Site icon nuga.co

Rivalitas Dua “Merah” di Derby of England

Laga dua “Merah,” “The Reds” melawan “The Red Devils” di Old Trafford, pekan keenam belas Premier League, Minggu malam WIB, 14 Desember 2014, diyakini merupakan “bigmatch” akhir tahun yang sangat prestesius di panggung kompetisi milik Football Assosiation.

“Bigmatch” ini merupakan persaingan antara dua “raksasa” Premier League yang secara keseluruhan menguasai lebih dari separuh predikat juara di liga.

Tidak hanya dihebohkan oleh latar belakang keduanya sebagai “legenda” klub di Inggris, pertemuan Manchester United dan Liverpool juga tergambar lewat kata-kata dan kalimat yang berserakan sepanjang sejarah pertandingan mereka.

Ada sindiran, ada rasa kesal, ada rasa hormat.

Banyak kutipan menarik yang didapat dari rivalitas dua raksasa Inggris tersebut seperti yang ditulis oleh dua surat kabar terkenal Inggris, “Manchester Evening News” dan “Telegraph”

Kedua Koran itu juga menggambar pertemuan keduanya seelalu menarik untuk disimak. Bukan apa-apa, keduanya adalah rival abadi. Terlebih, rivalitas itu sebenarnya menembus batas lapangan hijau.

Ya, persaingan antara ‘Setan Merah’ dan ‘Si Merah’ tercipta bukan hanya karena rivalitas di lapangan saja. Persaingan kedua klub tersebut lebih dulu diawali oleh rasa sebal di antara kedua kota tempat bermarkasnya kedua klub, yakni Manchester dan Liverpool.

Pada abad ke-sembilan belas, Liverpool dengan Albert Dock-nya merupakan kota pelabuhan paling terkemuka. Pelabuhan milik Liverpool jadi gantungan banyak kota industri di wilayah Barat Daya dan Barat Laut Inggris, termasuk Manchester.

Sebagai kota industri, Manchester membutuhkan Liverpool. Barang-barang yang akan digunakan untuk membangun industri mereka masuk dari dermaga di Liverpool.

Namun, lama-lama pajak dan sewa dermaga yang ditetapkan Liverpool semakin mahal. Ini yang membuat para pengelola industri di Manchester kesal.

Akhirnya mereka pun membuat solusi sendiri: membuat kanal supaya kapal-kapal bisa langsung masuk ke Manchester tanpa harus singgah di Liverpool dulu.

Dengan adanya kanal tersebut, ketergantungan akan Liverpool pun sirna. Sementara imbasnya untuk Liverpool, kanal tersebut telah membuat pemasukan kota mereka dari sewa dermaga dan pajak menjadi turun drastis.

Dari sanalah rivalitas tersebut bermula. Seiring berjalannya waktu, rivalitas antara Manchester dan Liverpool menjalar ke mana-mana, termasuk ke lapangan hijau

Di tanah Inggris, United boleh menepuk bangga dengan raihan gelar Liga Inggris terbanyak, yakni dua puluh gelar. Namun, Liverpool bakal membalas bahwa di daratan Eropa merekalah yang berjaya dengan catatan lima trofi Liga Champions.

Bekas bek United yang kini jadi komentator untuk “Sky Sports,” Gary Neville, pernah mengutarakan dengan gamblang bahwa persaingan kedua klub juga diiringi rasa sebal di antara kedua penduduk kota. Neville, yang lahir di Bury –masih di wilayah Greater Manchester–, tidak pernah tahan dengan segala hal yang berbau Liverpool.

Namun, secara fair, Neville juga mengakui bahwa rasa sebal tersebut juga berasal dari berbagai sukses yang diraih Liverpool –sebagai sebuah klub sepakbola– semasa dia kecil.

“Saya tidak tahan dengan Liverpool, saya tidak tahan dengan orang-orang Liverpool. Ketika saya tumbuh besar, ada rasa cemburu yang tidak bisa ditahan-tahan. Nyatanya, saya memang iri pada semua sukses yang didapatkan oleh tim mereka,” ucapnya.

Kapten Liverpool, Steven Gerrard, juga punya cerita sendiri soal rivalitas ini. “Teman saya punya kostum Bryan Robson. Kami sedang bermain bola dan saya bertanya, apakah saya boleh jadi Robbo, panggilan Robson, barang sebentar,” ujar Gerrard.

“Ayah saya tahu dan mengamuk, dia tak mau anaknya memalukan nama Gerrard. Saya pikir, kami harus pindah!”

Akhir pekan ini, Minggu malam WIB, kedua tim akan kembali bertemu di Old Trafford. United sedang berada di posisi ketiga, sementara Liverpool kesembilan. Namun, di posisi berapa pun kedua tim berada, rivalitas mereka selalu lebih dari itu.

Gary Neville dan Jamie Carragher kini duduk berdampingan sebagai analis sepakbola dan satu atau dua kali melempar candaan. Sulit untuk dicerna mengingat dulu keduanya dengan gigih membela klub masing-masing, Manchester United dan Liverpool.

Candaan keduanya terkadang menjurus kepada olok-olok ringan. Pernah, pada suatu kesempatan Carragher menyebut bahwa tidak ada seorang pun bek muda yang ingin tumbuh dan berkembang menjadi Gary Neville. Mendengar ini, Neville hanya bisa tersenyum.

Carragher melontarkan hal tersebut untuk menggambarkan bahwa kebanyakan fullback yang beredar saat ini adalah seorang bek tengah ketika masih muda. Jarang ada seorang fullback yang benar-benar dididik untuk jadi fullback.

Bahkan Neville –yang dulunya adalah fullback kanan– adalah seorang bek tengah semasa junior. Dari situlah Carragher berkesimpulan, tidak ada yang mau jadi Gary Neville dan itu pun dibenarkan oleh Neville sendiri.

Di lain waktu, Neville mengatakan bahwa kemampuan penyerang United, Robin van Persie, untuk mencari celah di lini pertahanan mirip dengan kemampuan seorang maling yang masuk ke rumah orang tanpa terdeteksi.

Mendengar pemaparan Neville tersebut, Carragher langsung berucap, “Kau pasti bersembunyi di kolong tempat tidur.” Tidak mau kalah, Neville pun membalas, “Ya, jika kau malingnya.”

Kontan, Carragher tergelak mendengarnya. Carragher tahu bahwa ucapan Neville merujuk pada stereotip kota Liverpool yang konon banyak maling dan copet. Bahkan rumah Steven Gerrard saja pernah kemalingan.

Exit mobile version