Harun Keuchik Leumiek!
Kami lebih mengenalnya dengan panggilan “hkl.” Sepenggal “kata” dengan tiga huruf kecil, yang kalau dilafadhkan akan berbunyi “ha-ka-el.”
Ya. “ha-ka-el.”
Itulah panggilan akrab yang menyertai persahabatannya dengan banyak komunitas. Sebuah sapaan yang lahir dari rahim inisialnya ketika menulis “news” di sebuah koran harian regional terbitan Medan, Sumut, empat dekade lalu.
“Hkl,” kini, sudah berpulang. Berpulang di usia sepuh setelah melewati jalan panjang kehidupan.
Dan tak pernah keluar dari komitmennya terhadap sebuah kata, konsistensi. Sikap yang mudah diretorikkan tapi bukan main susahnya di”bumi”kan.
Kata yang ia pegang dengan kokoh dalam menjalani dua karir yang sering mengalami benturan atas nama kepentingan masing-masing, tetapi menyatu dalam dirinya sebagai sebuah seni hidup.
Karir pengusaha dan wartawan. Penyatuan dua profesi yang secara tematis berbeda secara ekstrim, yang terkadang, bisa mendatangkan kegamangan bagi pelakunya. Tapi “hkl” mampu menjalani dengan sempurna.
Dua profesi inilah yang ia jalani dengan mulus. Profesi yang ia gamit dengan sadar sebagai pilihan hidup. Pilihan kehidupan seorang “hkl.” Dan ia menikmati kedua profesi itu.
Sama kenikmatannya ketika ia memutuskan untuk mengambil jalan memintas menjadi “penjaga” dan perawat “sejarah” lewat penyelematan dan pelestarian budaya negeri ini.
Jalan ketika ia harus belajar lagi dari “bawah” menelusuri t kekayaan kultur “indatu”nya lewat gairah berahinya mengumpulkan koleksi benda-benda sejarah.
“Saya tak tahu lagi berapa sudah ongkos yang harus saya keluarkan untuk menghimpun berbagai benda sejarah milik negeri ini,” katanya di sebuah pertemuan kami di hari-hari sepuhnya.
Ia bahkan, menjadikan rumah miliknya di Lhoong Bata, persis berhadapan dengan lokasi lampu pengatur lalu lintas Simpang Surabaya, sebagai museum yang ia biayai sendiri untuk membayar utangnya sebagai anak sejarah negeri ini tanpa harus mengemis ongkos dari duit anggaran.
“Hkl” memang mengambil jalan memintas ketika memutuskan menjadi kolektor benda sejarah “milik” indatunya, karena di pici oleh ke“marah”an kala menyaksikan maraknya perpindahan barang seni itu atas nama kepentingan “bisnis.”
“Saya ingin mengoleksinya tanpa tergoda oleh nilai rupiahnya. Saya lebih tergoda dengan nilai kulturalnya. Ini khazanah budaya yang memiliki kaitannya dengan eksistensi Aceh sebagai “nation” dan “state” di zaman keemasan kerajaan.
Nilai dari ketinggian kreatifitas yang menjadikan nya sebagai benda seni,” kata “hkl” di kesempatan lain.
Gairah, yang ia katakan, sempat menguras isi koceknya. “Saya bukan orang kaya benar. Sebab yang disebut kolektor itu orang yang benar-benar kaya.
Saya hanya kaya-kayaan yang telanjur jatuh cinta dengan nilai budaya negeri ini karena marah atas perlakukan “pasar” terhadapnya dan berjanji dengan diri sendiri untuk menyelamatkannya, “ kata ayah dari lima anak ini dengan ekspresi serius.
Itulah kelumit kecil kisah “hkl” terperosok menjadi kolekter benda-benda bersejarah Aceh.
Benda-benda, yang dikatakan nya memiliki “aura” keindahan dari akulturasi budaya arab, india, melayu yang menjadikannya sangat “acheh.” Dan juga menjadikannya sangat mafhum dengan struktur kesejarahan Aceh lewat sebuah benda.
Tentu terpelesetnya “hkl” menjadi kolektor bukan datang secara “instan.” Lelaki kelahiran Lamseupeung ini mewarisi banyak “gelmu” dari garis turunannya terhadap nilai kesejarahan negeri ini, termasuk benda-benda budayanya.
“Saya lahir dari keluarga yang mencintai benda-benda budaya dan menghargai kreatifitas para “utoh” atau tukang masa lalu, masa kini dan juga masa datang,” katanya.
Dan “hkl” sendiri adalah “utoh.” Seorang pandai emas yang memiliki “perguruan” dan mengajarkan seni benda-benda yang dihasilkan.
Telisiklah bagaimana ia menghasilkan “pinto acheh” yang lama terpendam . Ia mampu memberi detil moderen dan menjadinya sebagai perhiasan yang nilai gengsinya sangat tinggi.
Sebut pula, bagaimana lengkap pengetahuannya tentang rencong. Ia fasih memberi urutan tahun, pembuatnya dan dipergunakan oleh klas sosial mana, begitu melihat lekuk, bahan baku atau pun gagangnya.
Tanyakan dengan dia tentang siwah. Dan jangan sok pintar memberi komentar tentang perhiasan kalau bertemu dengannya. “Hkl” jagonya.
Dan dia pula yang memodifikasi kembali “pinto acheh” sebagai perhiasan yang kini gengsinya sangat tinggi di lingkungan pemakai atau kolektornya.
Tentu “hkl” bukan hanya sebagai kolektor yang memiliki hubungan “causalitas” dengan bisnis perhiasan. Ia lebih dari itu. Ia seorang pengusaha perhiasan, terutama, emas paling terkenal.
Ia telah melompati banyak rintangan untuk menjadi seorang “utoh” dalam artian sebenarnya. Di usia sepuhnya, kini, “hkl” telah menjadi sosok indatu dan rujukan untuk barang-barang perhiasan itu.
“Hkl” di usia “senja” belum ingin menjadi seorang “pensiunan” sesungguhnya. Ia masih tetap “hkl” yang mumpuni. “Hkl” yang memberikan kontribusi untuk pijakan di dua kakinya dalam dua profesi.
“Hkl” yang saudagar dan “hkl” yang wartawan.
“Hkl,” kami mengenal di paruh tahun tujuh puluhan. adalah lelaki yang menekuni hobi fotografi, yang mengukuh diri sebagai wartawan di sebuah media lokal, Swadaya.
Sejak awal kami telah mengenal kesahajaannya sebagai anak zamannya. Kesehajaan ketika ia memilih karir fotografer, kala itu. Karir fotografer yang belum banyak ditekuni di dunia jurnalistik.
Pilihan karir yang dikatagorikan barang mahal, ketika bagian terbesar dari wartawan tidak memiliki kamera pribadi. Dan wartawan yang memiliki kamera secara lengkap, kala itu, dianggap kaya.
Dari karir kemewahan yang dimiliki “hkl” inilah kami berkenalan dengannya. Ia merupakan “potret” dari seorang muda yang memiliki “kemewahan” untuk di”hobi”kan.
Dan“hkl” menggabungkan hobinya ini dengan profesionalitas ke”fotografer”an secara utuh dengan sytile “low profile.” .
Ia memang memiliki modal untuk ber”hobi” dengan kamera merek “cannon,” ketika itu, dengan dukungan seperangkat “zoom” dan lensa banyak jenis.
Gabungan hobi dan profesionalitas ini lah, yang dikemudiannya melahirkan rangkaian karya fotografinya.
Karya fotografi yang di hari tuanya menghasilkan sebuah buku “Potret Sejarah Banda Aceh,” yang menggelitik banyak orang untuk mengenang “koetaradja” dengan ke Banda Aceh-an masa kininya.
Sebuah buku yang menghimpun banyak kenangan “heritage” yang bersalin rupa menjadi pertokoan yang menggelegakkan perasaan bersalah kita terhadap kealpaan masa lalu untuk menggugat penghancuran “ikon-ikon” kota.
“Hkl” memang tidak ingin membawa perdebatan tentang pemusnahan “cagar” bangunan itu. Ia tidak membuat teks foto yang menggugat. Ia juga tidak ingin menuduh kesalahan sejarah ini, dalam penjelasan teks fotonya.
Pada suatu hari ketika kami dititipi buku itu dan dibubuhinya kalimat “bungong jaroe” ia berkata,”Ini karya saya yang tidak spektakuler Man.”
Ketika kami membuka halamannya ia dengan santun mengatakan,”Saya tidak menuduh siapa yang bertanggungjawab atas hilangnya “heritage ini .”
“Saya ingin memberitahu kepada anak negeri ini tentang tata ruang dan tata bangunan yang pernah kita miliki. Hanya itu,” kata “hkl” tanpa retorika.
Foto-foto dalam buku “Potret Sejarah Banda Aceh” memang tidak semuanya bisa dikatagori sebagai foto dengan “grafer” yang tinggi. Foto yang dihasilkan “hkl” lebih dekat kepada foto dokumentasi yang sahih.
Foto, yang diakui juga oleh “hkl” datang dari pilihan “frame” dokumentasi. Foto yang ia dipilih dokumetasi foto berita yang pernah dipublikasikan. Dan bagi kita itu tidak penting dari mana datangnya.
Yang penting ia telah menghasilkan sebuah “sejarah” dari ke “Koetaraja”an masa itu. Ke “koetaradja”an yang telah dijungkirbalikkan oleh keusilan pentaan kota yang kemudian di musnahkan oleh gergasi laut, gempa dan tsunami delapan tahun lalu.
“Hkl” memang telah memberi sesuatu dalam perjalanan karir kewartawanannya. Karir yang ia mulai ketika menjadi amatiran di koran lokal, Swadaya di permulaan tahun tujupuluhan.
Karir kewartawanan ketika ia mulai menulis “news” secara lokal. Dan karir ketika ia melanjutkanir ke koran regional, “Analisa,” terbitan Medan, hingga kini yang menampung hasyrat besar dari potensi fotografi dan tulisan “feature” yang memakai nama “ay. memet.”
Tak banyak lagi orang yang bisa mengingat karya-karya “hkl” ketika Aceh tak memiliki surat kabar harian yang terbit kontinu. Dekade ketika jurnalistik di Aceh mencari tempat pesemaian karyanya ke Medan atau Jakarta.
Dan di dekade itu lah kami tahu siapa “hkl.” Dan dari dekade itu pula kami membangun persahabatan dan komunikasi intens dengannya. Komunikasi berawal ketika “hkl” telah jadi “orang.” Memiliki kearifan dari keberpunyaan yang tidak menjadikannya seorang “jumawa.”
Kearifan yang sering kami tertawakan kepada diri sendiri ketika di “klakson” dari sedan “holden” BL 6464 yang sangat mewah untuk zamannya.
Klakson dari seberang Jalan Perdagangan ke arah lantai dua pertokoan tempat kantor Swadaya berada. Klakson pertanda ada makan malam berdurasi nasi minang, yang oleh Hasyim KS, salah satu sohibnya yang kini sudah almarhum, dibisikkan, “makan malam kita sudah aman.”
Makan malam, yang terkadang ditraktirkan “hkl” dari honor tulisan dan fotonya. Makan malam yang juga selalu diplesetkan Hasyim sebagai “khauri” penyelamat.
Menyelamatkan dari ketiadaan jadwal bersantap.
Rintisan karir kewartawan “hkl” memang telah merentang dalam hitungan tahun yang panjang. Perjalanan karir yang mengantarkannya mendapat piagam pengabdian sebagai wartawan senior dari PWI.
Hitungan tahun yang menyatukan tiga pekerjaan besarnya sebagai wartawan, pengusaha, kolektor benda-benda sejarah yan ia tekuni dengan kesadaran penuh tanpa harus menempatkan salah satunya sebagai yang utama. Ia menyebut tiga pekerjaan yang dilewatinya sebagai pilar eksistensinya sebagai anak negeri “indatu.”
Eksistensi yang tak pernah ia umbar dengan kesukariaan. Eksistensi yang ia katakan lebih sebagai kesukacitaan. Kesukacitaan yang melahirkan ketekunan yang membawanya menerima Piagam Anugerah Budaya atas jasa-jasanya sebagai penyelamat, pelestari dan pengembang warisan benda-benda budaya.
Harun Keuchik Leumiek, untuk menyebut namanya secara utuh, memang menjalani kehidupan di tiga pilar yang berbeda akarnya, tanpa harus mengabaikan perannya sebagai seorang ayah, suami dan kakek. Ia telah paripurna menjalani semuanya.
Keparipurnaan dari jejak usianya yang diambang tujuh puluh satu tahun. Jejak usia sejak 19 September 1942 ketika ia dilahirkan sebagai anak lelaki tunggal dari Haji Keuchik Leumiek dan Hajah Sapiah di sebuah desa pinggiran “koetaradja,” Lamsepueng.
Anak lelaki dari seorang pandai emas yang juga membangun bisnis toko perhiasan di Jalan Perdagangan yang kini sudah ia alihkan ke generasi ketiga.
Dan ketika kami datang ke tokonya di sebuah pagi ia memang tidak lagi “operasional.” Ia lebih banyak duduk di sebuah ruang dengan kesenangan untuk mengenang perjalanan hidupnya merawat “sejarah” negeri indatunya lewat mengoleksi benda-benda budaya sembari tetap membanggakan profesi kewartawanannya.