Dua hari lalu saya baru tahu tulisan-tulisan saya yang rutin di”up” sebuah media online milik seorang junior diberi ”labelling” dengan “news.”
Saya tak menyadari itu. Gak membacanya . Ketahuannya datang dari cekikan seorang teman dua hari lalu yang menemukannya di rimba belantara “online.”
Lantas sang teman menyapa saya lewat pesan wa: “ngon punya kolom ya!!?”
Sang teman itu se-umuran. Saling menyapa dengan panggilan khas daerah.. Dia memanggil saya “ngon” dan saya menyapanya dengan “doli.” Anda pasti sudah tahu muasal panggilan “doli” itu
Saya dan teman yang cekikan dengan “news” itu punya “label” yang sama. Sama-sama penyandang status senior yang titik-titik. .. Tapi kesenioran dan kecerdasannya lebih cadas dibanding saya,
Cadasnya bisa tergambarkan dari posisinya sebagai managing editor di sebuah majalah berita mingguan. Dulunya. Majalah yang memiliki rubrik “catatan pinggir.” Enak dibaca dan perlu.
Managing editor itu “idem dito” dengan redaktur pelaksana. Struktur jenjang karir di kepemimpinan sebuah media. Jenjang yang juga pernah jadi tempat berpijak saya dulunya. Tapi di sebuah media lokal.
Tentang cekikannya “news”nya itu saya gak meresponnya. Takut ketahuan “mbong.” Tapi ia lanjut dengan cekikan yang lebih “depth:” kwek..kwek..kwek…
Bikin saya bete.. dan lantas ia lanjutkan dengan ”prank” kalimat pendek: “kok esai di ditulis dengan news.”
Saya tak memberi tanggapan bla..bla..bla.. panjang dengan “si ngon” di saling tukar sapa itu. Membiarkannya ngoceh. Sesuka hati. Menghindar polemik kata-kata.
Di jeda sapanya saya baru menyadari tulisan-tulisan di kolom online itu memang diberi label “news.”
Padahal di awal kolom itu manggung saya sudah wanti-wanti dengan si junior tulisan yang akan di”up” dalam bentuk esai.
O..alah…. Gemes….
Ya.. mau apa. Terima takdir. “No point of return.” Tak ada titik kembali terhadap kesalahan yang terjadi.
Tambah runyamnya lagi hari datangnya sapa cekikan itu saya lagi tampil sebagai “tutor sepeda” menjajal sebuah klas dengan dua belas murid tentang penulisan esai.
Tutorialnya sudah masuk ke pemahaman bahwa: esai itu adalah sebuah tulisan bergenre konfrontasi kesadaran gagasan dengan kenyataan sosial-politik-ekonomi-kebudayaan dan lain-lain.
Esai sebagai tulisan yang menggugat kemapanan sekaligus menghibur yang lemah. Esai karangan bebas. Genre tulisan ini personal dari segi struktur, gaya bahasa dan sudut pandang.
Tulisan esai gak memiliki patokan apa-apa. Gak juga ada syarat dan ketentuan selain sebuah kemerdekaan berekspresi dan bernalar mengenai apa saja. Bahkan bisa saja sebagai “tong sampah”
Aspek personalitas atau kebebasan adalah hal yang sangat mendasar dalam esai. Gak ada kriteria baku untuk menilai sebuah esai.
Yang penting ia bisa menarik setiap pembaca ke dalam ruang imajinasi, nalar, narasi, dan emosional penulisnya. Penting dan menarik inilah daya pikat esai.
Penting dan menarik itu sulit diwujudkan untuk sebuah tulisan. “Penting itu seperti orang memanjat tebing. Kalau ditambah dengan menarik maka kuadratnya jadi dua belas,” kata tutor saya dulu ketika “masih belajar naik sepeda.”
Sebuah esai yang baik berada dari sisi ekspresi atau narasi yang kuat, tajam, dan menarik. Bahkan puitis. Informasi atau hal apa yang ditulis atau hendak diungkap oleh si penulis; tidak terlalu penting.
Esai selalu mengedepankan daya tarik sehingga pembaca masuk ke dalam ruang-ruang tulisan yang sedang dibacanya.
Seperti jargon yang ditulis teman junior di kolom saya: “ringan tapi berisi.” Jargon kolom ya pas untuk genre tulisan saya.
Karena kuatnya daya tarik si esai maka oleh banyak penulis hebat klas-nya ditempatkan dijepitan antara puisi dan novel. Sering di sebut sebagai karya setengah sastra
Namun begitu, bagi saya esai adalah karya yang tidak hanya ditulis oleh sastrawan. Esai itu gak menjual informasi kognitif tapi merupakan teks cahaya yang menerangi pembaca.
Ia seperti menyalakan lilin.
Data atau fakta dalam esai tidak harus tersurat. Posisinya hanya sekadar pijakan atau wawasan penulis yang memayunginya.
Data, fakta, atau fenomena itu oleh penulis selalu diperlakukan sesuai dengan pandangan, imajinasi, atau paradigma yang dianutnya. Di luar esai data mendikte penulis. Dalam esai data tunduk pada penulis.
Itulah yang membedakannya dengan karya ilmiah yang kelaminnya akademis. Dimana teori yang dijadikan paradigma pemecahan masalah sering berubah sesuai dengan persoalan yang dipilih
Seorang penulis esai menggunakan paradigma atau teori sebagai ideologi kepenulisan yang konsisten.
Inilah ciri personal penulis esai sebagaimana dikenali secara ajeg.
Atas dasar pengertian ini jelas esai bisa dikatakan bertolak belakang dengan tradisi teks ilmiah formal di kampus dimana kebanyakan akademisi belum mengenal ekosistem esai.
Karena itulah banyak diantara mereka gagal menulis esai. Sementara itu, esai jarang sekali dikenalkan di lingkungan civita akademica.
Karena itu, dalam setiap lomba penulisan esai yang sampai di meja dewan juri adalah artikel ilmiah formal baku untuk jurnal. Jurinya juga setali tiga uang; menilainya sebagai karya esai.
Padahal deskripsi sangat minim, dangkal, dan normatif. Masih berada di tahap deskripsi-deskripsi formal. Esai sendiri merupakan tulisan pembahasan fakta, data, fenomena, atau kebijakan
Bahkan sebuah kontemplasi atas data, fakta, fenomena, dan berbagai kebijakan sosial. Sehingga bisa diterima sebagai kebenaran dan ini hitam putih.
Saya tahu, secara format, karya ilmiah bisa dikatakan karya tulis yang seragam di seluruh muka bumi. Esai adalah karya tulis yang bisa dikatakan berseberangan dengan karya tulis ilmiah.
Esai adalah karya tulis pribadi dan personal, baik dari segi gaya bahasa, struktur karangan, pilihan kata, sudut pandang.
Esai adalah karya tulis yang lebih mengutamakan gaya bahasa informal walaupun tetap menjunjung tinggi tata bahasa baku. Esai secara format tidak diatur.
Esai ditulis bukan dari riset tetapi ditulis dari interpretasi, kegelisahan penulisnya terhadap suatu persoalan yang harus dikritisi, direnungkan
Ia adalah ide atau gagasan penulis ketika menyikapi suatu fenomena sosial yang sedang terjadi dan lain sebagainya.
Persoalan apapun bisa ditulis untuk dijadikan esai. Ini sangat bergantung kepada perhatian penulisnya.
Namun demikian, biasanya para penulis esai sangat dikenal karena fokus pada bidang tertentu seperti kemanusiaan, lingkungan, pendidikan, diplomasi, keuangan, dunia anak, politik, bahasa, dan lain-lain.
Tapi ada juga penulis esai yang bisa menulis apa saja namun menjadi sangat khas karena gayanya.
Penulis esai harus bisa memandang persoalan dengan cara pandang yang baru, lokal atau mendasar atau disederhanakan atau dibandingkan dengan kondisi tertentu.
Intinya esai itu tidak boleh mengulang pandangan-pandangan normatif. Esai itu tidak boleh mengambil persoalan yang terlalu besar dan umum.
Esai itu cukup mengambil ceruk kecil yang spesifik. Cukup mengambil persoalan lokal, terbatas atau sempit.
Untuk membuka tulisan ini upayakan menggunakan gaya yang menarik misalnya dimulai dari suatu ilustrasi atau kutipan.
Esai lebih dilihat dari dampak emosionalnya kepada pembaca. Dulu ketika koran masih berjaya, esai bisa sampai tiga ribu hingga lima ribu kata.
Sekarang karena koran semakin sempit maka esai pun semakin pendek. Sependek waktu untuk “upload.”