Poster ukuran besar dengan warna dasar biru dan tulisan putih itu muncul di sudut timur Stamford Bridge usai The Blues Chelsea mengayak gol ke gawang klub Denmark, Nordsjaelland, 6-1, Rabu sore waktu London atau dinihari WIB “Thank’s Mr. Benitez.” Begitu bunyi tulisan segede “gajah” itu di arak oleh ratusan tangan dengan disertai paduan suara, “go to heell ….go to heell…”
“Pesan dari poster yang galau dan koor yang menolak,” komentar Sky Sport TV tentang pemberontakan di Stamford Bridge ketika kamerawannya mengarahkan sorot lensa ke tulisan terima kasih dan dan paduan suara pergi..pergi… sebagai cara pendukung blues mengusir Rafael Benitez.
Reporter Sky Sport TV terus mencerocos secara retorik dengan nada nyelekit tentang Benitez yang datang sebagai tamu tak diundang ketika Roman Abramovich, juragan Chelsea, menyuruh Di Matteo angkat koper dan mengukuhkan gelar baru baginya sebagai “tukang pecat.”
“Chelsea sudah padam sebelum bertanding,” ujar Hoddle Smith salah seorang pengamat sepakbola Inggris yang komentarnya sering memerahkan kuping para manajer tim Premier League lewat aksi sok tahunya setelah klub London itu gagal melaju ke babak sudden death.
Antara tulisan poster dan komentar Smith memang ada rentangan benang merah yang menjurus pada “pelecehan” peran Rafael Benitez sebagai caretaker manajer di Blues usai pemecatan Di Matteo. Benitez, mantan pelatih Liverpool itu, sebenarnya bukan manajer kelas sayur. Ia termasuk pelatih ring one di sepakbola Inggris dengan prestasi pernah mengantar The Reds Liverpool sebagai juara Liga Champions, juara FA dan runner up Primer Liga.
Tapi, Kamis pagi itu, usai matchday seri keenam grup Liga Champions, hampir seluruh komentar dan analisis serta review di media Inggris menyudutkan pelatih beken itu sebagai pecundang. “Mereka tidak peduli mau berapa jumlah gol yang diperoleh Chelsea ketika menghantam Nordsjaelland. Yang pasti klub juara Liga Champions itu out,” tulis Reuter Sport dalam ulasan panjang si spesialis bolanya David Robson.
Chelsea memang harus tersingkir dalam 16 Besar Liga Champions karena pertandingan di Grup E lainnya, Juventus menang atas Shakthar Donetsk 1-0 hingga melambungkan posisi klub Turin Italia itu ke urutan kedua klasemen akhir dengan angka 9. Chelsea sendiri tetap di posisi dua minggu terakhir, urutan tiga, dengan poin 7, dan harapannya untuk kemenangan Shakthar
Pertandingan terakhir penyisihan grup ini memang tidak menarik bagi penggemar, pengamat dan komentator sepakbola dunia. Perhatian mereka hanya tertuju pada persaingan empat klub. Celtic dan Benfica di Grup G serta Chelsea plus Juventus di Grp E. Selebihnya sudah pasti lolos ke-16 Besar. Selain Chelsea, klub Portugal Benfica juga terhempas. Celtic tampil mendampingi Barcelona.
Seperti kehilangan isu besar setelah Real Madrid, MU, Barca Bayern dan klub papan atas Eropa lainnya lolos, media global memfokuskan sorot perhatiannya ke Benitez dan Chelsea. “Isu Benitez lebih genit dari pada jalannya seluruh pertandingan matchday ke enam hari kedua,” tulis kantor berita “AP Sport” tentang berlombanya seluruh jaringan media mempelorotkan Benitez.
Rafael “Rafa” Benitez Maudes, yang kini menjadi bulan-bulan di Stamford Bridge bukanlah pelatih “asal jadi.” Lelaki Spanyol kelahiran Madrid 52 tahun lalu itu telah melewati masa duapuluh tahunan sebagai pelatih profesional usai cedera mematikan ketika karirnya sebagai pemain sepakbola memasuki ambang bergengsi, anggota tim senior di Real Madrid.
Ia di vonis tidak bisa menjadi pemain sepakbola yang membutuhkan “kerja keras” karena cedera “hamstring” yang menurut diagnosis tak akan pernah pulih. Ia masih ngotot untuk menyembuhkan cedera itu dengan mendatangi klinik terbaik di Spanyol. Cedera yang dialaminya itu ketika bertanding dengan sebuah klub di Kanada Tapi hampir semua klinik dan upaya kedokteran sudah tertutup baginya. Mereka angkat tangan.”
“Rafa” bersumpah tidak akan meninggalkan sepakbola dan mencari pelintasan yang lain. Ia banting stir sebagai pelatih yang dimulainya dari klub akademi paling rendah di Real Madrid. I kemudian merangkak mengantarkan klub klas dua Extremadura ke La Liga hingga ia di pinang klub papan atas Spanyol, Valencia di tahun 2001.
Sejak itulah “Rafa” mulai dilirik klub-klub elit liga Eropa dan terdampar di Anfield, Liverpool, selama enam musim kompetisi dengan mempersembah gelar Liga Champions, Super Eropa dan FA. Ia hengkang dari Anfield setelah bersitegang dengan pemilik klub yang enggan mengucur dana untuk membeli pemain. “Saya pergi. Bukan diusir. Tak ada kecocokan,” katanya ketika harus mengepak koper dari stadion yang magis itu.
Usai dari Anfield ia berlabuh di Internazionale Milan. Cuma enam bulan. Kali ini di usir oleh juragan Moratti, sang pemilik klub, karena prestasi tim yang terus menerus melorot. Keluarga Moratti, juragan minyak Italia itu, kecewa dengan gaya melatih Benitez yang mengadopsi “style Liverpool.
Selama dua tahun terakhir Benitez mengambil cuti kepelatihan. Ia pernah digadang-gadang akan melatih sebuah klub di TimurTengah, tapi bubar karena juragan klub tak mau membeli lima pemain baru. Dan ketika ia ditelepon oleh Roman Abramovich usai kekalahan beruntun Chelsea di Liga Primer dan Liga Champions, Rafa mengambil alih kepelatihan Roberto Di Matteo.
“Saya datang ke Stamford Bridge hanya sebagai manajer interim,” katanya pada keterangan pers pertamanya. Berarti Benitez hanya akan menyandang posisi manajer selama sisa musim. “Saya belum melihat prospek panjang di di sini.”
Tapi, bagi pendukung klub London Utara itu, Benitez kadung dimusuhi semasa ia melecehkan Chelsea ketika bertanding di Anfield. Rafa pada waktu itu mengatakan Chelsea tak perlu merengek minta kemenangan. Padahal Chelsea memang butuh kemenangan untuk bisa bertanding di Liga Eropa. Liverpool pada saat itu merupakan juara bertahan Piala Champions.
Dendam inilah yang kini menyertai karir kepelatihan “interim” Rafa di Stamford Bridge. Kepelatihan yang juga cacat akibat berangnya suporter atas pemecatan Roberto Di Matteo yang sudah memberikan dua gelar terhormat bagi Chelsea, Piala Champions dan Piala FA. []