Site icon nuga.co

Informasi “Sontoloyo”

Malam tadi saya bla-bla-bla dengan seorang teman lama di sebuah kafe kawasan pal merah.

Menyebut pal merah Anda pasti langsung menuding bagian dari kawasan sebuah grup media hebat.

Tak salah.

Memang di kawasan itu bertumbuhan media hebat. Dulunya. Media cetak. Yang kini sudah bertumbangan. Bermutasi ke media online. Juga masih ada hebatnya.

Teman bla-bla-bla saya itu juga orang hebat. Hebat sebagai jurnalis. Di grup media itu. Media yang Anda tahulah bagaimana hebatnya. Yang jargonnya tak pernah lekang hingga hari ini.

“Amanat hati nurani rakyat.”

Dia seorang penulis esai, nota sekaligus cerpenis. Terkenal di lingkungannya sebagai budayawan. Saya tak akan menuliskan namanya. Karena itu permintaannya sendiri.

“Kalau abang menulis setiap percakapan kita  jangan sebut nama saya,” begitu pesannya setiap kali kami bertemu dan saya selalu menulis bla-bla pertemuan itu.

Sekarang dia sudah purnakarya sebagai pekerja media. Tapi nggak pernah purnakarya sebagai penulis. Alasannya, dia tak mau menerima kutukan karena pernah menulis buku: “menulis seumur hidup”

Buku bagus. Bagus sekali bagi mereka yang ingin menulis. Kalau Anda nggak percaya cari saja di toko buku atau pesan online untuk kemudian baca. Camkan.

Selain penulis buku ia juga banyak menerbitkan kumpulan cerpen. Bahkan ketika kami bertemu itu ia baru usai mementaskan drama bergaya ketoprak di kota kelahirannya Salatiga. Yang pemerannya kalangan selebritas.

Ketoprak yang script sekaligus sutradaranya dia sendiri.

Maaf… kalau terlanjur berpromosi. Maaf juga atas ketelanjuran saya jadi marketing.

Nah kita sudahi saja bla-bla cerita pembuka pertemuan pal merah ini. Baiknya kita masuk aja ke isinya.

Isinya?

Ya… tentang banjir bandang informasi. Termasuk bandang yang menerjang media selama satu bulan terakhir. Polisi tembak polisi. Yang kemudian bermutasi polisi bunuh polisi. Entah apa sesudah itu. Terdakwanya cepek-cepek

Padahal presiden Jokowi sudah keluar tampang aslinya. Tampang nggak peduli segede gajah apa institusi polisi itu. Pokoknya buka sebenderang-benderangnya. Dan ia menyuruh Mahfud MD sebagai loudspeakernya.

Kan loudspeaker milik Mahfud bisa berbunyi lantang.  Selain ahli hukum yang pernah jadi ketua mahkamah konstiusi dan kini menkopolhukam Mahfud masih menyandang jabatan sebagai ketua kompolnas. Komisi kepolisan nasional.

Iya juga untuk seorang Mahfud berloudspeaker produk madura.

Wallahualam…

Yang nggak wallahulam adalah bandang berita itu sudah mengalahkan isu korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Ratingnya masih memuncaki singgasana kehangatan di otak banyak orang.

Yang menurut seorang teman jurnalis kasus ini  telat meledak. Baru di hari ketiga diungkapkan. Itu pun dengan cara yang datar. Ledakan pertama rating justru baru terjadi di hari ke tujuh.

Yakni ketika pengacara mulai angkat bicara keras. Ledakannya telat tujuh hari. Maka redanya juga lebih lambat dari perkara besar yang lain.

Peristiwa ini juga lambat reda karena terlambatnya dimunculkan sisi manusiawinya. Selingan yang terasa manusiawi itu baru terjadi di hari kedua puluh sembilan.

“Entahlah,” ujar sang kawan pal merah saking skeptisnya terhadap banjir bandang berita itu.

“Banjir bandang  informasi sekarang ini, saya tidak tertarik bang,” lanjutnya. Berita yang pakai judul bla-bla-bla faktanya; nyesel tidak tahu bla-bla-bla; fakta-fakta mengenai bla-bla-bla; dan seterusnya.

Termasuk terhadap mereka yang hendak menjelaskan secara tirik-tirik duduk perkara sebuah peristiwa, saya telah kehilangan minat.

Mending dengerin lagi said effendi, “tinggi gunung seribu janji.”

Sama seperti sang teman, puluhan tahun kerja di institusi pers yang punya niat pikiran mulia bahwa berita hendaknya mampu menjelaskan duduk soal. Untuk itu saya sering berpikir apa sebetulnya makna duduk perkara.

Apakah tanya sana-sini, mengutip semua pihak. Yang Anda tahu bukan cuma satu-dua sumber? Lantas itu dianggap menjelaskan duduk perkara sebuah peristiwa?

Menggelindingkan gosip tentang seseorang, lalu meminta orang bersangkutan menjelaskan tentang gosip atau desas-desus tersebut.

Dalam bahasa media sebutannya konfirmasi.

Bukankah ini sontoloyo…

Jangan-jangan tanpa peduli atau mendengar informasi pikiran orang malah akan kian jernih.

Bagi saya yang cuma pensiunan pekerja pers, menyebut ini sebagai metainformasi. Jangan pedulikan informasi.

Prekkk.

Bikin otak keruh, korslet, hang.

Bacaan saya tentang McLuhan ternyata betul. Sejak lama ramalannya tentang era seperti sekarang, di mana teknologi menempatkan otak atau isi kepala manusia dalam satu jaringan.

Sesuai tesis dia mengenai supremasi medium—bentuk medium yang menentukan, bukan content alias  isinya. Kini otak kita diseragamkan oleh medium digital.

Dalam dunia pascakasunyatan, kita disuruh mencerna segala hal yang seolah-olah perlu padahal sama sekali tidak perlu; digerojok segala informasi agar jadi cerdas padahal kecerdasan tak lagi dibutuhkan

Kecerdasan sudah digantikan oleh artificial intellegencedan dengan itu percayalah, dalam waktu tak lama lagi lembaga pendidikan tamat.

Lembaga pendidikan mengajarkan agar orang bisa memperoleh informasi, menganalisa, membuat keputusan.

Buat apa semua itu kalau artificial intelence dengan mudah bisa menggantikannya, dengan lebih segera, tepat, keputusan yang diusulkan tanpa disertai bias kepentingan.

Anda sudah tahu dari waktu ke waktu informasi adalah komoditas yang hendak dikuasai satu pihak, entah itu pemilik kekuasaan atau pemilik modal, atau pemilik kedua-duanya sekaligus.

Nggak percaya bukalah jaringan kepemilikan televisi, radio. Pokoknya media mainstream. Lantas pertanyakan. Apa kepentingannya. Jawabnya pasti mentok. Cuan.

Begitu informasi di tangan mereka, terlebih dengan medium digital yang telah mengubah cara kerja cerebral cortex kita, jadilah kita seperti banteng aduan dalam pertunjukan matador.

Digoda agar seruduk sana sini sebelum sang matador menancapkan tombak ke tengkuk kita. Cerebral cortex  adalah bagian dari otak manusia yang bertugas mengolah kesadaran.

Bentuk kesadaran manusia pertama—yang menyebabkan dia sadar akan dirinya, berbeda dari spesies lain yang tak sadar akan dirinya—adalah kesadaran primordial. Bahwa dirinya milik dan bagian salah satu kelompok tertentu.

Kalau mengingat kesadaran primordial merupakan kesadaran paling purba, bisa dimaklumi, dengan mengusik masalah primordialisme, persatuan sebuah bangsa paling mudah diacak-acak.

Siapa paling dituntungkan kalau persatuan bangsa teracak-acak?

Saya nggak berhak menjawabnya. Silakan jawab sendiri.

Selama jutaan tahun proses kesadaran manusia mengalami evolusi. Tikungan paling penting dalam evolusi kesadaran manusia adalah tatkala ditemukan bahasa.

Dalam kitab perjanjian lama ada ungkapan: pada mulanya adalah kata.Siapa yang menentukan kata akan menentukan segala-galanya. Seperti yang terjadi di negeri ini dan di negeri manapun di muka bumi ini.

Ah.. saya bukan ahli kitab suci. Hanya pensiunan pekerja pers. Soal kata dan bahasa inilah yang saya anggap sebagai problematik dalam soal duduk perkara manusia saat ini.

Saya sangat prihatin dalam pemilihan kata, bahasa, pekerja pers. Mereka mengekor bahasa penguasa.

Mungkin pekerja pers atau siapa saja sekarang ini adalah semata-mata produk tak berdosa dari medium yang jaringannya telah mengobah cara kerja otak kita.

Tanpa sadar—kecuali para penjilat yang melakukan secara sadar—kita menjadikan penguasa sebagai protagonis yang bukan saja segala ucapannya dianggap benar tapi juga dipuja-puja, dirayakan, tidak boleh diusik.

Siapa saja yang mengusik penguasa dianggap—istilahnya sekarang: radikal, kadrun, cebong, dan seterusnya, tergantung pada pihak mana kita berdiri. Whose side are you on.

Setiap kali membaca berita saat ini dalam hati saya selalu berharap tidak ketemu istilah oknum; senpi; laka; nataru; sinergitas; dan lain-lain yang bikin perut saya mual.

Pada otak yang telah dikuasai oleh sistem jaringan seperti itu, pada gilirannya juga akan ikut-ikutan menganggap perbudakan sebagai pembinaan;

Kejahatan sebagai niat baik,  kesewenang-wenangan sebagai kesalah-pahaman. Entah apalagi kata yang harus tumpah

Saya dan Anda tentu jadi rindu bahasa rakyat yang otentik. Seperti mbong, sontoloyo, kurang ajar, cilaka yang untuk selanjutnya silakan saja menyambungnya dari koleksi otak Anda.

Exit mobile version