close

Saya tak tahu kenapa begitu banyak pertanyaan tentang aceh yang jawabannya menerawang. Bagaikan cet langet.

Saya tahu dan pernah membaca sebuah paragraph di tulisan esai seorang teman yang sangat akrab dengan aceh. Ia orang di luar pagar aceh. Dan saya berpikir esainya bisa lebih jernih.

“Aceh,” tulisnya, “ memang sejumlah pertanyaan.” Salah satu pertanyaan itu mengental ketika terjadi  kecamuk perang yang berulang-ulang.”

Dan jakarta mengirim pasukan secara bergelombang.

Kini aceh bukan lagi sebuah daerah yang dirajang perang, tapi  bukan berarti sejumlah pertanyaan itu menguap.

Baginya pertanyaan  yang paling mendasar  berkaitan dengan apa sebenarnya yang menjadikan aceh sebagai  “indonesia”

Yang menyebabkan aceh meniti buih. Begulat dengan banyak masalah. Dari kemiskinan hingga stigmanisasi ganja, hukum syariah dan pernak pernik mbong….

Ya …,  saya setuju dengan pertanyaannya tentang keindonesiaan itu.

Tapi gak bisa menjawabnya dengan blass…Selalu bias.. Yang akhirnya memunculkan pertanyaan lain: apa sebenarnya yang hendak dipertahankan oleh indonesia.

Di tulisan in saya mencoba meminjam jawaban dari seorang teman politikus yang sudah empat kali nongkrong sebagai anggota dewan di gedung beratap batok kura-kura di senayan sana

Tapi saya kecewa. Jawabannya sangat naif dan membuat gendang telinga saya mendengung.

Saya ringkaskan jawabannya dalan dua kata: “keutuhan wilayah.”

Saya nanar dengan jawaban itu. Jadi tahu itulah yang ia bela sejak dua puluh tahun lalu ketika kali pertama jadi anggota terhormat dan duduk dengan takzim setiap mendengar kata: indonesia

Lantas saya melebarkan jawaban ke berbagai sisi. Mempertanyakan kebanyak orang. Tukang loak, pemulung, tukang becak hingga ke juru parkir.

Yang gak saya tanyakan hanya ke tukang kir… Takut ada gosokan…

Pertanyaan saya hanya patahan kata-kata yang ringkas. Tentang apa arti “wilayah” sebuah negeri bagi mereka? Dan apa pula gunanya  “keutuhan” itu?

Saya tak ingin menuliskan jawaban semua mereka. Macam-macam,,,

Saya sendiri tahu, tapi  acap lupa,  “wilayah” adalah sebuah tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Itu sudah pakem.

Pakem juga kalau kita simpulkan bahwa wilayah itu adalah sebuah  ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri.

Tapi dalam hal “indonesia”, apa artinya “milik”? Apa artinya aceh….

Maaf saya mengutip sebuah esai pendek dari seorang penulis beken di negeri ini yang mengatakan: milik pada akhirnya berarti kekuasaan

Dan saya mafhum kekuasaan itu bergerak dalam sejarah.

Seandainya, dulu,  sebuah emperium terus berkuasa di negeri ini  dan tak menyerahkan pulau pulau kepada kolonial lain mungkin singapura yang kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut indonesia”.

Atau sebaliknya… entah ya….

Kalau begitu tak ada beda  dalam perang dan dagang seperti  yang terjadi hari ini.

Hari-hari ketika trump mengenakan tarif impor dan ingin menganeksasi kanada dan grenland jadi negeri bagiannya.

Itulah peta bumi

Benarkah “wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benarkah begitu penting “keutuhan”?

“Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana datangnya. Yang jelas, ia mencakup pengertian yang lebih luas ketimbang sekadar ketentuan tapal batas.

“Keutuhan” bukan sekadar persoalan teritorial.

Ia juga bisa berarti sumber alam dan keseimbangan ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup, juga para penghuni, kehidupan sosial, dan sebagainya.

Apa artinya “keutuhan” yang dipertahankan bila hutan jadi terbakar, sawah dan lumbung hancur, dan suatu masyarakat berantakan?

Apa artinya “keutuhan” jika kelompok manusia yang berbeda saling membunuh dan mengusir?

Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebuah “indonesia” sebagai ingatan yang berharga.

Saya pernah melewati masa kanak-kanak, ketika para guru di depan kelas memberi narasi dengan rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari “sabang sampai merauke”

Bentengan yang berjejer pulau-pulau. Yang di tutup dengan suara berat: itulah indonesia.

Kebanggaan itu menjalar kemana-mana. Menjalar tentang orang-orang aceh yang menyumbangkan yang mereka miliki buat republik yang baru berdiri ini.

Lainnya bisa tentang kolonialisme  yang justru mempersatukan pelbagai orang di nusantara. Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas.

Tapi setiap catatan dari masa lalu selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga apa yang mengerikan, bahkan memuakkan.

Kenangan tentang arti indonesia bagi sebuah generasi baru sudah mengelupas. Termasuk generasi saya yang berada di tataran generasi lep lap.

Generasi yang  dengan ikhlas melupakan ikatan kesetiaan lama mereka, untuk membangun sebuah ikatan kesetiaan baru. Bagi saya sejarah persatuan adalahsejarah ketidak-ikhlasan.

Bahkan ketika melewati masa-masa kekerasan, pemaksaan, dan penyeragaman yang saya berada dalam kecamuknya saya teringat sebuah adagium: “per-satu-an” plus “per-sate-an”.

Lantas muncul lagi pertanyaan bagi saya, sebuah “indonesia” yang manakah yang hendak kita pertahankan?

Saya mengenyampingkan jawaban sang teman yang politikus tadi. Jawaban saya seharus: sebuah “indonesia” yang gak ada aceh ada di dalamnya

Sejak saya tahu kata indonesia ada kepedihan bila aceh dibungkam oleh mereka yang datang atas nama republik.

Saya pernah membaca sejarah keutuhan amerika ketika sebagian wilayah republik itu hendak memisahkan diri

Seorang presiden yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan “pemberontakan” itu.

Tapi bukan karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi tanah. Ada yang lebih penting ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita

Ketika sejumlah negara bagian di selatannya menjadi kekuatan separatis karena ingin melanjutkan perbudakan sang presiden memutuskan: mereka harus dikalahkan.

Sebuah perang pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi mereka waktu itu tahu menjawabnya kenapa perang itu harus terjadi

Jawabannya kemerdekaan Ia harus dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama”.

Perbudakan jelas bertentangan dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya dengan kekerasan harus dikalahkan.

Hingga hari ini saya gak menemukan alasan yang jelas kenapa aceh diperangi dan tentara dikirim.

Perang berkobar. Korban jatuh di kedua belah pihak. Apa sebenarnya sebuah “indonesia” yang hendak dipertahankan?

Memang, itu tinggal sejarah… Tapi ia akan menjadi pijakan untuk  menentukan hidup kita hari-hari ini, esok, lusa dan kelak.

Bagi saya ada kesan sebuah “indonesia” itu bagaikan preman, yang menangguk untung dari kekerasan. Sebuah “indonesia” yang tak patut dibanggakan bahkan oleh bangsanya sendiri

Ketika anak bangsanya gak sadar akan sifat tamak yang dipelihara dan memanjakannya untuk diri sendiri

Di situlah kekonyolan: ada kombinasi antara kebakhilan dan ketamakan yang menyebabkan negeri ini merugi karena keserakahan yang beranak-pinak seperti marmot

Banyak yang gak menyadari bahwa kita terasing. Saya gak tahu  dimana posisi yang pas bagi kita?

Karena kita terbiasa untung rugi dengan angka, volume, dan rupiah—kita pun terbiasa menyangka bahwa yang pas adalah yang harus dapat dibandingkan dengan posisi orang lain

Sementara perbandingan itu berlangsung tak habis-habisnya.

Lantas dimana posisi yang pas itu?

Di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana, di hadapan yang ilahi. Mungkin di sanalah manusia tak terasing, sebab ia tak melepaskan diri dan tegak sendiri

Saya tak tahu bisakah kita kembali ke sana. Mungkin saja. Saya mencoba berharap.

Tags : slide