Site icon nuga.co

Guh.. Janji Itu Mengakhiri Puasa Saya

Sudah lama saya menjalani puasa menulis dan bicara terbuka tentang  Serambi Indonesia  Puasa yang sudah sampai ke angka tiga belas. Angka sial. Tiga belas tahun.

Tiga belas tahun sejak saya pisah dengan media prestise di Aceh itu. Pisah secara baik-baik.

Pisah di usia pensiun.  Pisah untuk menjaga jarak.

Menjaga jarak untuk mendamaikan jalan hidup.

Bahkan menjaga untuk sebutan mantan.

Itulah bisik yang pernah singgah ke hati saya saat pergi dari media itu. Pergi dengan membawa souvenir rencong kecil. Pergi setelah saya menolak untuk sebuah seremoni perpisahan.

Perpisahan yang cukup dengan penyematan sebuah rencong kecil yang tak pernah saya sentuh sejak mengisi kotak perhiasan istri saya

Janji itu saya penuhi, Sampai dua hari menjelang hari ulang tahun media itu. Untuk ketiga puluh tiga tahun.

Hari ketika saya berkirim pesan lewat whatsapp dengan si Teguh. Si Teguh Hari Patria.

Si Teguh yang memanggil saya om.

Si Teguh yang selalu menggelitik memori saya karena kejenakaannya. Kejenakaan ulah “nakal,”nya, dalam tanda dua petik, jika berhadapan dengan sang ayah.

Ayah si Teguh yang saya panggil dengan abang. Bang Nour. Nourhalidyn. Pemilik media tempat saya pensiun itu.

Si Teguh yang ulahnya sering saya candai untuk menyiram emosi Bang Nour. Emosi kegundahan seorang ayah yang rentang pikirnya tak berpilin dalam satu simpul

Jarak pikir si Teguh sebagai anak muda yang berlari cepat  sering membuat ayahnya tercecer. Tak  terkejar.

Tak terkejar karena kreatifitasnya sering bersalin rupa. Bersalin rupa dalam banyak ide.

Ide dan kreatifitas inilah yang sering berseberangan dengan sang ayah yang jalan pikir berada di zona aman,  Zona aman juga yang ia inginkan dari si anak. Zona jalan lurus dalam menata hidup.

Padahal Anda kan tahu liku kreatifitas anak  yang tidak selamanya lurus. Sering berbelok. Bahkan, tak jarang harus mendaki tebing curam.

Untuk kreatifitas si Teguh ini saya sering berbisik dalam gumam kata dengan si Hasyim Kaliane Sing. Akrab dipanggil Hasyim KS.  Saya menyapanya Bang Hasyim.  Bisik gumam kami yang tak menyalahkan siapa-siapa.

“Nggak ada yang harus disalahkan dan dikalahkan Man,” kata Bang Hasyim ketika di sebuah pagi kami diajak Bang Nour makan nasi gurih numpang sedan Honda-nya  ke rumah makan milik Pak Daham. Sinar Pagi.

Dan dia bicara dengan suara lirih tentang si Teguh.

Hasyim KS yang saya tulis namanya ini sudah lama berpulang. Seperti juga Bang Nour. Hasyim KS yang sahabat sekaligus bagian pertemanan keluarga Bang Nour dan Kak Ida, Kak Ida ibu si Teguh.

Saya  tak akan menulis rincian kami bisa menjadi bagian di keluarga Bang Nour. Keluarga di rumah takziah kami di Peulanggahan.

Rumah takziah tempat kami datang makan siang. Makan siang masakan kak Ida.

Mengenang makan siang siang yang telah melencengkan tulisan ini dari topik awalnya  cerita hari “say hello”  si Teguh.

Si Teguh yang dua hari menjelang tahun sial itu saya sapa  kembali. Menyapa usai dia membuat akun facebook saya. Usai dia diving di pulau Weh.

Usai dari kelancangannya menempelkan profil akun  facebook saya di logo ulang tahun media itu.

Profil di logo ulang tahun yang membuat saya terkejut dan tidak mampu meluapkan kejengkelan karena  teringat Bang Nour.

Ha..ha.. ha Guh.

Saya hanya bisa membiarkan profil itu singgah untuk sesaat dan kemudian raib dihimpit logo profil entah siapa lainnya.

Dari profil yang singgah di logo ulang tahun media itulah saya berjanji dengan si Teguh akan menulis sepenggal kisah awal media itu.

Jalan sejarah media kecil empat halaman yang tak punya jadwal terbit yang disusun dari huruf  mesin intertype serta digiling mesin cetak peninggalan kolonial.

Jalan sejarah sebuah koran milik Nourhalidyn  yang hinggap di memori saya.

Ke memori saya yang ia gelitik untuk menjadi tukang aduk semen dan menyusun bata bangunannya.

Saya sering mengulang kalimat tukang aduk semen itu jika datang  tanya nyinyir banyak orang kehadiran saya di sana. Tanya nadanya menggoda luapan mbong saya.

Godaaan yang terkadang disertai acungan  ujung telunjuk. Yang  nggak bisa saya bengkokkan karena tetirah saya di media itu terpahat di kening mereka Tetirah yang tak bisa juga saya tepis

Tetirah saya sebagai wartawan dengan jabatan entah apalah. Wartawan yang tukang aduk semen dan menyusun kata untuk menjadikannya sebagai surat kabar.

Hari saya menjalarkan tulisan ini  saya berada dalam kebimbangan besar. Mau atau tidak. Untuk menulis dengan menyebut nama utuh media itu. Biasanya saya tegas saja: tidak mau.

Tidak mau kalau tak terikat janjii dengan si Teguh. Tidak mau karena ingin terus berpuasa menulisnya. Puasa di ruang sunyi untuk tidak  bersentuhan dengan nama media itu.

Memang sesekali saya menyinggung media itu dalam tulisan eksistensi jurnalisme. Tapi sangat terkontrol. Misalnya saat ada tulisan  yang judul hingga isinya tak bergeser dari tanda tanya. Saya pun mengenyet.

Selebihnya saya selalu menolak nama media itu keluar dari memorinya  Juga menolak untuk dikaitkan sebagai apapun.

Tapi di hari ini saya harus ‘berkhianat’.  Karena sejujurnya media itu terlalu berarti bagi perjalanan hidup saya. Perjalanan hidup hingga pensiun sebagai karyawan. Tidak pensiun  sebagai journalistm. Wartawan yang tak pernah pensiun.

Peristiwanya terjadi di tahun yang saya tak bisa mengingatnya. Atau malas mengingatnya. Tapi yang pasti ingat adalah saat itu saya masih bujangan.

Saat itu saya adalah reporter sebuah media regional  usai nganggur dari majalah hebat yang dibreidel oleh rejim sebuah orde.

Sebagai reporter dengan predikat pengangguran media hebat nilai jual saya masih tinggi. Nilai jual yang menyebabkan seorang Nourhalidyin tergoda menyapa saya. Menyapa untuk wobaksot ke media miliknya.

Media miliknya yang akan bersalin penampilan, bersalin manajemen dan bersalin semuanya usai sebuah negosiasi panjang. Negosiasi yang sudah sampai di ujung jalan final. Dengan sebuah grup media hebat. Kompas Grup.

Bukan lagi media mati suri.  Koran empat halaman. Terbitnya seminggu sekali. Sering juga tidak terbit. Swadaya.

Koran yang membuat saya bersyukur bisa disapa sebagai wartawan. Wartawan ecek-ecek. Bisa merasakan seperti hidup di tahun kenpetai Koran yang bisa menjadi lembaran lewat penyusunan huruf di percetakannya persatu huruf.

Huruf itu terbuat dari timah. Huruf ‘a’ berkumpul menjadi satu di satu kotak. Demikian juga ‘b’, ‘c’ dan seterusnya. Lalu ada kotak-kotak lain untuk huruf besar.

Pegawai penyusun huruf itu sering tidak masuk. Itu memberi kesempatan pada saya untuk belajar menyusunnya secara benar.

Akhirnya bisa.

Saya sering tidak perlu menulis berita. Hasil wawancara langsung saya susun di tempat huruf-huruf itu. Saya juga bisa memutar mesin cetak yang masih menggunakan tangan.

Di gedung percetakan negara. Di jalan Diponegoro. Yang saya kenal tipwriter-nya, headproofnya hingga bosnya bernama Mudji Budiman.

Pak Muji yang berkarir politik di partai persatuan pembangunan untuk melaju ke Senayan sebagai anggota parlemen. De-pe-er. Pak Mudji yang saya bisa bercais cus dalam bahasa ketelatan.

Saya beruntung menjadi reporter Swadaya milik Nourhalidyin di awal karir jurnalistik. Menjadi wartawan lewat puisi  dari mesin ketik butut  yang diikat karet ban sepeda untuk mengembalikan posisi gulungannya.

Beruntung mengalami zaman paling belakang di teknologi cetak.

Saya juga beruntung mendapat rumah kost di kantor Swadaya. Kost yang ranjangnya meja kerja yang disusun berbantalkan koran bekas.

Kantor Swadaya di lantai dua jalan perdagangan Banda Aceh. Kantor yang saya dan Hasyim menjadi “boy office.”

Kantor yang sering diumpetin Ka Ida, ibuk si Teguh, sebagai kandang. Entah kandang apa saya nggak tahu pasnya hingga hari ini. Kantor yang sering didatangi Kak Ida karena ia juga pernah menjadi bagiannya.

Yang juga menjadi kantor Muis Bahar, Harun Keuchik Leumiek,  Ridwan Amran dan Arminsyah sebagai wartawan tanpa gaji. Tanpa bayaran honor tullisan. Seperti juga saya dan Hasyim.

Honornya adalah makan malam gratis dari Harun Keuchik Leumiek lewat “hello” tit..tat..toet..klakson sedan Holden berplat BL 6464 sebagai ajakan untuk duduk di rex. peunayong.

Anda tahulah siapa si Harun yang juga sudah pergi berjirat. Harun yang membangun sebuah masjid di Lamsepeung. Masjid yang menepis sumbangan. Masjid yang tidak mengedarkan kotak amal.

Masjid yang menata dinding mihrabnya dengan tatahan emas.

Harun yang menjadikan lembaran halaman Swadaya sebagai pelampiasan hobi menulisnya.

Seperti juga kala ia menulis di koran Analisa. Sebagai wartawan Analisa. Yang menyeret saya dan Hasyim sebagai koresponden. Dan menghibahkan tokonya di simpang Surabaya sebagai kantor koran regional terbitan Medan itu.

Penggal tulisan ini tentu bisa menjadi Anda bete dan mengumpat dan menuduh sebagai narasi yang menyimpang. Ya memang menyimpang akibat cairan memori saya yang encer, Encer untuk menulis apa saja yang teringat.

Dari penggal memenggal setori tulisan ini yang liar saya ingin menjinakkannya kembali ke tema awal. Tema batalnya puasa saya akibat utang janji dengan si Teguh.

Guh.. begitu saya menyapa anak bang Nour itu dalam penggelan nama utuhnya.  Saya ingin menulis jalan tetirah ke media yang kini kau ikut mengasuh dan merawatnya.

Jalan tetirah di sebuah pagi ketika bang Nour datang ke rumah kost saya di kampung keuramat.  datang dengan sedan hondanya.

Bukan datang seperti beberapa tahun sebelumnya untuk deuk pakat  ke warung Yah Mu dengan motor Yamaha bersuara jreng melengking kala masih menjadi pegawai tata usaha di fakultas hukum

Warung Yah Mu di kampus Darussalam.

Kedatangan Bang Nour dengan sedan Honda kala itu bukan deuk pakat di keudu kupi Yahmu. Tapi deuk pakat di bawah teduhan cemara Ujong Batee. Arah Krueng Raya.

Deuk pakat sapuan angin laut yang membuat nyanyian berdesir di pucuk ranting cemara.

Duek pakat yang tanpa prakata. Langsung ke isinya. ” Darman ikut saya. Kita bikin koran. Semuanya sudah beres. Bantu saya.”

Saya diam

Dalam hati saya senang sekali.

Senang karena tahu semua isi kata-katanya. Tahu juga ia tak pernah bagus menata kata untuk dijadikan kalimat. Tahu juga ia cemas saya nggak mau ikut lewat bisik seorang kawan.

Bukan pembisik ya.

Bisik kawan tentang keinginan saya untuk kembali ke majalah hebat yang dibreidel.

Padahal, sebelum deuk pakat di Ujong Batee Bang Nour sudah berterus terang tentang kesepakatannya untuk menyalin Swadaya ke Serambi Indonesia.

Menyalin lewat pembahagian saham dan penataan manajemen.

Menyalin surat izin usaha penerbitan pers-nya. Siup. Siup yang dikunci dalam jumlah terbatas oleh Harmoko, jupen Soeharto yang menteri penerangan itu, dan membuat hasrat Kompas punya media berbasis daerah tertatih-tatih.

Tertatih dengan cara mengetngnya lewat Surabaya Post, Sriwijaya Post, Banjarmasin Pos dan post-post lainnya. yang di Aceh nggak mungkin memberi nama post karena kaplingnya sudah menjadi milik koran Atjeh Post.

Dan terpaksa mencari nama lain. Nama serambi yang sebelumnya menjadi ikon nama provinsi ini. Serambi Mekkah,

Ah… maaf ya Guh. Saya nggak ingin menyebut nama media milikmu itu secara berulang-ulang. Cukup dua atau tiga kali saja. Saya nggak melayang ke masa itu. Masa ketika bersamanya dulu.

Sebab ia sekarang menjadi koran paling bergengsi.. Koran terbesar yang sudah beranak cucu menjadi online, radio, televisi bahkan toko buku.

Saya hanya bisa berdoa keras agar media milikmu itu terus mendapat tempat di hati banyak orang. Pokoknya jangan sampai digusur oleh media digital akibat judul dan isinya terus berisikan tanda tanya

Akibat terlalu banyak menyambangi pejabat dan penuh dengan berita news

Yang setiap alinea kalimatnya dimulai dengan katanya….. menurutnya…. untuk kemudian keterusan dengan ‘angkat telur” yang kemudian lupa mengembalikan amplop salam tempel ke kotak amal.

Udahlah ya Guh…

Ini gara-garamu saya membatalkan puasa.

Padahal sebelumnya saya sudah janji untuk menolak. Walau pun untuk sekedar menulis.

Exit mobile version