Site icon nuga.co

“Dimurthala”

Saya lega…

Usai direnovasi untuk kegiatan pekan olahraga nasional, hari-hari ini. stadion itu lebih menyenangkan untuk dilihat. Memuaskan untuk sebuah stadion katagori standar fifa klas dua belas.

Renovasinya, seperti yang saya baca dari  straiht news, berasal  dari dana pusat yang menghabiskan anggaran belanja negara empat puluh hingga enam puluh miliar rupiah  dengan kapasitas dua puluh ribu penonton.

Dana, yang maaf, jangan bandingkan dengan jakarta internasionan stadion. Atau tambak saru. Atau pun manahan. Yaa… itulah….

Yang lebih melegakan saya lagi adalah namanya masih seperti kemarin. Gak ada pergantian plang nama yang kini lebih anggun di tataran kaca dan disorot pendar cahaya light emitting diode.

Sorot komponen elektronika yang memancarkan cahaya monokromatik dioda yang memanfaatkan bahan semi konduktor.

Lantas kekhawatiran saya hilang?

Belum… Gak semuanya….

Penyebabnya, rangkaian hurufnya juga masih seperti dulu. Dalam ejaan yang disempurnakan. Ejaan poerdarminta.  Dua huruf “oe:” diefesienkan jadi “u.” Gak ada yang salah dan disalahkan atas ejaan itu.

Memang gak membuat menjadi apa-apa….

Tapi, ejaan  itu tetap menjadi gerutuan saya. Sejak kemarin-kemarinnya dan kemarinnya lagi. Membuat saya sumpek Bikin lelah dan marah karena  telah berlangsung lama. Membuat saya muak.

Bebarapa kali saya  protes. Gak ada yang mau mendengarkan. Yang mendengarkan batat tambah lagi mada.

Saya punya alasan untuk melayangkan protes itu.  Karena menyangkut nama. Yang ia sendiri gak mungkin melayangkan protes itu karena sudah lama inalillahi…… Sebelum nama itu ditabalkan

Protes ini mungkin akan saya teruskan hingga besok dan besoknya: Hingga ia menjadi lurus. Gak bengkok lagi seperti hari ini. Karena menyangkut nama. Nama sebuah stadion itu: Dimurthala,,

Stadion yang terletak di kawasan lampineung. Stadion di jalan dengan yang sama. Jalan dimurthala. Yang kalau dari arah kota, jalan tengku daoed bereueh belok kanan sebelum jembatan lampriek.

Tentang ejaan nama ini saya yang termasuk salah satu sahabatnya sangat khatam. Khatamnya sudah di tingkat makrifat terutama dalam pengucapannya. Khatam nama sebenarnya: “Di Moerthala.”

Selain itu saya khatam tentang dua kata “di” di pangkal nama yang seharusnya dipisahkan dengan moerthala.

“Di” dan “Moerthala”-nya gak bisa disatukan. Bukan seperti yang masih saya baca kemarinnya. Tiga hari menjelang pembukaan pekan olahraga nasional: “dimurthala.”

Kata “di” yang menyambung dengan  kosakata kata “murthala.” Yang seharusnya Di Moerthala.

Kata “di” itu sendiri punya ashabun nuzul. Sebuah nama trah. Nama fam…  Sepantaran dengan sayed atau said atau pun habib.

Ada garis muasalnya. Bisa arabi. yang gak ada wahabinya. Yang saya gak tahu apakah trah itu yaman atau hadramaut…

Untuk Moerthala sendiri adalah nama hakikah. Nama yang dibayar lewat sembelihan kambing atau apapun….Yang seharusnya jangan diubah se-enaknya.

Gamblangnya “di” itu idem dan dito dengan dengan teuku atau coet.

Untuk ini saya ingin melayangkan tanya: apakah para teuku atau coet bersedia disambungkan namanya dengan “teukupolanan?” Atau pun coetputeh….

Khusus untuk nama Di Moerthala, bukan Murthala, trah itu asalnya datang dari kakek buyutnya bernama: Di Anjong. Maaf, jangan sambungkan halu anda ke anjong mon mata..hahaha…

Anjong yang saya tulis ini gak punya sengkarut dengan “mon mata.” Sebab nama  Di Anjong itu adalah milik seorang ulama besar aceh pasca kesultanan yang makamnya sangat dimuliakan.

Makam yang saya ingat pernah direnovasinya. Di kawasan gampong Peulanggahan. Pinggir krueng aceh. Yang sahibulnya dulu sebuah tempat pengajian sekaligus asrama haji pertama di negeri ini.

Saking bangganya ia dengan trahnya ini Moerthala melekatkan nama “di” itu ke sebuah perusahaan miliknya: pt di na madju. Sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan. Ha-pe-ha.

Perusahaan yang pada waktu itu berada di papan atas untuk daerah ini.

Kembali ke Di Moerthala eehhh Dimurthala….

Saya kenal dekat dengan tokoh ini. Ia memang tokoh luar dalam. Bukan hanya tokoh luar saja seperti yang banyak ditokohi oleh orang-orang sekarang.

Ia seorang aktifis, tokoh mahaiswa-pemuda, tokoh olahraga yang muaranya seorang entrepreuner.

Ia pengusaha dalam artian sesungguhnya. Tidak cari makan dengan menjilat dan membangun gurita bisnis keluarga hingga  anak buyut.

Orang seusia saya tahu ia seorang pengusaha “senang-senang.” Cari duit hingga seratus dan bawa pulang sepuluh. Sembilan puluh ia tebar untuk kemaslahatan.

Saya gak menyebut deret atau pun mengurai bentuk kemaslahatannya yang ia tebar selain stadion yang berejaan salah itu. Terlalu lebay …..

Maklum era sekarang sentuhan medsos bisa menggiring orang berpikir: yang penting bungkusnya. Berlomba pamer bagi-bagi sembako untuk pencitraan

Setahu saya Di Moerthala adalah entreepreuner nyentrik.

Tapi hidupnya sangat sederhana. Yang saya tahu kesederhanaannya itu. Kecuali jika pas sedang menikmati  nasi goreng milik ‘si busuk” di kawasan rex dia bisa sangat menggila menikmatinya.

Saya tahu juga sepanjang hidupnya ia menjauh dari pencitraan. Kesederhanaan inilah yang mengundang simpati orang banyak.

Cerita ini bukan rahasia. Kami sisa lasykar “lantak laju” bisa mengumbar ha..hi..he..ho..tentang kebiasaannya ini. Kami, orang lingkar dalam menyapanya dengan “di moer.” Pasnya “bang di moer.”

Termasuk cerita tentang stadion yang mengadopsi namanya dalam ejaan yang salah itu. Stadion dimurthala. Stadion yang direnovasi menjelang pekan olahraga nasional.

Stadion yang pekan lalu saya takziahi. Masih menyisakan banyak sudut untuk mengingat apa yang ia warehkan.

Mengingat bagaimana pentaaan rumput ia harus mendatangkan seorang cina pengelola lapangan stadion teladan medan.

Yang rumputnya ia “copy paste” dari stadion kailang Singapura. Stadion yang kini sudah tutup sejak tujuh belas tahun lalu untuk diubah menjadi sport center. Pusat olahraga.

Stadion “dimurthala” ini sendiri sebelumnya merupakan lapangan olahraga milik a-pe-de-en. Sebuah akademi pemerintahan dalam negeri yang mencetak calon camat kala itu.

Di Moer merenovasi lapangan ini menjadi stadion setelah satu-satunya stadion sepakbola banda aceh milik kodam di blang padang diratakan untuk kepentingan musabaqah tilawatul nasional.

Stadion di blang padang itu bernama stadion aceh.

Renovasi lapangan olahraga milik pemerintah daerah di lampineung itu merupakan alternatif tunggal untuk manampung euforia pasang naik tim sepak bola persiraja diajang perserikatan utama pssi.

Saya tahu persis Di Moer-lah secara pribadi yang menggelontorkan duit untuk renovasi ini dengan memboyong trap panggung mtq di blang padang untuk menjadi tribune barat stadion itu.

Dan Di Moer pulalah yang membiayai perjalanan persiraja di kompetisi perserikatan divisi utama pssi hingga pemusatan latihan di singapura di bawah asuhan kepelatihan Andrew Yap.

Saya tak ingin menulis panjang bagaimana tim persiraja menjuarai divisi utama perserikatan pssi. Biarlah cerita ini menjadi milik nasir guru mud, boestaman, isnar atau siapa pun yang masih tersisa.

Tak mau juga menulis bagaimana persiraja melanglangbuana hingga ke Bangladesh dan Arab Saudi menjajal tim-tim di negara itu.

Yang saya inginkan justru ketika hari-hari ini stadion dengan ejaan yang salah itu, Dimurthala, ikut menjadi bagian dari multi even  yang bernama pekan olahraga nasional.

Pekan olahraga nasional yang di pekan pertamanya menampar anda dan saya karena ulah “toke bangku” yang mempreteli dana jadup milik atlet peserta. Jadup nasi kotak bak “nasi kucing.”

Jadup yang kini sedang viral akan menjadi kerja investigasi kepolisian dan kejaksaan atas penyelewengannya. Memalukan……..

Saya gak mau terperosok dalam debat kasus ini. Terlalu memuakkan….

Exit mobile version