Saya kaget. Seorang teman mengirim sebuah podcast lewat whatsapp grup. Podcast yang gak jelas muasalnya. Tapi jelas untuk siapa ditujukan.
Dari podcast itu bla..bla…di grup jadi gaduh dan panjang.
Beda dengan muasal desin si podcast. Yang sulit di lacak. Tapi arahnya sangat jelas. Gak perlu harus di perjelas. Dari akronimnya saja rumput yang gak bergoyang pun tahu.
Akronim judulnya ada kata “pokir.” Pokir yang kalau mau ditelusuri kemarin dulunya namanya “pokmas.” Kalau mau lanjut disusur dulu-dulunya lagi kepentok akronim lainnya: “asmas.”
“Pokir itu virus pokok pikiran. Mutasi dari virus pokmas-kelompok-kelompok masyarakat. Pokmas ini juga muasal nya dari mutasi virus aspirasi masyarakat-asmas.
“Kesemua virus sudah keluar dari fungsinya”
Lantas tulisan-tulisan dari grup lanjut dengan tanya lainnya: apa beda pokir dengan pokmas?
Seorang anggota grup whatsapp kami yang bernama “salemo” menjawab: hanya beda nama tapi esensinya sama. Lantas muncrat joke lewat gambar khas boneka yang menyeka ingus.
Ramai-ramai anggota grup wkwkwk…. Abis nama “salemo” itu kan berati ingusan. Sama saja.. “Salemo” dan ingus itu beda nama tapi idem kamus.
Beda lainnya tipis-tipis. Di pokmas anggota dewan yang menentukan kontraktornya. Di pokir pemerintah provinsi dan kabupaten-kota yang menentukan pelaksana proyeknya.
Proses idem dito. Sama-sama. Sama-sama lahir dari kunjungan jaring aspirasi ke masyarakat di dapil masing-masing.
Pokir katanya guna “kesejahteraan” bersama. Ibarat ikan loncat ke daratan. Semua bisa pilih ikannya rame-rame. Sebagai pembenaran.
Berubahnya nama ini karena telah melahirkan banyak tersangka yang dikirim ke “hotel prodeo” Maka muncul kesepakatan: diubah. Jadi pokir. Secara hukum pokir lebih aman bagi para anggota.
Peraturannya begitu.
Dulu juga begitu.
Intinya merupakan kepanjangan dari pokok-pokok pikiran. Istilah ini digunakan untuk menyebut kewajiban anggota legislatif menjaring aspirasi dari masyarakat.
Aspirasi itu kemudian akan ditindaklajuti para wakil rakyat ke eksekutif saat perancangan anggaran
Pokir tak bisa disalahkan. Jalan lingkungan di kampung saya banyak yang disemenisasi, asbab pokir. Ijon dan cash back yang salah.
Aturannya memang begitu, dari dulu dulu. Kalau proses pemilu begitu dungu. Hasilnya dapat diterka.
Saya sendiri hanya bisa kwek..kwek sembari menerawang: pokmas, pokir atau apa pun namanya adalah cara. Yang penting kan uangnya
Itu yanng bisa saya kutip dari baris perbaris tulisan podcast grup. Lanjutnya anda bisa ketawa atau meradang. Sebab pemainnya ia sebut bukan preman pasar dan preman terminal.
Preman yang ditakuti dan dibenci di akar cuak. Preman yang di dor . Lantas bagaimana preman dalam gedung ber ac. Diapakan?
Di door… hahah… yang ini eksekutornya kan sama-sama preman. Preman proyek dan preman perkara.
Preman yang mewujudkan janji proyek dengan mengucurkan anggaran besar dari modal besar yang bisa dari modal sendiri atau modal pinjaman.
Yang pada akhirnya jika jadi maka akan berusaha secara berjamaah untuk mengambil dana pemerintah itu. Pejabatnya akan tunduk dengan proposal karena perlu dukungan kebijakan.
Pilihan lain gak ada selain cincai sama-sama jalan ngebor proyeknya.
Ini sudah menjadi sistematis korupsi. Permainannya sangat kreatip. Sudah masuk dalam guiness book corruption, Sistematis korupsi.. Hasil akhirnya sama. Bagi bagi uang korupsi.
Saya enggan kalau diajak ngomong tentang pokir yang bisa mengganggu dan menghambat proses rencana pembangunan
Apalagi kalau dikaitkan dengan peta pembangunan segala. Ditambah dengan narasi menghabiskan sumber daya hingga rancangan jangka pendek-panjang. Plus-plas blueprint. Cetak biru.
Terhadap suara masyarakat sipil untuk menghapus sistem dan proyek pokir yang gemanya bak hilang timbul saya gak juga percaya.
Apalagi memakai argumentasi waka-waka, Yang saya tahu pokir adalah modus korupsi yang menjadi ladang duit bagi para anggota dewan untuk mengakumulasi bayaran ongkos politik elektoral.
Bagi saya pokir tak lebih dari “penitipan proyek” Jjika anda bicara pokir, aspek pokok pikiran tidak tampak. Yang tampak adalah dimensi anggaran atau duit.Pokir itu kan uang proyek
Pokir sejak saya tahyu gak lebih dari istilah sandi rahasia ladang duit untuk mendapatkan anggaran negara guna membiayai cost politik elektoral yang semakin mahal.
Akibatnya, rakyat pun tidak lagi memilih wakilnya karena alasan integritas dan kompetensi, tetapi karena pernah mendapatkan uang dari kandidat.
Setelah terpilih pun mereka pun gak akan memperjuangkan nasib konstituennya. Ngumpulkan duit lagi guna mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan dan membiayai kontestasi berikutnya.
Ini yang namanya patologi bagi demokrasi. Abaikan prinsip kontrol dalam penyelenggaraan kekuasaan dan bertentangan dengan prinsip trias politica.
Padahal anda sudah tahu mekanisme kontrol itu esensial dalam demokrasi. Kekuasaan politik tanpa kontrol sudah pasti korup dan fatal.
Ketika anggota dewan menjadi pimpinan proyek lewat mekanisme pokir mengelola anggaran negara, pertanyaannya, siapa yang mengontrol?
Setahu saya gagasan pokir dulu muncul seiring dengan korupsi dana bantuan sosial yang masif di mana-mana dan melibatkan pelaku dari kalangan eksekutif.
Legislatif gak mampu mencegah perilaku korup kalangan eksekutif, lalu lama-lama mereka juga ingin punya proyek sebagai wujud keberpihakan kepada warga di daerah pemilihannya.
Proyek ini bak pekerjaan pemburu rente saling menyandera untuk saling melindungi Dimana ada kesempatan di situ ada korupsi.
Kesempatan itu memang sengaja diciptakan. Apapun nama jenis program diupayakan menjadi peluang untuk menguras uang negara.
Apalagi oknum lembaga legislatif memanfaatkan fungsi anggaran untuk mengusulkan dan nenyetujui sendiri pokir. Katanya guna “kesejahteraan” bersama