Site icon nuga.co

Maaf, Kali Ini Bukan Milik Eropa

Corinthians   meruntuhkan  dominasi “benua biru” Eropa di laga final Piala Dunia Antarklub 2012, di Stadion Internasional Yokohama, Jepang, kemarin, setelah menggilas The Blues” Chelsea  melalui  gol tunggal Paolo Guerrero pada menit ke-69,  yang mengantar klub Brazil, juara Piala Libertadores itu, mengembalikan marwah sepakbola Latin setelah selama lima tahun terakhir dipecundangi klub juara Piala Champions.

“Kemenangan paling mengesankan,” tulis O’ Globo, surat kabar Sao Paolo, menyambut kemenangan Corinthians. Dalam tajuknya, dihari yang sama, O’Globo menulis dengan sangat emosional di bawah judul besar, ”Maaf Eropa, Kali Ini Kemenangan Milik Kami.”

Sepakbola Latin, untuk menyebut klub-klub di liga Amerika Selatan, selama lima tahun terakhir memang apes gelar juara. Mereka dikangkangi “superioritas” klub juara Eropa yang lebih “depth”  dalam  mengeksploitasi permainan secara  efesien dengan mengedepankan efektifitas penyerangan setara dengan pertahanan dan memenempatkannya dalam keseimbangan “linear” untuk  kebutuhan sebuah pertandingan.

Sedangkan Latin, seperti di tulis  di tulis Marco da Lula, senior editor sepakbola surat kabar  Rio de Janeiro, “Independencia,” masih belum bisa melepaskan diri dari permainan individual dengan “pakem” strategi menyerang adalah bagin dari pertahanan. “Mereka terjebak dalam megalomania sepakbola indah dengan menekankan pemain blok penyerangan sebagai pemujaan.”

“Ini sebuah penyakit yang hingga kini masih berjangkit di sepakbola Latin dengan produknya seperti Pato, Neymar atau pun Ronaldo. Mereka harus hijrah ke Eropa untuk menjadikannya seperti Messi,” hujat da Lula dengan ketus usai Corinthians mengembalikan Piala Toyota, lambang supremasi klub antar benua.

Corinthians, katanya, sudah bisa mengadopsi sepakbola Eropa itu dengan setengah hati. Mereka mampu melakukan serangan “one two” dengan pola klasik Latin 4-3-3 yang selain tajam juga mengukuh penetrasi pemain sayap untuk menjebak matematis 4-4-2 Eropa yang aliran bolanya ditentukan oleh penguasaan lapangan tengah, yang terkadang sangat Inggris,  seperti yang dimainkan oleh Chelsea melalui ramuan Rafael Benitez.

Corinthians memeragakan permainan yang sangat khas  “Latin,” selain umpan-umpan pendek dan “zig zag” ekselarasi juga  perpaduan  passing “one two” dengan “wall pass” di area sempit yang dikerumuni pemain untuk kemudian melepaskan diri  lewat  tekhnik “keepping”  individual, ciri anak-anak Brazil.

Secara keseluruhaan, permainan kedua tim. Chelsea dan Corinthians sangat mengasyikkan. Chelsea yang terbentuk dari pola permainan “impor” Italia usai ditangani pelatih Rannieri di awal tranformasinya usai dibeli oleh juragan minyak asal Rusia Roman Abramovich memang sudah meninggalkan sepakbola efesien yang sangat Inggris, “kick an rush.”

Apalagi setelah gaya Latin Portugal yang disemai oleh Jose Mourinho berhasil mengubah John Terry dan Lampard untuk beradaptasi dengan Torres dan Matta yang berkiblat ke gaya “samba” dan “tango.” Hasil adaptasi ini pula yang mengantarkan Chelsea menjadi Juara Liga Champions dengan menekuk Barcelona “Blaugrana” di semifinal dan Bayern Munchen pada pertandingan final di Allianz Arena ketika diasuh “caretaker” manajer Roberto Di Matteo.  Dan kini, ketika klub London Utara itu dalam keadaan oleng,  dan Roberto Di Matteo diusir, di tangan Rafael Benitez, usai Chelsea seakan-akan melakukan reinkarnasi “espana” yang mirip dengan Liverpool ketika  selama lima tahun diasuh “Rafa.”

Pertandingan antar benua dengan latarbelakang pola permainan yang berbeda, seperti menonton “drama.” Kedua tim bermain terbuka sepanjang sembilan puluh menit pertandingan berlangsung. Corinthians seakan mempertegas sebuah “these” permainan Amerika Selatan, masih belum sepenuhnya menyeimbangkankan peran menyerang dan bertahan. Mereka memang menyihir penonton dengan serangan bergelombang, cepat dan akurat, tapi penyelesaiannya tak sempurna. Bergerak dari blok pertahanan, begitu mengandaskan serangan Chelsea, Paulinho, Danili dan Paolo Guerrero dengan cepat merangsek pertahanan  bersama Souza yang taktis.

Chelsea  dengan “komandan” pertahanan berada di bawah kepemimpinan jagal David Luiz menghempang pergerakan  Emerson. Bahkan “membunuh pergerakan Wallace dengan “tackling”nya yang mematikan. David Luiz bukan hanya tembok Chelsea, tapi juga “raksasa” pembunuh dengan psoturnya yang tinggi besar.

The Blues, seperti dikatakan Lampard, gelandang gaek yang musim mendatang akan hijrah ke klub Sanghai, Cina, mengikuti jejak Didier Drogba, “hanya kurang beruntung.”  Empat gebrakan Matta, Torres, Hazard dan Moses dimentahkan oleh kecemerlangan Cassio, kiper Corinthians, yang malam itu bermain cemerlang dan menyabet “Golden Ball,” pemain terbaik.

Ketidakberuntungan Chelsea juga terjadi dibabak kedua, menjelang permainan berakhir,  dengan pengusiran Gary Cahill yang menyebabkan “The Blues” bermain dengan sepuluh pemain.  “Corinthians memang klub yang sulit ditaklukkan. Mereka sangat cepat bergerak begitu kehilangan bola. Pressurenya sangat menekan kami mengambang permainan,” kata Lampard.

Dengan kekalahan ini, Chelsea yang absen pada minggu ke -17  Premier Leugue, dan kini menempati posisi ke–empat di klasemen sementara  di bawah MU, City dan Tottenham. Dengan nilai 29 mereka masih mempunyai satu pertandingan untuk bisa kembali ke posisi tiga. Dengan psosisinya sekarang Chelsea sudah ketinggalan 13 poin dari pemuncak klasemen, MU.

Chelsea kini lebih memusatkan konsentrasinya bermain di liga setelah terdepak dari babak penyisihan grup Piala Champions.”Kami akan membereskan partisipasi di liga dan bermain lebih bebas,” kata Lampard.

Sementara itu Corinthians, klub  asal kota Sao Paolo yang pernah menyumbangkan pemain terbaik dunia seperti Rivelino, Roberto Carlos, Dunga dan menjadi klub terakhir Ronaldo sebelum pensiun, dengan kemenangannya atas Chelsea di final  berarti sudah menyabet gelar kedua kalinya. Gelar pertana mereka peroleh di tahun 2000 ketika sistem pertandingan masih dengan penyisihan grup.

Dengan kembalinya Piala Dunia Antarklub ini ke Amerika Selatan, setelah lima tahu digenggam klub-klub Eropa, membuktikan klub-klub dan kompetisi di Latin masih berjalan dengan baik sekaligus menghapus analisa banyak pengamat tentang ketertinggalan Amerika dengan Eropa. []

 

Exit mobile version