Kepolisian Arab Saudi tidak akan pernah mengompromikan perubahan aturan guna membolehkan perempuan mengemudi mobil di jalanan umum, dan bersikukuh menegaskan perbuatan itu menyalahi kodrat untuk melindungi peran wanita dalam kehidupan nyata.
Sebagai negara yang memberlakukan hukum syariat, kepolisian Arab Saudi telah mengenakan denda terhadap enam belas wanita yang melanggar larangan mengemudi.
Juru bicara polisi di ibu kota Riyadh, Kolonel Fawaz al-Miman, mengatakan bahwa perempuan yang melanggar larangan itu diperintahkan untuk membayar 300 riyal atau setara dengan Rp 800.000 untuk setiap kasusnya masing-masing.
Selain itu, mereka juga harus menandatangani janji untuk tidak lagi mengemudikan mobil, dan bersedia menerima konskekuensi hukuman yang lebih berat jika mengulangi perbuatannya kembali.
Larangan mengemudikan mobil bagi perempuan di Saudi sudah berlangsung sejak 1990. Larangan ini tidak tertulis secara resmi dan tidak ditetapkan dalam hukum Saudi.
Sebagai reaksi terhadap larangan ini, beberapa perempuan di Saudi menentangnya dengan berunjuk rasa serta mengunduh berbagai video yang menggambarkan mereka tengah menyetir mobil.
Wanita yang mengemudikan mobil ini melakukan protes untuk menanggapi kampanye di internet berjudul “Wanita yang mengemudi adalah pilihan.” Merebaknya pengaruh internet menyebabkan para wanita di Saudi menggunakan media ini sebagai pilihan untuk melakukan penentangan.
Dalam sebuah video perlawanan, pihak kepolisian menyebarkan gambar berdurasi enam menit tentang penangkapan enam perempuan yang mengemudi di Riyadh, dan memperlihat penjatuhan denda sebesar 300 riyal dan menandatangani pernyataan tak mengulang perbuatan masing-masing.
Dalam video yang dirilis kepolisian Saudi itu, setiap perempuan, bersama saudara laki-laki, ayah, suami, paman, ataupun cucu, harus menandatangani “janji untuk mematuhi hukum kerajaan.”
Di antara para perempuan yang didenda itu, dua orang kedapatan mengemudi di jalanan Kotari Jeddah. Kota Jeddah sendiri merupakan salah satu kota yang terbuka di Saudi dan menjadi pusat perdagangan dan bisnis serta menjadi hunian warga negara asing termasuk yang non muslim.
Para aktivis melalui media sosial menyerukan agar perempuan yang menyetir memprotes larangan itu. Sebagian wanita mengatakan mereka mendapat telepon dari kementerian dalam negeri yang meminta mereka untuk tidak mengemudikan mobil pada hari yang ditetapkan itu.
Para aktivis mengatakan, hari Sabtu dipilih sebagai tanggal “simbolis” untuk mengupayakan hak mengemudikan mobil bagi perempuan. Kampanye ini kali pertama dilakukan selama sepuluh tahun terakhir.
Untuk mencegah para wanita mengemudi mobil, kepolisian Saudi segera memberlakukan aturan yang lebih keras. Polisi lalu lintas Arab Saudi telah menyampaikan sebuah aturan untuk menjatuhkan denda yang lebih besar terhadap pemilik mobil yang dikemudiakan olah para wanita.
Polisi akan menjatuhkan denda sebesar 5.000 riyal atau setara dengan Rp 16,5 juta kepada para pemilik mobil karena mengizinkan orang yang tidak memiliki kualifikasi mengemudikan mobil.
Sebenarnya hukum Saudi tidak secara eksplisit melarang perempuan mengendarai mobil, namun warga Saudi harus memiliki surat izin mengemudi agar bisa mengemudikan mobil secara sah.
Sayangnya, surat izin mengemudi ini tidak diterbitkan untuk perempuan akibatnya mengendarai mobil menjadi sebuah aktivitas melanggar hukum bagi perempuan Saudi.
Kelompok aktivis perempuan ini menyerukan agar para perempuan Saudi mengemudikan mobil pada 26 Oktober lalu. Aksi ini adalah upaya perempuan Saudi menentang larangan mengemudikan mobil di negeri konservatif itu.
Setidaknya dua kampanye serupa sudah dilakukan dalam dua tahun terakhir, namun belum membuahkan hasil. Malah para peserta harus berurusan dengan polisi dan diharuskan menandatangani pernyataan tidak akan mengemudi lagi.