Kebutuhan akan air bersih semakin lama semakin meningkat. Sayang hal ini tak diikuti dengan adanya kesadaran manusia untuk berhemat air bersih.
Padahal sebenarnya ada banyak cara untuk menghemat dan melestarikan air bersih, dimulai dari rumah.
Mengutip The Kitchn, berhemat air dari rumah bukan hanya soal irit air saat mandi atau mencuci. Namun menghemat air juga bisa dilakukan saat memasak.
Teknik memasak ternyata juga bisa membantu menghemat air. Saat memasak, lebih baik Anda pilih mengukus dibanding merebus.
Saat mengukus, Anda hanya perlu sedikit air dibandingkan merebus. Selain itu, mengukus juga akan membuat makanan jadi lebih sehat.
Sebelum dimasak, sayuran pasti harus dicuci terlebih dulu. Dibanding menggunakan saringan untuk mencuci sayur, ada baiknya untuk menampung air dalam mangkuk.
Caranya, tampung air dalam mangkuk kemudian rendam sayuran sebentar sembari dibersihkan.
Manfaatkan air sisa mencuci sayur atau sisa merebus pasta untuk menghidrasi tanaman di rumah Anda.
Merendam makanan beku dalam air akan membantu mempercepat proses pencairan makanan. Hanya saja, proses ini membutuhkan air rendaman yang cukup banyak.
Untuk berhemat air, ada baiknya melumerkan makanan beku sehari sebelum Anda menggunakannya.
Tak perlu langsung dimeletakkannya di suhu kamar, tapi cukup pindahkan makanan beku dari freezer ke chiller.
Makanan Anda akan perlahan mencair tanpa harus merendamnya.
Satu dari empat anak di dunia akan kesulitan mendapatkan air bersih pada 2040, terutama negara miskin dan langka air.
Hal itu disampaikan Unicef dalam laporannya Thirsting for a Future: Water and Children in a Changing Climate, seperti dilansir The Guardian, pada Rabu, 22 Maret.
Dalam dua dekade mendatang, enam ratus juta anak akan berada di area dengan kesulitan akses air bersih, dan berkompetisi karena kebutuhan tinggi sementara ketersediaan terbatas.
Negara miskin ditengarai menjadi yang paling terkenda dampaknya, menurut penelitian yang dilansir Unicef seiring dengan peringatan Hari Air Sedunia.
Kesulitan akan air bersih disebabkan kekeringan serta konflik yang membuat air menjadi langka di sejumlah negara, seperti Ethiopia, Nigeria, Somalia, Sudan Selatan dan Yaman
Unicef mengantisipasi bahwa akan ada lebih dari sembilan juta orang yang akan menghadapi kesulitan air tahun ini di Ethiopia.
Sedikitnya satu koma empat juta anak menghadapi risiko kematian akibat malnutrisi di Sudan Selatan, Nigeria, Somalia dan Yaman.
Laporan itu juga menemukan adanya ancaman bagi kehidupan anak-anak di masa mendatang disebabkan faktor perubahan iklim yang turut membuat kelangkaan air.
Nicholas Rees, salah seorang penulis laporan mengungkapkan, seiring dengan industrialisasi dan demografis meningkatkan konsumsi akan air, khususnya di Asia selatan dan Timur Tengah yang paling terdampak.
“Ketika permintaan sangat tinggi sementara air langka ini akan menyebabkan frustasi, dan situasi ini terus meningkat di sejumlah area, seperti yang terjadi di negara sub-Sahara Afrika dan Asia,” ujarnya.
Laporan lainnya memberi gambaran adanya krisis air bersih di Iran, serta sejumlah ancaman lain akan persoalan lingkungan yang meningkat.
Studi yang dilakukan NGO Small Media yang berbasis di London, mengungkapkan persoalan ini akan membuat negara itu akan berkurang populasinya dengan perlahan di dekade mendatang.
“Iran menghadapi persoalan krisis air yang tak paralel dengan tingkat kemajuannya. Danau-danau dan sungai sekarat, kekeringan meningkat, dan bahkan air tanah juga kering,” ungkap laporan itu.
Ada banyak peringatan yang diberikan untuk segera diambil tindakan penanggulangannya. Di antara tindakan itu khusus pada Danau Urmia yang merupakan danau terbesar akan tetapi berkurang kandungannya
Laporan PBB menyebutkan ada tiga puluh enam negara yang menghadapi kelangkaan air, yang terjadi karena kebutuhan tinggi sementara ketersediaan terbatas.
Suhu tinggi, kenaikan permukaan air laut, banjir, kekeringan dan mencairnya es mempengaruhi kualitas dan ketersediaan air.
Dampak perubahan iklim pada sumber daya air juga menambah daftar masalah, khususnya pada ketersediaan air untuk anak-anak di masa mendatang.
“Kami ingin mengurangi kematian pada anak-anak, dan efek dari perubahan iklim akan sangat terasa pada mereka, khususnya pada kebutuhan akan air,” ungkap Rees.
NGO Water Air menerbitkan temuannya pada Selasa yang mengungkapkan betapa rapuhnya masyarakat pedesaan akan akses air bersih karena cuaca ekstrim dan perubahan iklim.
Mengutip survei Water Air, India menempati urutan teratas di mana jumlah penduduk di pedesaannya yang mengalami kesulitan air bersih sekitar enam puluh tiga juta orang.
Papua Nugini, Madagaskar, dan Mozambik merupakan di antara negara yang performa ketersediaan air bersihnya juga bermasalah.
Barbara Frost, chief executive Water Aid mengatakan banyak negara di laporan yang menghadapi berbagai persoalan seperti banjir dan kekeringan.
“Masyarakat pedesaan, yang termarjinalkan karena lokasi yang jauh dan tidak mudah dijangkau kerap menghadapi persoalan kebutuhan dasar mereka,” ujarnya.
Water Aid lalu mengimbau para pemimpin negara di dunia untuk sama-sama mengambil tindakan mendesak dalam upaya mencapai target SDG, termasuk dalam hal kepastian akan keberlanjutan sumber daya air.