Miskin?
Cukup satu kata itu sebagai pembenaran Aceh memang miskin
Provinsi miskin yang akut. Daerah miskin yang struktural.
Kebenarannya?
Tak usah menghabiskan waktu berdebat. Cukup klik media online di telapak tangan Anda. Tuliskan jargon aceh miskin. So pasti ada semburan judul seperti belukar tentang kebenaran itu
Kami sengaja tidak menuliskan kata miskin ini dalam tanda dua petik. Tanda yang biasanya digunakan para jurnalis untuk penyamaran bunyi agar tidak berdentum. Kata yang juga digunakan untuk meringankan bunyi bacaan agar lebih santun.
Narasi itu tak dibutuhkan untuk mengatakan Aceh memang provinsi miskin.
Paling miskin?
Entahlah kalau dijajaran nasional. Tapi untuk ukuran sumatera sudah final. Nggak bisa di tawar.
Seperti juga kita nggak bisa menawar data yang disebarkan bps – badan pusat statistik. Sebuah badan kredibel yang bermain dengan angka lewat hitung-hitungan njelimet. Hitungan rumit berakurasi tinggi.
Hitungan yang memakai tambah, kurang plus bagi, yang kemudian di komparasi dengan berbagai argumen lewat validasi data yang tinggi untuk mendapatkan sebuah jawaban.
Angka bak teka-teki silang untuk mendapatkan kata shahih.
Kesahihan versii bps inilah yang menjadi dasar berpijak para pengamat untuk “menguliti” struktur kemiskinan di Aceh. Semoga bukan kemiskinan struktural. Juga bukan natural.
Kemiskinan sampai hari ini?
Jawabannya ringkas aja. Iya
Menyakitkan?
Sangat… sangat… Dan dalam munajat kita, sya dan anda, semoga nggak abadi.
Entah juga.
Kemiskinan yang telah mengendap selama sembilan belas tahun.
Saat mula sebutan itu ditabalkan, sembilan belas tahun lalu, angka penduduk miskin di Aceh masih berjumlah satu juta seratus sembilan belas ribu. Kalau dari sisi prosentasenya, dibanding jumlah penduduk, ia berada diangka tiga puluh persen.
Tertinggi di Sumatera. Dibawah Sumsel dan Babel
Apakah ada angka penurunan?
“Ada, ” tulis data bps. Tidak signifikan. Mangkrak.
Lantas apa jawaban petinggi plat merah bernomor satu dan dua digit di Aceh terhadap data itu.
Tak ada suara serempak dan gegap gempita yang menampik. Sama dengan suara yang menjawabnya. Tak ada paduan suara berbentuk koor berupa penolakan itu.
Jadi semuanya betul?
Mungkin juga.
Dalam senyap itu ada juga suara sayup-sayup datang Bukan jawaban. Hanya pernyataan. Dari birokrat tulen Namanya Teuku Ahmad Dadek. Dia ketua bappeda di provinsi.
Saya tahu orang ini. Ia orang baik. Khas anak aristokrat terdidik. Santun. Sebelum mengisi eselonisasi jabatan ke provinsi, ia lama menjalani ritual pejabat di Aceh Barat.
Lulusan salah satu perguruan tinggi di Jogya. Sentuhan kesantunannya, plus kesederhanaannya, sangat adem. Di Aceh Barat ia punya pengalaman sebagai aparat yang padat pengalaman. Pernah jadi camat dan sejejer jabatan eselon lain.
Selain itu, tak terlalu penting, perlu juga Anda tahu, ia rajin menulis.
Sebelum pilihannya sebagai birokrat ia sempat bersentuhan dengan saya sebagai jurnalis paruh waktu. Jurnalis lepas di sebuah media yang saya juga ada di sana.
Jurnalis yang pernah menyalami saya dengan sebuah buku tebal “Kemana, Apa, Siapa di Aceh Barat.
Sebuah buku yang ia beri judul kecil di atasnya,” potensi sosial, seni dan budaya di aceh barat” Buku bersampul kuning.
Lantas apa jawaban Dadek terhadap titel provinsi miskin ini?
Ia cuma menghardik bps dengan suara dikulum
Dadek, berucap datar. Sedatar senyumnya. Tanpa retorika. “Maunya lihatlah secara lebih proporsional. Dalam konteks nasional. Kan penambahan penduduk miskin di Aceh masih di bawah angka nasional.”
Dengan sorot mata lembut ia mengajukan komplain yang tertata hendaknya data bps juga menyodorkan fakta jumlah orang miskin di Aceh sekarang ini jauh lebih baik dibandingkan daerah lain.
Dadek mencontohkan seperti di Sumut, Lampung serta Sumatera Barat.
“Angka kemiskinan kami naik pada masa pandemi dan masa tsunami,” katanya tanpa mau menyebut apakah tahun-tahun kecamuk Aceh angka itu juga naik.
Ia tak mau menyebut masa “panik” itu modal lain memiskin Aceh. Ia tahu luka kecamuk itu belum sepenuhnya sembuh.
Ia merangkun semuanya dengan kalimat pendek,” situasi ini memang tidak terelakkan.”
“Kami ibaratkan ini seperti sebuah pertandingan yang dialami kabupaten, kota dan provinsi. Dimanapun”
Dadek memang nelangsa tentang tsunami dan konflik. Karena Itu sudah belasan tahun berlalu. Belasan tahun anggaran diganti. Telah datang dan pergi eksekutif puncak dan anggota dewan perwakilan. Tapi kata “miskin itu belum juga tercabik.
Dadek tentu belum pikun menghitung berapa sudah pejabat yang digiring lewat kasus membancak anggaran. Moga juga nggak pikun besaran anggaran apbn + apbd + dana otonomi khusus yang sudah ditelan untuk mengenyahkan kata kurang ajar ini. Miskin.
Kami juga ingin mengingatkan Dadek untuk tidak lupa bagaimana permainan usulan anggaran yang bersilang kertas, bersilang sengketa dan bersilang pendapat sebelum difinalisasi.
Finalnya anggaran yang rutin, proyek dan entah apalagi.
Ia perlu mengingat berapa sudah uang untuk belanja infrastruktur, belanja rutin, belanja kegiatan maupun belanja pegawai itu. Dan kami tidak ingin mengingatkannya, apakah belanja itu “break efent poin.” pulang modal atau laba.
Tentu saja kita tidak ingin menuntutnya dengan hitungan sebuah capital investasi. Keuntungan anggaran berada dalam tatanan berbeda bisnis. Yang menjadi hitungan adalah dampaknya. Dadek tahu itu.
Dampak dari penggunaannya anggaran. Apakah efektif atau nonsen.
Jangan-jangan ujungnya korosi Saya tak mau menyebut korupsi
Khusus dana otsus, Dadek mengakui masih ada sisa kelebihan anggaran yang cukup besar.
Ada beberapa kegiatan yang direncanakan Sudah dianggarkan …….. saya malas menyebut angka yang te-te ..an.
Sebut sajalah. Ya, usah, satu setengah triliun rupiah. Anda tahu berapa angka dalam hitungan triliun itu. Satu nol, dua nol, tiga nol… entahlah. Hitung sendiri
Kata Dadek juga, untuk sementara, pemda tak mau bersilat lidah mengenai dana otsus. Pasalnya, pemerintah daerah tak ingin program daerah bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat yang sudah menggelontorkan bantuan sosial.
“Kami tidak ingin beradu pendapat dengan pusat,” kata Dadek.
Namun begitu, Anda tahu jumlah dana otonomi khusus yang sudah digelontorkan selama lima tahun terakhir. Empat puluh tujuh triliun rupiah lebih. Masya Allah. Ya, asal sudah kedaluarsa jadi masalah.
Usai Dadek “membela” kebijakan “bossas”nya, kita kembali melihat angka lima tahunan penduduk miskin di Aceh.
Masih terlalu tinggi.
Saya tak ingin merinci dalam angka maupun prosentasenya dalam penulisan ini. Anda pasti mual membacanya.
Terlalu rumit dan zig zag. Biarlah itu makanan peneliti. Kalau itu saya tuliskan bisa membawa Anda ke permainan “rollercoaster.”Nggak cocok dengan usia kita. Turun naik.
Padahal yang esensil adalah pertanyaan kenapa Aceh masih menyandang predikat daerah termiskin di Tanah Sumatera?
Jawaban itu bukan datang dari saya. Saya hanya meminjam jawaban dari seorang birokrat di bappenas.
Ia salah seorang petinggi di lembaga itu. Seorang direktur. Eselonnya top. Dan bidangnya kemiskinan dan kesejahteraan.
Namanya Maliki.
Katanya, tingginya penduduk miskin di Aceh memang karena total penduduknya lebih sedikit dibandingkan daerah lain di Sumatera.
Sampai disini benar.
Di samping itu, optimalisasi dari sumber daya alamnya masih rendah. Seperti kopi, yang sebenarnya sangat digemari oleh masyarakat dunia. Masih benar juga.
“Produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga tidak mempunyai daya jual yang lebih tinggi. Mungkin karena Medan masih menjadi pusat ekonomi di daerah itu,” ujarnya.
Ini jawaban klasik.
“Hasil olahan rakyat, terutama kopi masih banyak didominasi oleh pasaran melalui Medan, Jadi kontrol harga masih belum optimal,” kata Maliki melanjutkan.
Tentu saya bisa komplain. Sebab lima puluh tahun lalu saya telah menuliskannya. Meningatkan banyak orang dan ada solusi saat itu.
Apakah Maliki tahu di Bener Meriah ada LTA-77. LTA yang menjemput kopi gayo arabica untuk diproses jadi kopi dunia.
Masih menurut Maliki, kebanyakan masyarakat Aceh juga lebih banyak memperhatikan investasi daripada untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Sebenarnya, argumen ini bisa diperdebatkan. Tapi percuma. Maliki berujar dan saya menulis. Mana ketemu solusi debatnya.
“Orang Aceh lebih banyak memperhatikan investasi daripada pengeluaran untuk makanan dan sehari-hari. Inipun pasti akan mempengaruhi profil pengeluaran. Di mana kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pola makan dan kalori,” tuturnya.
Setelah kita simpulkan, jawabannya sangat khas birokrat tulen.
Walaupun tingkat eselonnya tinggi ngomongnya ternyata masih warkop. Menuding sana, mencari alasan sini dan entah apalagi kalau ditanya lebih indepth.
Suara kritis si Maliki ini akhirnya keluar juga.
Pengakuan. Ya, khas pejabat. Ia men yebut ke depan dana otsus bisa digunakan untuk meningkatkan akses pasar yang lebih independen.
Bappenas berencana untuk membuat beberapa uji coba yang akan segera diperluas di Aceh. Bappenas akan memulainya dengan merapikan data dengan melakukan uji coba registrasi sosial mendata seluruh penduduk di beberapa desa di Aceh.
Dalam menanggulangi kemiskinan di Aceh, bappenas juga akan memperluas cakupan administrasi kependudukan, terutama cakupan akta lahir. Pasalnya masyarakat miskin rentan tidak memiliki memiliki akta lahir.
“Sistem pelayanan dasar, baik pendidikan, kesehatan, maupun sanitasi air minum. Tata kelolanya sedang kami merapikan. Kami juga akan melakukan pemberdayaan ekonomi dengan memberdayakan rakyat miskin melalui pemberdayaan sumber daya lokal, namanya keperantaraan,” jelas Maliki.
Menurutnya, kemiskinan di Aceh bisa diatasi apabila dana otonomi khusus dikelola dengan benar. Ia tak mau menjawab bahwa dan otsus selama ini tidak dikelola dengan benar.
Jawaban tentang kemiskinan Aceh lainnya datang dari seorang peneliti.
Namanya Arman Suparman. Saya tak ingin menulis lembaganya. Cukup namanya dalam konteks personal
Katanya, kemiskinan di Aceh disumbang oleh persoalan tata kelola pembangunan di daerah. Seharusnya pembangunan di sana bisa difokuskan untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat.
“Tata kelola pembangunan, dari birokrasi dan pelayanan publik tidak banyak memberikan andil untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga salah satu kontribusi angka kemiskinan”
Tata kelola pembangunan dan implementasinya seharusnya fokus ke persoalan masyarakat di daerah. Kadang pemerintah daerah itu kurang tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Melihat sumber daya alam yang ada di Aceh, seperti kopi dan kakao, seharusnya kata Arman bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat di sana. Optimalisasi produksinya dengan menggunakan dana otsus.
Dana pembangunan di Aceh terbesar berasal dari dana otsus. Lima puluh persen dari penerimaan daerah berasal dari dana otsus yang setiap tahun digelontorkan oleh pemerintah pusat.
Dalam dua tahun terakhir saja dana otsus berada di angka delapan koma empat triliun rupiah
Seharusnya dengan dana otsus itu bisa untuk mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat Aceh. Caranya, dana otsus dialokasikan untuk pembiayaan prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dari sistem perencanaan harus fokus
Money follow program, ketika punya fokus, anggaran seharusnya mengikuti programnya. Ini yang belum optimal dijalankan Pemda Aceh. Juga dari pemerintah pusat kurangnya pengendalian dan pengawasan
Jakarta harusnya punya pedoman dalam menyelenggarakan urusan konkuren dan untuk memperkuat kewenangan daerah.
Lantas, apakah dana otsus sudah dipergunakan secara rata, baik itu untuk infrastruktur, kesehatan atau pendidikan. Jawabannya tidak. Dana otsus lebih banyak banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Padahal pembangunan infrastruktur tidak memberikan dampak multiplier effect yang signifikan untuk masyarakatnya.
Infrastruktur hanya memudahkan jalan bagi pembancakan
Menurut leterliyke-nya infrastruktur itu bisa mempermudah konektivitas masyarakat.
Perlu meningkatkan kebijakan lain, karena mata pencaharian besar di Aceh kebanyakan adalah petani.
Perlu memajukan kesejahteraan petani dengan program lain.
Bukan kesejahteraan pejabat sudah bergelimang dengan uang tece- tunjangan khusus. Honor rapat, seminar atau pun proyek Juga uang dinas perjalanan yang ada dan diadakan.
Saya tak mau mengatakan fee. Sebab fee itu bukan dunianya pejabat tapi dunia dagang.
Apalagi pejabat bukan makelar atau agen dagang.