Anda pasti pernah mendengar sepengal pendek kalimat, “kopi itu pahit”
Ya, kopi itu memang pahit. Dan ini adalah sikap mendua dari mereka yang melontarkan penggalan kalimat itu.
Sikap mendua dari “kenikmatan” secangkir kopi dengan rasa “kesal” ia lontar sebagai “kopi itu pahit”
Dan ini juga sebagai sikap menduanya untuk menyebutnya problematis.
Beberapa dari pencinta kopi bisa saja ‘memaki’ atas pahitnya kopi sambil menggurui pelayan untuk minta tambahan gula.
Rasa nikmat kopi, bisa membuat peminumnya terdiam. Di balik kelezatan kopi ada rasa yang tak bisa diungkap hingga dalam beberapa detik mulut tak dapat berkata apa-apa.
Seperti itulah ungkapan satir bagi para penikmat kopi. Tren menikmati kopi terasa sulit dilepaskan dari aktivitas kehidupan manusia. Belum lagi aroma khas kopi selalu menjadi incaran.
Rasa pahit kopi kerap dianggap sesuatu yang menstimulus lidah peminumnya.
Jika dirunut paling dalam, rasa pahit terdeteksi akibat terjadi interaksi antara senyawa kimia tertentu dengan bagian tengah agak belakang dari lidah peminum kopi.
Jadi, ketajaman rasa kopi bukan karena rasa pahit dari kopi itu sendiri.
Adanya interaksi mendadak antara kopi yang kita minum dengan kandungan protein dalam ludah pada lidah kita menjadi paduan apik kopi jadi terasa pahit.
Sebagai pengetahuan asal, dalam secangkir kopi terdapat lebih dari tiga puluh persen senyawa kimia. Masing-masing senyawa kimia itu berperan dalam pembentukan rasa, aroma dan keasaman kopi.
Itulah mengapa minum kopi tak seperti meminum air biasa. Cita rasa minum kopi akan terdeteksi dengan cara menyeruput. Tujuan ini diharapkan dengan memosisikan larutan kopi tepat berada di bagian tengah lidah.
Lantas, dari mana sumber rasa pahit kopi?
Ternyata bermula lewat pemanasan biji kopi ditemukan serangkaian reaksi kimia yang mengubah asam klorogenik menjadi cholorogenic lalu terbentuk acid lactone.
Kemudian bila pemanasan terus berlangsung, akan menghasilkan senyawa hasil pemecahan Lactone yang dinamakan dengan phenylindane. Hasil pemecahan kedua inilah yang turut andil dan bertanggung jawab atas munculnya rasa pahit pada kopi.
Mungkin tampak rumit dan sedikit ilmiah bagi masyarakat awam. Tapi sesungguhnya dibalik itu semua penikmat kopi tak rela menjauh dari pahitnya kopi.
Sesekali bolehlah juga menjiwai apa yang kita minum.
Dalam kekangan jiwa terpatri manifestasi rasa.
Dari sana tergambar, seindah apapun hidup terukir, sesempurna apapun hidup yang terjalani dapatkah ia bermakna tanpa ada rasa pahit ?
Sebaiknya tetap menjaga rasa kenikmatan ngopi di tengah lidah, meski rasa manis selalu datang menggoda.
Kesadaran ikut bersenyawa. Bukankah kopi itu nikmat karena rasa pahitnya.
Memang, bagi seorang penikmat kopi, bagian penting dari minuman itu adalah cita rasa di dalamnya Untuk itu banyak dari mereka yang bersilat lidah tentang bagaimana agar cinta rasa kopi jadi enak.
Katanya, setiap prosesnya harus dijaga. Mulai dari proses dipetik hingga saat hendak disajikan.
Berbicara soal kopi, seorang profesor psikologi eksperimental di University of Oxford, Charles Spence berbicara soal cita rasa kopi menurut perspektif masing-masing orang.
Ia mengungkapkan, konsumen memandang kopi pada umumnya subjektif dan tergantung pada pengalaman masing-masing.
Beberapa orang mungkin mulai dengan mengurangi tambahan minuman susu manis, mengeluarkan gula, dan lalu fokus pada kopi.
Namun, seiring waktu, orang mulai mengembangkan rasa pribadi, dan gelas kopi ternyata menjadi bagian penting dalam menentukan rasa.
Bagaimana pengaruh bahan gelas dengan rasa kopi?
Espresso atau cappuccino yang disajikan dalam gelas kaca akan menarik perhatian karena kualitas krem atau busa yang ada karena susu.
Memang, mencapai susu berbusa yang sempurna mungkin tidak penting untuk kopi yang diseduh sendiri, tetapi gelas kaca memang membuat minuman tetap hangat lebih lama.
Hal ini lantaran konduktivitas termal yang rendah dari gelas kaca mencegah panas cairan dengan cepat menyebar ke dalam cangkir.
Spence mengakui, suhu ideal untuk menyajikan kopi sebagian besar adalah masalah preferensi pribadi dan budaya.
“Jika suhu sempurna ketika memulai, maka tidak akan cukup hangat pada saat selesai”, katanya.
Cangkir kopi yang dapat digunakan kembali mungkin ideal untuk bepergian. Namun, plastik menyerap bau dari waktu ke waktu yang dapat menjadi lebih pekat saat minum teh atau minuman lainnya.
Tutup kopi plastik juga mencegah pengalaman “orthonasal” yang menyenangkan dari aroma kopi untuk mencapai hidung.
Hal ini tentu membuat pertanyaan sendiri. Mengapa banyak kopi dijual dengan tutup plastik, jika justru membuat penikmatnya tak bisa menghirup aroma khas tersebut.
Gelas sekali pakai yang terbuat dari kertas cenderung dilapisi dengan plastik untuk mencegah cairan bocor atau meresap.
Bukan kebetulan, kopi takeaway sering disajikan dalam cangkir atau dengan grip berwarna cokelat dan dibuat dari kertas atau karton daur ulang.
Menurut Spence, warna terkait dengan kealamian dan kepercayaan lingkungan.
Spence dan Carvalho saat ini tengah memperdalam bagaimana rasa kertas dapat memengaruhi pengalaman mencicipi. Namun, dalam eksperimen tahun 2018, para partisipan diberikan cangkir keramik halus atau kasar.
Para peneliti menemukan, kopi yang disajikan dalam gelas keramik dengan finishing kasar dinilai pahit atau kering saat aftertaste.
Kopi dianggap lebih manis ketika dicicipi dari cangkir yang halus, seperti yang dikatakan Carvalho.
Gelas keramik membuat kopi tetap hangat, tetapi tidak selama porselen atau gelas.
Permukaan bagian dalam putih juga memberikan kontras warna yang baik dan membuat kopi terlihat kuat atau intens.
“Selain kaca, kamu selalu melihat kopi dengan latar belakang, yang merupakan permukaan bagian dalam cangkir kopi,” kata Spence.
Sedangkan untuk bagian luar cangkir, Spence dan Fabiana Carvalho, dari Universitas Campinas, baru-baru ini menjalankan serangkaian eksperimen psikologis di Brasil.
Dalam percobaan itu, peminum kopi diberi cangkir berwarna berbeda.
Hasilnya, kopi yang disajikan dalam cangkir merah muda dianggap memiliki rasa manis, yang mungkin terkait dengan buah merah muda dan makanan penutup yang umumnya manis.
Kemudian, kopi yang disajikan dalam cangkir hijau dinilai lebih asam, sedangkan kuning dikaitkan dengan kedua selera.
Kopi dalam bahan stainless steel akan mendingin lebih cepat seperti pada keramik dan gelas karena panas ditransfer ke material dan kemudian telapak tangan.
Gelas dengan sentuhan perak atau silver juga dikaitkan dengan kualitas dan biaya dan memberikan tampilan yang lebih modern pada cangkir.