah di empat belas kali pertandingan. Menunggu hari berkabung. Degradasi. Tercampak dari Liga satu.
Tercampak setelah carut marutnya kehebohan skuad. Kehebohan dari silang telunjuk antara sang presiden dengan pelatih. Yang menyebabkan Akhyar mundur dengan permintaan maaf.
Mundur dengan elegan sembari meminta nama keluarganya tidak harus menumpang pada “dosa” Persirajanya
Apakah saya bersedih dengan nasib Persiraja dihari-hari ini.
Otak waras dan hati tulus saya langsung mengatakan tidak. Tidak untuk sebuah era. Sebuah era Persiraja digenggeman seorang anak muda. Anak muda era “now” dengan segala plus minusnya.
Berlainan dengan Persiraja di era saya. Era delapan puluhan Era keemasan bagi sepak bola Aceh sejak ia dihakikahkan enam puluh lima tahun lalu, Persiraja jadi tim yang cukup disegani di Liga Indonesia
Disegani dalam secuil kisah pendek sebelum menggapai tangga juara. Persiraja yang mempersiapkan timnya di negeri tetangga, Singapura. Persiraja yang diboyong Di Moerthala ke negeri singa itu untuk berlatih mencari pelatih menghadapi turnamen prestise itu
Pelatih yang jadi target, Ibrahim Awang. Namun Awang gagal dipinang karena ia memilih tetap melatih timnas Singapura.
Persiraja pun menjatuhkan pilihan kepada Andrew Yap, asisten dari Awang. Yap saat itu menjadi asisten Awang di Singapura sejak enam tahun sebelumnya bersama Kejapathy dan Hussein Aljunied.
Yap adalah tipikal pelatih sangat tegas. Yap yang berbadan tambun dengan dialek mlayunya yang pincang bisa menjatuhkan sanksi kepada pemain jika ia mencium bau asap rokok di ruang ganti.
Bahkan pemain Persiraja bisa disuruh pulang oleh Yap yang Cina itu jika sepatu yang digunakan belum dibersihkan saat akan menjalani latihan.
Soal rokok dan kebersihan menjadi aturan yang wajib dijalankan oleh Nasir Gurumud dan kawan-kawan
Untuk memantapkan fisik dan skema permainan, Yap saat itu membawa Iswadi Idris, yang direkrut dari Persija untuk berlatih dan beruji coba, try ou, ke Bangladesh.
Selain alasan utama tersebut, Persiraja jelang kompetisi divisi utama tidak memiliki tempat latihan khusus. Laskar Rencong harus berlatih berpindah-pindah tempat.
Bahkan pemain Persiraja harus bolak balik belasan kilometer dari Kota Banda Aceh menuju Pantai Lhoknga dan Lampuuk untuk menjalani latihan.
Namun perjuangan dan pengorbanan tersebut terbayar tuntas setelah mampu menjadi juara
Di kompetisi perserikatan seribu sembilan ratus delapan puluh, Persiraja sejak awal memang bukan tim unggulan. Maklum saja di tahun sebelumnya, mereka hanya berada di posisi juru kunci divisi utama.
Persija lebih difavoritkan. Saat itu Persija dilatih Sutan Harhara lebih banyak diisi oleh pemain dari Jayakarta tim semi-profesional. Selain itu , Persebaya yang diisi oleh pemain Assyabaab, juga dijagokan
Lantas bagaimana dengan PSMS Medan. Tim Ayam kinantan saat itu berada di kondisi kurang mengenakkan. Tim Ayam Kinantan tersandung kasus suap di ajang Piala Tugu Muda.
Sedangkan Persib pada tahun itu dilatih Marek Janota dan bermaterikan pemain seperti Wawan Hermawan, Vence Sumendap, hingga Adjat Sudradjat tak kalah pedenya.
Persipura? Tim mutiara hitam yang i dilatih oleh Gasper Sibi, mantan anak asuh dari HB Samsi tak bagus-bagus betul. Tiga pemain mereka juga mendapat sanksi akibat kasus suap. Sementara satu pemain andalannya, Metu Duaramuri dipanggil tim PSSI Utama.
Di pertandingan pertama babak enam besar, Persiraja berhasil menahan imbang Persija dengan skor dua gol berbanding dua gol.
Bertemu Persipura di laga kedua, Laskar Rencong hanya meraih hasil imbang tanpa gol. Kemenangan Persiraja baru di dapat pada laga ketiga saat mengalahkan PSM dengan skor tiga gol berbanding dua gol.
Meraih tiga kemenangan dan dua imbang tanpa terkalahkan, Persiraja pun berada di posisi puncak dan bertemu Persipura di partai final.
Disaksikan enam puluh ribu ribu penonton di Stadion Utama Senayan, pertandingan kedua tim berlangsung menarik sejak menit awal pertandingan.
Persipura tampil dengan ciri khasnya permainan dengan determinasi tinggi. Permainan keras Persipura membuat wasit yang memimpin laga T Saramani harus meniup peluit, tanda pelanggaran.
Tim Mutiara Hitam akhirnya memecah kebuntuan terlebih dahulu setelah pada menit ke-lima belas Leo Kapisa membobol gawang Persipura.
Baru pada menit ke-empat puluh lima, Rustam Safari mampu menyamakan kedudukan dan membuat laga di babak pertama berakhir sama kuat. Satu gol berbanding satu gol.
Lima menit babak kedua baru dimulai, Persiraja berbalik unggul lewat gol Bustaman. Menit kedelapan puluh satu, Bustamam Ibrahim sukses membuat gol kedua sekaligus menutup pertandingan dengan skor tiga gol berbanding satu gol
Perjuangan tak kenal lelah anak asuh Andrew Yap terbayar lunas. Laskar Rencong juara perserikatan seribu sembilan ratus delapan puluh di Jakarta.
Juara untuk pertama kalinya. Mungkin juga untuk terakhir kalinya.