Keamanan Mesir terus memburuk. Para pengamat politik dan kemanan sepakat bahwa Mesir akan jatuh kejurang kehancuran akibat porak-porandanya ekonomi negera itu akibat tidak terkendalinya permusuhan antara kelompok Islam yang dimotori Ikhawanul Muslimin dengan kelompok liberal sekuler yang ditunggangi militer.
Kairo, ibukota Mesir, hari-hari ini dan hari mendatang bagaikan kota tak bertuan dengan berlakunya hukum rimba lewat kekerasan senjata. Aksi brutal militer yang menembaki pendukung Ikhwanul Muslimin yang menghendaki kembalinya Mohammad Morsi sebagai presiden masih saja berlangsung secara sporadic.
Semua mata kini tertuju ke kamp demonstran di luar masjid Raba’a al Adawiya. Di tempat itu, para pendukung presiden terguling Mohamed Morsi terus bertahan. Mereka mengabaikan seruan pemerintah agar membubarkan diri dan meninggalkan tempat tersebut.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Mesir untuk membubarkan massa. Bahkan dikhawatirkan, korban jiwa akan kembali berjatuhan.
Sebelumnya pada akhir pekan lalu, setidaknya 70 demonstran tewas ditembak di luar kamp demonstran pendukung Morsi tersebut.
Menurut penasihat senior pemerintah Mesir, Dr. Mustafa Higazy, Mesir kini sedang berperang melawan apa yang disebutnya terorisme. Bahkan kepada CBS News, Selasa 30 Juli , Higazy mengatakan, sebagian rakyat di Mesir kini menyamakan para pendukung Ikhwanul Muslimin dengan teroris.
Kelompok Ikhwanul telah menyatakan akan terus menggelar aksi demo sampai Morsi dikembalikan ke jabatan presiden. Ikhwanul pun telah menyerukan untuk kembali menggelar aksi demo besar-besaran pada Selasa ini.
Menyusul kerusuhan berdarah di seputar Masjid Rabaa Al Adawiya, Kairo, Mesir, Menteri Dalam Negeri Mesir Jenderal Mohamed Ibrahim mengeluarkan pernyataan menyerang pihak Ikhwanul Muslimin.
Menurut Ibrahim, pihak Ikhwanul Muslimin telah melebih-lebihkan jumlah korban tewas dalam bentrokan itu. Seperti dilansir The Egyptian Gazette, Ibrahim menyatakan Ikhwanul Muslimin melebih-lebihkan jumlah korban tewas untuk tujuan politis.
Sebelumnya diberitakan, polisi Mesir telah menembak mati sedikitnya 38 pendukung presiden terguling Mohamed Morsi yang berunjuk rasa. Juru bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad El-Haddad mengklaim, aksi penembakan tersebut terjadi ketika salat subuh digelar pada Sabtu pagi waktu setempat.
Namun aksi penembakan oleh polisi dibantah Ibrahim.Ibrahim menyatakan polisi tidak pernah melepas tembakan. Justru, masih menurut Ibrahim, polisilah yang ditembaki oleh demonstran.
Dirinya menegaskan, pihak aparat hanya menggunakan gas air mata untuk membubarkan para demonstran. Alasannya, para demonstran telah menyebabkan jembatan setempat terganggu oleh asap ban yang sengaja dibakar.
“Mempertimbangkan waktu yang ada… untuk membubarkan demonstran, ini adalah koordinasi menyeluruh antara kami dan angkatan bersenjata,” kata Ibrahim.
Jubir Kementerian Dalam Negeri Mesir, Jenderal Hany Abdul Latif, menyatakan demonstran telah memicu kekerasan terlebih dahulu. Dirinya menuding para demonstran Islamis telah menembak aparat. Akibatnya, 14 polisi terluka, termasuk dua orang yang kritis karena mengalami luka tembak di kepala.
Namun, Juru Bicara Ikhwanul Muslimin Gehad El Haddad menyatakan polisi lah yang aktif melepaskan tembakan. “Mereka bukan menembak untuk melukai, tapi menembak untuk membunuh. Lubang peluru ada di kepala dan dada,” ungkap El Haddad.
Kantor berita AFP juga menyatakan polisi telah melepaskan peluru. Darah berceceran di mana-mana. Pada tengah hari, petugas medis mengangkut mayat yang sudah dikafani untuk dibawa ke rumah sakit.
“Allahu akbar!” teriak kerumunan massa yang membentuk lorong memberi jalan kepada mobil ambulans.