Site icon nuga.co

Kodon, Kata Pedih Milik Sebuah Prahara

Tadi pagi saya menelepon seorang teman yang saya sapa sebagai dusanak. Tanpa huruf “n” antara  u dan s di huruf ketiganya. Yang arti eloknya saudara.

Namanya Basri Emka. Ia seorang sarjana pertanian. Pernah jadi pejabat di tingkat propinsi dan kabupaten. Katakanlah kepala dinas plus kepala biro dan pernah pula jadi pejabat bupati di sebuah kabupaten usai tsunami.

Yang pasti, keinginan saya meneleponnya bukan karena ia seorang mantan pejabat. Lebih sebagai teman yang memiliki jalan hidup sepemahaman. Kami sama-sama senang membaca dan  menulis puisi plus cerita pendek dengan segala pernak pernik atau tetek bengek kesenimanan.

Dan bukan  masalah pernak pernik  itu pula hasrat saya meneleponnya di pagi itu.

Saya, sebenarnya, ingin berbagi kenangan pada hari di ujung September ini dengan dia yang saya panggil dusanak itu..

Berbagi buncahan memori ketika di Jakarta sana para elitisme berteriak sembari menuding bak anak kecil tentang raibnya patung Soeharto dan Nasution di museum diorama Kostrad.

Dalam dehem saya, biarlah mereka berkelahi kata-kata dalam merebut panggung dengan tujuan yang belum tentu mulia.

Saya dan Basri, yang pernah hidup merangkak, di sebuah asrama kumuh di Banda Aceh, memang tak pernah terpisahkan oleh waktu dan jarak sejak handphone menjadi barang mewah hingga benda rombengan yang kini isinya di dominasi “hoaks” dan fitnah keji.

Pagi itu saya ingin mencongkel memori Basri tentang sebuah kata,  “kodon.”  Sebuah kata yang jatuh dari langit di negeri saya, nun  jauh di belahan selatan Aceh dan kami mengolok-olok tanah tumpah darah kami itu sebagai negeri ketelatan.

Kata kodon, bagi kami, saya, Basri atau siapa saja, waktu itu, diucapkan tanpa beban. Kata, yang kemudian, ketika kami menjadi manusia bernalar, subhanallah mengerikannya.

Kata yang sering  kami peragakan, karena tak mampu untuk rangkainya dalam kalimat panjang,  dengan mengangkat tnngan sembari  meluruskan jemari ke arah leher dalam ekspresi tercekik. Peragaan gerak orang dihukum pancung.

Ya, kata kodon itu memang membumi di negeri kami setahun usai prahara kudeta Partai Komunis Indonesia di Jakarta yang menyebabkan terbunuh para jenderal angkatan darat dan chaosnya negara ini bak hukum rimba.

Chaos ini tidak hanya milik Jakarta. Aksi lebih keras dan terogansir lebih keras terjadi di Aceh. Siapapun yang memiliki “bau” komunis di giring ke “peristirahatan” tanpa pengadilan.

Kini, ketika saya pynya nalar, walaupun memiliki sumbu pendek keintelektualan, bisa menyebut fase itu sebagai tragedi kemanusiaan. Tragedi ketika manusia yang “diambil” iru adalah mereka yang tak paham apa itu sejatinya komunisme.

Mereka tak paham Das Kapital. Mereka tak mengerti Leninisme. Mereka, mungkin, tahu nama Mao Ze Dong, Stalin atau Khruscov seperti juga yang saya tahu sebagai siswa sekolah menengah pertama kala itu.

Saya bisa mengingat mereka yang di kodon itu adalah jamaah meunasah atau masjid ketika shalat subuh, maghrib dan isya. Mereka  sering meluruskan saf kami sembari mengangkat jemarinya ke mulut  sebagai isyarat tidak berisik.

Kodon, sepanjang prahara, usai hari-hari panas di ujung September lima puluh enam tahun itu, masih belum terkelupas dari ingatan saya ketika auman mobil dan pekik tangis saudara maupun tetangga saya yang diambil dan tak pernah pulang.

Mereka berjirat di pemakaman yang anak istrinya tak tahu pastinya dimana. Mereka hanya tahu nun di sebuah pinggang  gunung  ada gundukan tanah dari galian lobang besar yang dari bisik-bisik disitulah mereka yang berbau komunis itu dihabisi.

Pagi itu Basri yang saya sapa lewat konek hand phone tak ngeh lagi tentang kodon. Ia sudah dua tahun terakhir ini tak lagi pergi ngopi. Sebuah istilah kami duduk bareng di warung kopi sembari bercanda dan duduk setengah hari dengan modal sepuluh ribu rupiah untuk satu gelas adukan ribusta.

Basri memang tidak ngeh, istlah kami di Aceh tidak nyambung, karena amukan vertigo ditubuhnya..

Walaupun nggak nyambung saya tetap berkisah dengannya dengan menyebut sederet nama, termasuk, saudaranya dan saudara saya yang diambil untuk menjalani ritual kodon.

Ritual yang kini tak pernah hinggap di memori anak-anak medsos. Ritual yang juga menjadi bahan pergunjingan di media televisi ketika aktor-aktor yang mengatasnamakan dirinya sebagai intelektual  terjangkit penyakit elitisme untuk sejumput kekuasaan.

Entahlah Basri. Hari-hari pahit itu sulit untuk kita lupakan. Sulit untuk kita bawa ke forum -forum agar tragedi ia jangan pernah terulang.,

Biarlah hari-hari kodon usai prahara di ujung September lima puluh enam tahun lalu menjadi milik memori kita. Dan kita tidak pernah menjualnya untuk sebuah kursi kenikmatan.

 

 

 

Exit mobile version