Saya gak tahu se efektif apa investasi pokir bisa eksis melawan investasi baru di pemilihan legislatif musim ini.
Ketidaktahuan itu saya ungkapkan ke seorang anak muda yang ingin meneliti keterpilihan calon anggota legislatif. Kajiannya menyangkut dana pokir untuk keterpilihan seorang anggota dewan.
Anggota dewan yang telah duduk untuk satu periode, periode kedua… terus periode ketiga….dan seterusnya. Anggota dewan yang kalau sudah duduk lupa berdiri.
Dudukannya di kokohkan investasi pokir.
Anda kan tahu apa itu pokir. Tahunya mungkin melebihi yang saya tahu. Atau Anda dan saya sudah tahu sama tahu.
Tahu juga pokir itu diperbolehkan. Di anggaran pendapatan dan belanja daerah. Yang membolehkan itu menteri dalama negeri.
Dulu pokir itu dinamakan dengan pokmas. Kelompok masyarakat. Pokmas, Sudah raib. Muncul nama baru. Pokir. Pokok pikiran.
Intinya sama. Setiap anggota dewan dapat “jatah” dari anggaran pendapat dan belanja daerah. Besaran beda untuk setiap daerah dan jenjang. Kabupaten, kota dan provinsi.
Yang beda untuk sekarang hanya pengelolaannya.
Di era pokmas usulannya lewat kelompok masyarakat. Usulan itu lahir dari kunjungan reses anggota dewan ke daerah pemilihan Dari aspirasi masyarakat.
Sang anggota minta ke kelompok masyarakat untuk menuliskan permintaannya dalam sebuah usulan proyek. Semacam proposal lah Proposal proyek.
Proposal itu dikirim ke sang anggota. Anggota mengumpulkannya ke fraksi.
Dalam praktik, nama kelompok masyarakat itu hanya formalitas. Proposal pokmas bisa dibuatkan. Kontraktor yang mengerjakan proyek pun sudah ada.
Bahkan si kontraktor sanggup memberikan dana ijon sebagai komisi kepada anggota tersebut.
Dengan adanya pokir, pelaksanaan jadi beda. Pengelolanya adalah instansi di pemerintahan daerah. Tidak lagi tiap anggota bisa menentukan sendiri siapa pelaksana proyeknya.
Untuk proyek pokir, anggota sendiri yang membuat usulan. Bukan lagi kelompok masyarakat. Dasarnya sama: hasil kunjungan ke dapil di saat reses.
Proposal itu juga dikumpulkan di fraksi. Lantas dikirim ke pemda. Dinas-dinas melakukan pengkajian atas usulan itu. Lalu melaksanakannya, lewat pengadaan elektronik melalui e-katalog.
Saya sendiri gak tahu bagaimana cara membuat proposalnya. Sebab lokasinya bisa banyak Pakai plafon di lokasi dapil. Dan ada pembatasan dana tiap plafon proyek
“Sebenarnya yang seperti itu dihapus saja. Rawan korupsi,” ujar seorang teman bekas anggota dewan yang kini jadi pengamat dan pernah ber-pokmas ria.
Menurutnya, model pokir ini pemerintah daerah lebih aman. Walaupun prosesnya lebih panjang Setidaknya lewat pokir tidak akan ada lagi praktik ngijon proyek
Apakah dengan pokir akan masih ada praktek korupsi?
Saya yakin tetap ada
Ya sudah..
Anak muda yang ingin meneliti efektifitas pokir dalam kaitan keterpilihan seseorang anggota dewan punya basis untuk meneliti ini.
Ia lulusan sebuah perguruan terbaik di negeri ini. Brwawijaya. Malang. Sebuah perguruan tinggi rangking atas. Yang tahun ini saja jumlah mahasiswanya mencapai sembilan puluh ribu.
Si peneliti sudah di strata tiga. latar belakang pendidikan bukan sosiologi. politik atau non eksak lainnya. Ia seorang ekonom. Seorang dosen. Tertarik dengan masalah politik dengan memakai hitungan.
Katanya, ia sudah punya data. Dikumpulkan sejak tiga tahun terakhir. Sudah punya daerah pemilihan. Atau dapil untuk penelitian ini. Tidak hanya satu tapi beberapa. Gak ia katakan.
Ia minta saya untuk tidak menulis dapil-nya. “Anggap aja untuk diketahui sendiri,” begitu katanya.
Bahkan ia sudah mulai melakukan penelitian awal. Yang belum masuk tahapan analisa.
“Nanti om, katanya ketika saya minta klarifikasi.” Belum. Saya berikan om setelah berbentuk buku, katanya lanjut.
Saya senang penelitian itu dibukukannya. Tentu bukan hanya yang senang. Anda pun bisa ikut senang kalau ada niatan untuk nyaleg. Memudahkan hitungan. Investasi nyalon.
Dalam penelitin itu nanti ia akan terang-terangan menuliskan investasi nyalon untuk seorang nyaleg.
Katanya investasi ini akan bisa dianggap logis. “Saya akan ungkapkan besaran angkanya. Sekalian balik modal plus tambah keuntungan,” katanya bergurau sembari berhahaa ..hihi…
Soalnya walaupun uang gaji dan tunjangan selama jadi anggota dewan dikumpulkan utuh jadi satu, mungkin tak akan mampu menutup biaya yang dikeluarkan saat nyaleg.
Bahkan mungkin satu persennya pun tidak. Fenomena inilah yang membuat caleg awalnya orang baik-baik, bisa gelap mata.
Saya pribadi pun kalo sekiranya dalam posisi demikian, bisa jadi ikutan nilep juga lewat pokir. Karena itu, sebisanya saya ga ada niatan nyaleg atau obsesi jadi nyalon.
Sekarang entah dana apa namanya, pun entah berapa besarannya satu hal yang jelas, pencairannya tetap menjadi lahan suap-menyuap.
Buntutnya kualitas proyek yang dibiayai dengan dana semacam itu pasti abal-abal. Itu pengalaman kenalan saya yang sudah sembilan tahun jadi anggota, tetapi untuk ambil kredit mobil saja tidak berani.
Kondisi sekarang kayak benang layang-layang kusut akut, tarik disana, kencang disini. Jadi mintas potong trus sambung saja ke kualitas atas kuantitas.
Anda kan tahu fungsi utama dewan adalah uji dan pengawasan mutu program eksekutif, bukan ikut cawe-cawe dimasalah proyek pembangunan.
Jika dibiarkan begitu, bakal rumit dan tumbang tindih program pembangunan pemda. Kalo di film kungfu itu ibaratnya seperti baju partai kaypang, tambal sana sini pembangunannya ,tidak seragam
Apapun namanya, pokmas atau pokir kalau pikirannya dan jiwanya masih “otak korupsi” ya tetap jadi koruptor, dan masih akan terus cari celah untuk korupsi.
Sebenarnya, apapun nama setiap usulan proyek merupakan niat baik mensejahterakan rakyat. Ini wajib diwujudkan.
Jangan lupa ada caleg baru yang ingin merebut porsi kursi. Caleg ini dari sekian banyak partai tentu tidak datang dengan tangan kosong,
Bertambahlah kucuran dana ke rakyat dalam bentuk money politik. Anggota dewan yang cerdas biasanya merawat dapil bukan pada saat kampanye.saja.
Mereka membangun dapil dari dana pribadi. Maunya ini dijadikan jargon. Ini contoh baik. Korupsi itu terjadi adanya perpaduan antara niat dan kesempatan.