Perempuan selama ini kerap menjadi tertuduh nomor satu sebagai tukang gosip
Dan sebuah penelitian terbaru juga mengungkap, bahwa perempuan cenderung menggunakan gosip sebagai cara untuk menjatuhkan orang lain atau mendapatkan pria.
Dalam studi yang dimuat dalam jurnal Evolutionary Psychological Science, perempuan juga bergosip lebih sering tentang penampilan perempuan lainnya, sementara pria lebih sering berbicara tentang bagaimana cara menjadi kaya dan memiliki tubuh atletis seperti pesaing mereka.
“Gosip adalah keterampilan sosial yang sangat berevolusi dan taktik kompetisi intraseksual yang terkait dengan preferensi perempuan dan laki-laki yang berevolusi,” kata Adam Davis dari University of Ottawa di Kanada.
DIlansir dari laman Indianexpress, para peneliti tersebut mensurvei dua ratusan siswa heteroseksual Kanada dengan tiga kuesioner.
Satu mengukur seberapa kompetitif partisipan terhadap anggota jenis kelamin yang sama dengan mereka, terutama dalam hal akses terhadap perhatian calon pasangan.
Kuesioner lain mengukur kecenderungan dan kemungkinan peserta untuk bergosip tentang orang lain, nilai sosial gosip yang dirasakan, dan apakah tidak apa-apa membicarakan orang lain di belakang mereka.
Ditemukan bahwa orang yang kompetitif terhadap lawan jenis mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk bergosip.
Mereka juga lebih nyaman dengan berolahraga daripada yang lain.
Perempuan memiliki kecenderungan lebih besar untuk bergosip daripada pria. Mereka berpartisipasi dalam obrolan yang lebih banyak dan menikmatinya lebih jauh lagi.
Perempuan juga melihat gosip memiliki nilai sosial yang lebih besar, yang memungkinkan mereka mengumpulkan lebih banyak informasi tentang kemungkinan pesaing dalam permainan menemukan pasangan.
Temuan ini memberi bukti bahwa gosip adalah taktik persaingan intraseksual yang sesuai dengan preferensi pasangan perempuan dan pria.
Ini juga mencerminkan berbagai strategi yang digunakan oleh jenis kelamin dalam usaha mereka untuk menemukan pasangan yang sesuai, kata Davis.
“Temuan menunjukkan bahwa gosip sangat terkait dengan persaingan pasangan dan bukan semata-mata produk stereotip gender perempuan yang dapat dianggap merendahkan,” ungkap Davis.
Meurut sebuah penelitian terbaru lainnya mengungkapkan bahwa bergosip itu tidak selamanya buruk.
Sejumlah psikolog justru mengungkapkan bergosip juga bisa menyehatkan.
Hal ini diungkapkan oleh sebuah penelitian baru yang menemukan bahwa bergosip dengan teman baik untuk diri Anda, apapun kepribadian yang Anda miliki.
Penyebabnya adalah kadar oksitosin, atau yang disebut dengan hormon ‘cinta’, meningkat setelah seseorang bertukar gosip, dibandingkan bila hanya melakukan percakapan normal.
Sejumlah peneliti dari University of Pavia di Italia melakukan penelitian pada efek gosip pada 22 wanita.
Peneliti utama Dr Natascia Brondino, mengungkapkan dia ingin melakukan penelitian akan efek gosip pada otak karena dia menyadari kalau dia merasa lebih dekat dengan teman wanitanya setelah bergosip bersama.
“Saya mulai mempertanyakan apakah ada penyebab biokimia terhadap rasa kedekatan ini,” ujar Dr Brondino seperti dikutip Daily Mail.
Kelompok peneliti ini menemukan bahwa otak wanita melepaskan lebih banyak oksitosin setelah bergosip.
Sedangkan pembicaraan biasa seperti membicarakan tentang cuaca oksitosin yang dilepaskan lebih sedikit.
Oksitosin biasanya diproduksi saat melakukan hubungan seksual, karenanya hormon ini dinamakan dengan zat kimia berpelukan.
Sentuhan cinta lainnya, mulai dari memeluk boneka kesayangan hingga mengelus binatang peliharaan, juga memicu pelepasan hormon ini.
Para peneliti hanya meneliti wanita karena oksitosin juga bisa dilepaskan ketika seseorang terangsang secara seksual, dan dia tidak ingin subjeknya tertarik satu sama lain sehingga terlepaslah hormon ini.
Kata Dr. Brondino, keluarnya hormon ini dapat membuat seseorang menjadi lebih dekat setelah mereka bergosip.
Dalam istilah evolusioner, para peneliti mengatakan gosip memiliki kegunaannya sendiri, termasuk membangun aturan dalam kelompk, menghukum penyusup, melatih pengaruh sosial melalui sistem reputasional, dan membangun serta menguatkan ikatan sosial.
Para peneliti juga menemukan kalau efek ini tidak berubah tergantung pada kepribadian seseorang.
Karakteristik psikologi seperti empati, sifat autistik, stres, iri hati, tidak mempengaruhi peningkatan oksitosin dalam kondisi bergosip.
Artinya, apakah Anda memikirkannya atau tidak, gosip tetap baik untuk otak Anda