Apakah Anda punya kebiasaan untuk menonton tayangan porno sebagai pemicu gairah seks?
Dan apakah kecabulan baik atau buruk bagi manusia?
Apakah tidak bermoral atau malah memberdayakan?
Menghancurkan atau membebaskan?
Nah itulah rentetan pertanyaan yang selama puluhan tahun mengendap dan menjadi polemik terhadap dampak kejiwaannya.
Salah satu pendapat terhadap perilaku ini, berdasarkan sebuah penelitian menyatakan bahwa menonton tayangan cabul dapat menjurus kepada hasil yang tidak baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Nuga mengutip laman situs “psychology today ,” hari ini Jumat, 04 Maret 2016, menjelaskan memang ada orang yang terkadang menonton kecabulan tapi tidak mengalami dampak sampingnya.
Namun demikian, banyak orang—termasuk remaja dan pra-remaja dengan otak mereka yang masih plastis—malah secara kompulsif menggunakan internet kecepatan tinggi untuk mengakses tayangan porno, dan kemudian citarasa kecabulan mereka tidak lagi sejalan dengan seksualitas dalam kehidupan nyata.
Ribuan orang muda sekarang ini berjuang menghadapi kecanduan yang meningkat.
Dalam penelitian perdana tentang hal ini oleh Max Planck Institute for Human Development di Berlin, Jerman, para peneliti menemukan, mencicipi kecabulan selama beberapa jam ataupun beberapa tahun bisa menimbulkan pengurangan materi kelabu di bagian otak.
Demikian juga dengan penurunan tanggapan terhadap foto-foto erotis.
Berkurangnya materi kelabu berarti berkurangnya hormon dopamin dan sedikitnya reseptor dopamin itu.
Pimpinan penelitian, Simone Kühn, mengeluarkan hipotesa bahwa “konsumsi teratur akan kecabulan menggerus sistem ganjaran kita.”
Apakah tayangan porno baik bagi kita?
Pertanyaan yang dilontarkan selama puluhan tahun lamanya adalah, apakah kecabulan baik atau buruk bagi manusia?
Apakah tidak bermoral atau malah memberdayakan?
Menghancurkan atau membebaskan?
Jawabannya tentu mengundang pertentangan pendapat.
Tapi yang belum ditanyakan adalah apa yang dilakukan kecabulan pada kita dan apakah kita baik-baik saja karenanya.
Ada suatu penelitian yang mengatakan bahwa menonton tayangan cabul dapat menjurus kepada hasil yang tidak diinginkan baik bagi perseorangan maupun sebagai masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Berkurangnya materi kelabu berarti berkurangnya hormon dopamin dan sedikitnya reseptor dopamin itu.
Inilah salah satu alasan mengapa majalah Playboy tidak akan lagi menampilkan model utama di majalahnya telanjang sejak awal 2016.
Seperti kata Pamela Anderson yang terpampang dalam edisi terakhir yang masih berisi ketelanjangan, “Susah bersaing dengan internet.”
Penelitian terpisah di Jerman menunjukkan bahwa masalah bagi pengguna berkaitan erat dengan jumlah tab yang dibuka dan tingkat keterangsangan.
Ini membantu menjelaskan mengapa sejumlah pengguna menjadi tergantung kepada kecabulan yang baru, yang lebih mengejutkan, ataupun lebih ekstrem.
Malahan, bagi banyak di antara mereka, urusan seksual dunia nyata malah asing dan menjadi pengalaman yang menimbulkan kecemasan.
Penyebabnya, pada dunia nyata, ada keharusan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan pasangannya.
Seluruh tubuh mereka harus terlibat dan mereka harus melakukan interaksi dengan manusia tiga dimensi sungguhan yang memiliki kebutuhan seksual dan romantis juga.
Ada contoh kasus dalam buku ‘Sex at Dawn’
Di jaman dulu, seorang pria didakwa menggigit jari pria lain dalam suatu perkelahian. Seorang saksi mata maju.
Pengacara pembela bertanya, “Apakah kamu memang melihat klien saya menggigit jari itu?”
Jawab saksi itu, “Oh, tidak, saya tidak melihatnya.”
Kata pembela dengan tersenyum, “Aha! Lalu bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa ia menggigit jari pria tersebut?”
Jawab saksi, “Saya melihatnya meludahi jari itu keluar dari mulut.”
Anggaplah kisah itu dalam konteks orang muda yang menonton pornografi secara daring.
Dampak kecanduan daring pada otak dan perilaku memang belum sepenuhnya diketahui, namun belum pernah sebelumnya dalam sejarah manusia di mana kaum pria muda mengalami gejala yang disebut sebagai lemah syahwat karena kecabulan seperti yang sekarang banyak terjadi.
Dalam suatu penelitian komprehensif perdana tentang perilaku kaum pria di AS yang digelar oleh Alfred Kinsey , hanya satu persen dari kaum pria usia di bawah tiga puluh tahun yang mengaku mengalami gangguan ereksi
Hasil penelitian dilaporkan dalam buku ‘Sexual Behavior in the Human Male’.
Namun demikian, dalam penelitian baru, lebih dari sepertiga pria militer dilaporkan mengalami ED.
Penelitian lain menemukan hasil yang mirip pada pria non-militer di seluruh dunia dan semakin kerap setelah meluasnya pornografi yang bisa diakses dengan internet berkecepatan tinggi.
Pria-pria muda ini kerap bercerita bagaimana kecemasan sosial mereka diperbaiki secara drastis—misalnya peningkatan rasa percaya diri, kontak mata, dan kenyamanan berinteraksi dengan wanita.
Mereka juga melaporkan lebih bertenaga mengarungi kehidupan harian mereka, lebih mudah konsentrasi, lenyapnya depresi, ereksi yang lebih kuat dan kepekaan seksual setelah secara sukarela mengikuti tantangan ‘no fap’ yang dimaksudkan untuk mengatasi ketagihan.
Nilai kecabulan perorangan memang bisa berbeda, tapi muncul lebih banyak lagi penelitian yang menengarai, para pengguna kecabulan menderita dampak yang menghancurkan.
Namun demikian, jika kita selama ini terus berkelit dari kenyataan bahwa kecabulan bisa menjadi masalah bagi sejumlah orang, kita malah menghalangi bantuan dan panduan kepada mereka, yang kebanyakan masih berada di bawah umur.