Daya konsentrasi atau fokus perhatian anak muda generasi milenial dalam belajar dan pekerjaan sejenis lainnya rata-rata delpan belas menit.
Situasi ini terjadi pada generasi muda Amerika Serikat dan generasi seumur di berbagai negara di dunia.
Mantan rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Sudjarwadi menyatakan para generasi milenial umumnya mudah bosan dalam belajar dan pekerjaan lainnya meskipun mereka sebenarnya kemampuan intelektualnya rata-rata lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya.
“Teman-teman profesor dari Amerika menceritakan kepada saya, mahasiswa mereka dari generasi milenial perhatiannya terhadap apa yang disampaikan dosen menurun dratis. Ketika generasi lama seperti angkatan saya, kata teman profesor asal Amerika”
Pperhatian terhadap kuliah dosen mencapai delapan puluh persen, sementara generasi sekarang hanya pada kisaran tiga puluh persen,” ujarnya.
Guru besar Fakultas Teknik UGM tersebut menyatakan, pendekatan terhadap generasi milenial yang mudah bosan tersebut memerlukan strategi baru.
“Anak-anak muda generasi Y dan Z saat ini tidak bisa dihakimi, tidak bisa ditekan. Pendekatan ke mereka dengan cara bekerjasama secara paralel dan memberikan kepada mereka tantangan. “
“Saya menyampaikan ke sekretaris saya yang masuk generasi Z, tolong buatkan materi presentasi dengan materi demikian, yang bersangkutan dalam waktu satu jam telah menyelesaikan tugas, dan hasilnya memuaskan.
“ Kalau saya sendiri tidak semahir seperti sekretaris saya dalam mencari data secara online dalam waktu singkat bisa lengkap dan sesuai dengan materi yang ingin dipresentasikan,” kata dia.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada Dr Arie Sudjito menyatakan, pendekatan terhadap generasi milenial harus menyesuaikan dinamika intelektual dan orientasi aktivitas mereka.
Anak-anak kategori generasi Y dan Z tidak betah dengan model pengajaran text book.
Maka pengajar harus menyesuai kan tradisi baru generasi milinial tersebut.
“Generasi muda milenial belajar baik tidak selalu di kelas, belajar dari lapangan membuat mereka lebih memahami persoalan dalam masyarakat,” ujar dia.
Memberikan bekal pemahaman kepada generasi milenial tentang persoalan sosial menjadi kebutuhan mendesak ketika empati dan simpati menjadi persoalan serius di kalangan mereka.
“Kalau kita lihat di jalan, ada kecelakaan, anak-anak muda bukan mendahulukan menolong. Mereka peduli pada peristiwa itu tetapi kepedulian mereka bukan simpati dan empati, melainkan mengambil seluler untuk mengabadikan dan mengunggah ke media sosial,” tuturnya.