Site icon nuga.co

Skeptis “Halve Kamer”

Diskusi itu saya namakan “halve kamer.” Meminjam sebuah istilah untuk pertemuan seperdelapan serius. Memperbincangkan tentang negeri yang dicabik banyak masalah. Tentang calon pemimpin.

Harfiahnya diskusi itu memang setengah kamar. Ringan. Bisa menghujat, memaki atau menudingkan ujung jari kelingking ke kening lawan dengan terbahak tapi gak boleh lari dari temanya, Tetap fokus.

Saya bersama lima teman yang jauh lebih muda dan berdatangan dari jauh memang mengensengajakan  pertemuan untuk senang-senang. Senang-senang self-criticism.

Kritik diri sendiri. Kritik negeri sendiri. Pemimpin sendiri. Calon pemimpin sendiri. Negatif terhadap diri sendiri yang bisa menyebabkan perasaan tidak berharga, gagal, dan bersalah.

Dihari diskusi, menjelang dhuha kemarin itu, saya dihujat abis-abisan usai melontarkan nada skeptis dalam narasi yang dikulum kalimat panjang: masa depan kepemimpinan aceh “hana” harapan.

Kepemimpinan yang saya katakan akan tetap  centang perenang. Centang perenang usai hura hara panjang yang kemungkinannya berlanjut di periode berikutnya.

Hujatan yang diucapkan para teman diskusi “halve kamer” itu  sangat tidak senonoh disertai tudingan yang dibungkus narasi berbau diskriminasi dicampur racun tengik ala rasis.

Sangat tidak sopan. Mengumpat dan menyenggol tanah tumpah darah saya: sebagai negeri aneuk jamee. Jamee sengkarut

Saya tak peduli dengan hujatan itu. Karena punya alasan yang sangat argumentatif dengan sikap skeptis ini.

Sikap mempertanyakan  secara terus menerus dan sekaligus mencurigai calon pepemimpin negeri ini kedepan karena tidak yakin kemampuan mereka keluar dari tindihan masalah yang bertumpuk.

Saya akui skeptis ini saya lontarkan terkait dengan pembelajaran dari  pengalaman yang terjadi selama dekade terakhir. Dekade losses. Dekade tujuh belas tahun yang plintat-plintut.

Tiga serial pemilihan kepala daerah secara langsung. Yang ketiga-tiganya telah kehilangan momentum untuk kembali jadi provinsi modal.

Provinsi terbaik, dulunya. Yang pernah memberi kontribusi bagi tegaknya republik banana ini. Republik yang menjadikan provinsi modal ini sebagai “killing field.”  Ladang…. sambung sendiri

Saya menyadari, memang tidak semua  perjalanan kepimpinan seperti itu. Tapi perbuatan yang buruk era sebelumnya telah menjadi bukti riil dalam cara pengelolaan pemerintahan.

Sikap skeptis ini memang bagian dari jalan hidup saya sebagai jurnalis yang berpikir kritis dan tidak langsung percaya terhadap suatu informasi. Betapapun bagus kemasannya.

Saya sengaja meminjam istilah “halve kamer” untuk diskusi itu. Diskusi yang di plot dalam dua sesi. Sesi rendah dan sesi tinggi. Sesi rendah dengan bikameral . Lainnya cara  eerste kamer.

Tapi dua-duanya mentok karena gak ketemu solusi bagaimana yang akan dijadikan model bagi seorang pemimpin dalam membangunkan masalah yang tertidur.

Saya menyadari ada sesuatu yang hilang dari roh kepemimpinan di negeri ini. Roh tentang membuka simpul simplisitik membangun tras kebutuhan dasar.

Maka “please,” untuk berargumentatif bagi yang punya dokumen tentang wujud akhir negeri di petak empat ini. Silakan share. Mari kita bahas bersama.

Kalau pun setelah itu anda tahu seperti apa wujud akhirnya cobalah bikin kajian  seperti apa roadmap-nya. Bagaimana cara mencapainya. Bagaimana pula tahapannya.

Dari situ akan bisa diketahui: apakah target itu bisa kita pegang. Atau hanya pepesan kosong. Atau, untuk meminjam istilah anak muda sekarang, itu hanya pehape.

Saya tahu betapa mudah membuat slogan. Seperti yang hari-hari berdengung merasuk ruang publik dalam tema-tema pra kampanye. Lanjut ke kampanye. pemilihan kepala daerah.

Namanya saja slogan. Yang gak perlu ada isinya.

Saya sendiri belum bisa mengambil kesimpulan. Harus menemukan dulu  dokumen yang menyertai slogan itu.

Bahas lagi. Barulah bisa menyimpulkan apakah itu slogan atau benar-benar sebuah target capaian

Kalau ternyata  itu hanya slogan alangkah jahatnya pembuat slogan itu. Kita bisa memberi gelar mereka itu si penipu.

Saya tidak akan bisa menyalahkan siapa-siapa atas semua ini.

Itu memang problem warisan yang disisakan sebuah dokumen yang terselesaikan. Dokumen memorandum understanding. Memorandum yang menggelantung di langit-langit.

Memo ketika para pejuang harus turun kampung membawa-bawa nama sebagai panglima. Macam-macamlah.

Di kampung saya ada nama panglima yang “lhok” apa itu… Sulit melakukan integrasi. Ingin mengatur semuanya.

Mereka memelihara jiwa pemberontakan terus hidup. Ketaatan dipelihara lewat  fanatisme bercampur cerita mistis. Gak ada langkah sistematis

Gak ada gambaran bagaimana negeri yang tercabik itu seharusnya dibangun. Di situlah sulitnya. Konflik dipelihara. Secara internal dan eksternal.

Saya menyadari semua negeri dan pemimpinnya menghadapi dilema seperti itu. Padahal ada jalan keluarnya bila punya punya prinsip.

Begini: kepercayaan memang akan rusak, tapi kejujuran lebih penting. Kejujuran akan memulihkan kembali kepercayaan itu.

Kalau salah lebih baik mengakui kesalahan itu daripada menyembunyikannya. Apalagi berusaha menutupinya dengan ketidakjujuran yang lain.

Itulah ciri cara berpikir orang modern.

Era sekarang setiap pemimpin harus berorientasi pada data.Perlu keluwesan dalam tata kelola

Jangan pernah mengatakan ”tidak” pada argumen orang lain. Dengarkan dulu. Kalau tidak setuju dahulukan kata-kata ini: ”saya memahami alasan Anda…”

Setelahnya baru di kalimat berikutnya katakan: “tapi…”.

Apakah kita ingin terus diperdaya oleh ilusi simbolis ini, atau kita akan menuntut calon pemimpin yang mampu menghadapi tantangan nyata dengan kecakapan dan visi strategis?

Terlalu sering, perdebatan ini digunakan sebagai alat untuk menyembunyikan ketidakmampuan dalam menangani isu-isu substantif yang jauh lebih mendesak.

Kita harus lebih cerdas dan bijak dalam menilai calon pemimpin.

Apakah mereka mampu menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi. Yang terutama di aceh: seperti pengentasan kemiskinan, pengembangan ekonomi, pendidikan dan kesehatan?

Mengabaikan aspek-aspek ini demi isu simbolis akan membuat kita terperosok dalam siklus politik yang tidak produktif.

Seharusnya, pemilihan pemimpin didasarkan pada kemampuan mereka untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang efektif..

Aceh perlu menuntut perubahan dari perdebatan yang tidak produktif ini. Dengan fokus pada kemampuan substantif calon pemimpin

Kelaksiapapun pemimpin  yang terpilih tidak hanya menjadi simbol dari nilai-nilai spritualitas. Mereka bisa bisa jadi agen perubahan yang dapat memajukan daerah ke arah yang lebih baik.

Dengan demikian, masyarakat dapat mengambil langkah maju yang bijak dan memastikan masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat.

Tinggalkan perdebatan yang dangkal dan beralih pada penilaian yang lebih mendalam dan substansial terhadap calon pemimpin  yang akan dipilih.

Terlalu naif dan halu kalau saya menuliskan: dibutuhkan kedewasaan untuk menjadi pemimpin negeri ujong donya ini

Dan sebagai orang yang pernah memetakan negeri ini dalam banyak narasi tulisan, saya masih menyisakan harap  akan terjadinya perbaikan

Aceh adalah wilayah yang unik, dengan sejarah panjang yang penuh perjuangan, budaya yang kaya, dan masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisi.

Dalam konteks ini, seorang pemimpin yang hanya berorientasi pada kekuasaan atau mengejar kepentingan pribadi tidak akan mampu menjawab tantangan

Sepesimisnya saya, nun di luar sana masih ada banyak orang yang menginginkan pemimpin yang berkarakter. Yang tidak hanya menjadi teladan tapi juga bisa mengeksekusi persoalan

Persoalan itu datang dari tingkat kemiskinan,  pengangguran dan sebagai .. dan sebagainya.

Masalah ini hanya bisa dijawab oleh pemimpin yang benar-benar memahami dan peduli pada masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh rakyat.

Juga pendidikan dan kesehatan  tidak dalam keadaan baik-baik saja. Akses layanan belum merangkah ke kualitas  terutama di daerah-daerah udik.

Saya dari dulu selalu menghindar dari narasi negeri ini  bahwa provinsi ini memiliki potensi besar. Buang saja narasi itu. Hadapi  tantangan yang makin kompleks hari ini.

Mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, hingga ketimpangan akses terhadap layanan publik, semua ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas.

Di tengah persaingan pemilihan kepala daerah musim ini saya gak ingin memilih siapa-siapa. Hanya ingin sebuah realistis.

Maaf…kali ini saya keluar dari kebiasaan menulis yang biasa. Berbau opini dan tendensius…

Exit mobile version