Site icon nuga.co

“Cagee” Mengamuk

Cagee mengamuk….

Di WA saya muncul pesan itu. Kemarin pagi. Dari teman dekat.  Sangat dekat. Sehingga diantara kami tak ada batasan mana kata banyolan, hoak dan serius untuk bisa jadi acuan.

Apalagi di sepagi ini. Usai shalat subuh. Ketika keseimbangan hormon tubuh belum lagi stabil. Yang menyebabkan otak saya jadi sungsang.

Sungsang karena belum mendapat keseimbangan dari olahraga rutin yang menjadi menu tubuh saya usai shalat subuh. Selama satu jam.

Plus isian tembolok  satu porsi bubur ayam pinggir lapangan tenis Permata Hijau, Jakarta Selatan, kawasan jogging saya. Yang belum dilahap

Permata Hijau berhutan kecil. Hunian yang tak usah saya rinci. Biarlah Anda tahu sendiri.  Bisa dengan mengulik google search

Sesekali kalau mood menaik dan memacu kenaikan adrenalin saya menambah kapasitas jogging mendaki fly over untuk bisa mencapai ge-be-ka Senayan. Stadion Utama.

Untuk itu, di pagi itu, baik jogging maupun bubur ayam terpaksa saya abaikan. Pesan WA saya anggap lebih serius. Serius untuk dikarifikasi.

Lantas saya pencet nama sang teman. Juga lewat WA.

Saya sengaja nggak mau klarifikasi pesan WA itu lewat tarian ibu jemari untuk menyusun  kata-kata. Soalnya serius. Kalau nggak kenapa harus dikabari sepagi ini.

“Dimana beruang mengamuk,” kata saya tanpa menggunakan salam pembuka begitu dering telepon berganti dengan jalaran waktu yang dimulai dari hitungan detik tanda sambungan sih oke.

“Ntar,” jawabnya dengan suara menguap pertanda sang teman masih di tempat tidur. Kan ada perbedaan waktu hampir satu jam jadwal shalat subuh antara Jakarta dengan Aceh sana.

Saya menunggu dengan jengkel dan mengulang kalimat yang sama:” dimana beruang mengamuk.”

Sang teman masih belum ngeh dengan panasaran saya. Soalnya saya tahu beruang itu binatang langka. Nggak boleh dipelihara, diburu, apalagi dibunuh.

Habitatnya , kini, juga terbatas. Hanya di kawasan hutan cagar alam Leuser..

Keseriusan saya tentang Cagee ini menyebabkan tawa sang teman meletus.

“Nggak…nggak… bukan beruang benaran. Ini hanya amukan seorang yang bernama Azhari Cagee. Azhari yang mantan kombatan gerakan aceh merdeka,” katanya meluruskan otak saya yang sebelumnya dibuat sungsang.

Saya bergumam. “Kurang ajar……” tapi dengan nada rendah.

Anda bisa menyimpulkan sendiri apakah kabar di WA saya ini banyolan atau hoax. Terserah.

Cagee dalam bahasa indatu kami kan beruang. Binatang yang habitatnya sangat ganas. Pemangsa. Yang dulu, kalau ia masuk kampung kami, diperlukan seorang pawang untuk menjinakkannya.

Kalau dulu lagi, sebelum habitatnya, dilalap kerakusan manusia cagee bisa hidup damai dengan penduduk perkampungan. Bahkan menjadi piaraan. Sering menjadi gendongan pencinta satwa. tapi kini sudah punah. Atau hampir punah.

Kalau soal  Azhari yang Cagee mengamuk saya setuju untuk tiga kata. Ada yang serius. Ada alif-ba-ta-nya yang jadi latar belakang kenapa dia mengamuk. Ada alasannya.

Menurutnya.

Bukan menurut saya.

Tentang Cagee? Itu bukan nama hakikahnya.  Nama hakikahnya Azhari. Cagee hanya sapaan. Gelar. Yang ditabalkan dari perangai kesehariannya. Bukan dari face-nya yang nggak ada salinan wajah beruang.

Perangainya bukan seperti cagee benaran. Ia memang mantan kombatan gerakan yang Anda sudah tahulah. Komandan peledak bom. Plus anak dari desa Nisam. Sebuah gampong udik di Aceh Utara.

Nisam yang pernah saya datangi beberapa kali. Yang masyarakatnya sangat egaliter. Nyaris “mbong.” Tapi”welcome” dengan pendatang yang membawa salam syedara.

“Welcome” terhadap mereka yang datang dengan salam takzim. Seperti yang pernah menjadi isian kisah seorang sahabat saya. Seorang dokter yang pernah bertugas di puskesmas sana di puncak konflik. Yang diiberi lahan.

“Saya punya ikatan batin dengan Nisam,” kata sang sahabat bernama Amrin. Yang dokter itu.

Azhari Cagee adalah profil utuh dari anak Nisam. Yang egaliteriannya melimpah. Ditambah lagi ia kombatan pasukan khusus.  Jago meledakkan bom di puncak konflik Aceh dan Jakarta dulunya.

Bagi saya orang semacam Azhari Cagee bukan barang baru. Saya kenal Hercules. Raja preman tanah Abang. Yang keras dan kenyalnya  ya ampun. Tapi sudah kembali kekhitahnya.

Khusus untuk kami nama gelar semacam Cagee bukan barang. Di  negeri “naca” sana soal sapaan nama binatang bagi anak lelaki sudah menjadi sunnah.

Bahkan dilingkungan karib saya bertebaran gelar jenis begini. Bahkan banyak diantara dunsanak tak tahu nama hakikahnya.

Sebut saja Ramli Musang, Sulaiman Singa, Hasan Kuda, Wahid Harimau dan entah apalagi, yang kalau diurut isi tulisan pasti tak cuku untuk menampung  nama-nama itu.

Untuk memberi keabsahan nama-nama gelar ini di kampung saya dijargonkanlah  sebuah kalimat: ketek banamo gadang bagala. Kecil memiliki nama besar diberi gelar.

Lantas ada apa dengan Azhari Cagee yang mengamuk?

Sang teman mengirim potongan sebuah berita media online tentang amukan Cagee. Azhari cagee yang pimpinan be-er-a yang juga anggita dewan perwakilan provinsi. Yang memilih jalan politik dan entah jalan apa lainnya untuk mempoisikan dirinya sebagai tokoh di Aceh.

Usai membaca satu alinea berita dari media online lokal itu saya hanya bisa berbisik: Oo… itu.

Oo.. untuk apa yang dimau Cagee dan oo… juga untuk isian berita media itu.

Saya mafhum kenapa Cagge mengamuk. Berang, menurut media itu. Mafhum.karenan menyangkut “peeng mirah.” Bukan “pee mirah”

Menyangkut besaran anggaran yang didrop untuk badan yang ia pimpin untuk tahun depan.Yang di “koh” Bukan di “koh taku.” Kalau yang terakhir ini lain lagi masalahnya dan penanganannya.

Di “koh” oleh tim anggaran pemerintah aceh untuk tahun takwim dua ribu dua puluh tiga.

Dari lima ratus lima puluh milyar menjadi dua puluh empat milyar rupiah. Pemotongan drastis. Bikin terhenyak para petingginya. Pemotongan, yang kalau, disebuah perusahaan mengisyaratkan adanya kesalahan manajemen. Menuju kebangkrutan.

Bangkrutnya badan yang dipimpin Azhari Cagee itu tentubisa benderang kalau ditukangi  auditor. Auditor kredibel berlabel akuntan. Bukan badan pengawas yang bisa digertak atau disuap.

Anda tak usah saya ajari lah cara kerja pengawas berlabel a-es-en. Yang masih sangat kental ka-ka-en nya. Yang sogokannya menyebabkan mereka terjerembab di tangan ka-pe-ka.

Terjerembab karena secara struktural ia berada dieselonisasi lebih bawah

Entahlah!

Entah juga untuk badan reintegerasi aceh itu. Populer dengan akronim be-er-a

Badan yang digembar gemborkan pengurusnya telah memberi manfaat bagi penerima. Entah manfaat apa saya nggak tahu karena ukurannya hanya dalam bentuk oral dan laporan pertanggungjawaban keuangannya bisa dipoles.

Saya tak ingin menulis dengan kata di”tukang”i. Kalau Anda mau memberi label itu terserah. Sebab saya tak mau debat kusir dan keplak meja atau menerima kiriman ancaman akan dibawa ke ranah hukum lewat delik aduan dengan pasal fitnah.

Saya tahu itu. Karena, selain jurnalis, latar pendidikan saja juga huku. Walaupun bukan jurusan pidana. tapi tahulah format hukumnya.

Dengan uang yang dianggarkan untuk tahun depan, kata Azhari Cagee,  badan yang ia pimpin hanya cukup untuk menggaji aparatur, operasioal kantor, perjalanan dinas, kegiatan hari damai Aceh, dan beberapa lainnya.

Sedangkan Cagee menyebut badan yang ia pimpin diamanahkan oleh oleh kesepakatan damai aceh untuk mengurus pemberdayaan dan kesejahteraan tiga komponen.

Bekas kombatan, tahanan poliiti, narapidana politik dan masyarakat korban konflik.

Dengan nada berang Cagee minta be-er-a dibubarkan saja.

Lantas bagaimana pendapat Anda?

Kalau saya yang ditanya, ya bubar saja. Saya kan bukan tahanan politik atau narapidana politik

Atau pun kombatan.

Paling orang yang terkena getah konflik. Tapi getahnya kini nggak lengket-lengket amat.sudah mengelupas dimakan waktu. Dua belas tahun.

Untuk apa berdebat. Atau marah-marahan.

Apalagi penyaluran be-er-er itu jugas sudah berumur belasan tahun.

Dari kumlah tahunnya Anda bisa menghitung berapa triliun yang sudah diinvestasikan. Eeehhh. disalurkan. Dan Anda pasti punya kalkulasi kalau uang itu berada ditangan seorang entrepreuner sudah berapa puluh lipat bengkaknya,

Seperti sapi bengkak, kelapa sawit bengkak. Dan bengkak apa lain. Katanya kuncinya tentu ada kemakmuran. Bukan kemakmuran untuk si penyalur.

Lainnya lagi kalau ia bengkak benaran sudah berapa tenaga kerja yang bisa diserap.

Kalau seorang entrepreneur pegang duit segede itu pasti  ia sudah bergelar konglomerat. termasuk jejeran orang terkaya di Indonesia menurut Forbes.

Saya tahu, debat lain dari tulisan saya ini pasti mencuat. Mencuat karena kepentingan diutik. Disindir. Dan dijadikan mainan kata-kata,

Suara yang nggak setuju langsung bilang: Ini kan bukan duit bisnis. Duit anggaran.

Saya tahu kalau itu duit anggaran. Duit angaran yang dianggar-anggarkan.

Anggaran infrastruktur saja penuh dengan ladang bancakan. Apalagi duit sadaqah. Duit pemberdayaan yang tidak memakai hukum cashflow. Duit arus kas.

Duit yang jelas masuknya tapi tak jelas keluarnya. Tak jelas juga investasinya, Break efent point-nya, Untung dan ruginya.

Di sebuah kesempatan saya pernah menghitung harga sebuah pembangunan parit dari dana alokasi otonomi khusus. Di depan rumah saya. Saya mendatangkan seorang yang pintar menghitung rencana anggaran belanja atau rab.

Dia teman. Pemborong, Tapi nggak mau ikut tender pemerintah. Takut dosa karena harus membayar uang sogokan untuk proses tender dan fee proyek bila memenangkannya.

“Saya nggak mau bang,” katanya disuatu hari ketika saya candai ada jatah proyek untuk saya.

“Proyek pemda?” Saya mengangguk. Ia langsung angkat tangan. “Biar saya bangun toko atau rumah saja,” katanya berterus terang.

Setelah kami hitung dperoleh semua kalkulasi harga. Mulai bahan, ongkos tukang, pajak, uang tak terduga, pajak, keuntungan dan semuanya. Dan mentok pada sebuah harga final.

Harga yang kemudian saya cross silang dengan yang tertera di papan proyek. Saya hanya bisa tersenyum berada duit yang bancakan. Ah sudahlan.

Apalagi dengan proyek non infrastruktur seperti jatah anggaran be-er-a. Yang jelas ajanya hitungannya begitu.

Makanya seorang teman akademisi di Unsyiah. Ehhh terpeleset lagi. Di USK. langsung bete dengan dana yang disalurkan ke be-er-a.

Berlainan dengan saya yang  memainkan pukulan jab, ia langsung melakukan uppercut. Langsung mengungkapkan adanya laporan be-pe-ka-pe tentang indikasi penyelewengan dana be-er-a.

“Tinggal diseriusi saja. Periksa dan adili pelakunya. Sebab jika benar terjadi, korupsi dana be-er-a saya katagorikan sebagai kondisi yang sangat mengerikan!”

“Saya tak habis pikir, pada akhirnya be-er-a juga bermasalah,” kata si teman yang saya kutip seluruh kalimatnya dari sebuah media regional.

Sang teman adalah seorang sosiolog dari fakultas yang saya juga pernah menjadi alumninya.

Dia  berharap penegak hukum segera menuntaskan kasus itu. Menurut dia, kondisi itu pertaruhannya besar, yaitu perdamaian.

“Pasti akan banyak yang sakit hati melihat dana korban konflik dan untuk mendukung perdamaian pun ternyata dikorup!”

Ia juga mengingatkan pada keluhan-keluhan dari korban konflik dan mantan kombatan, serta kekacauan manajemen di badan  itu  pada masa-masa awal pendiriannya

Ada bau tak sedap, mulai dari salah sasaran, implementasi program padahal dana belum turun, sampai pengendapan uang di rekening pribadi!

Dulu konflik disalahkan, sekarang sudah damai. Siapa yang harus disalah.

Tentu yang disalahkan kambing hitam. Kambing hitam mengecilnya anggaran otonomi khusus. Yang tahun depan hanya satu persen dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara.

Dari dua persen sebelumnya, Atau dari tujuh koma lima triliun tahun ini menjadi tidak genap empat trilun tahun depan. Atau entah apa yang dihasilkan dari penyaluran yang empat puluh tujuh triliun selama tahun tahun terakhir.

Atau juga kepanikan mereka, bukan kita-kita, ketika kehilangan raseuki. Kehilangan “peeng mirah” ketika pawai alegoris undang-undang pemerintahan Aceh di usung kembali dan bendera bulan bintang mirah menjadi taruhan perjuangan.

Entahlah nanggroe indatu. Nanggroe ghasin yang aneuk gampong ji pungo ketika menghitung peeng picah kembali.

Exit mobile version