CEO dan salah satu pendiri WhatsApp, Jan Koum, tiba-tiba mengundurkan diri.
Dan ini menjadi berita heboh.
Meski tak diterangkan dengan jelas alasannya, sumber terkait menyebutkan lengsernya Koum adalah akibat pertikaian yang memuncak dengan induk perusahaan WhatsApp, Facebook.
Adalah media Washington Post yang menyatakan Koum tidak sepakat dengan berbagai strategi Facebook mengenai WhatsApp.
Apalagi Facebook berupaya memanfaatkan data pengguna WhatsApp dan memperlemah enkripsi WhatsApp demi meraup pendapatan, menurut sumber yang dikutip media tersebut.
Selain turun dari posisi CEO, Koum kabarnya juga berencana lengser dari dewan direksi Facebook. Sejauh ini, belum diungkap kapan pria kelahiran Ukraina ini mundur dan siapakah penggantinya.
Kabarnya, Koum sudah mengabari rencana lengsernya ini cukup lama pada para eksekutif senior di Facebook. Selain itu, dia juga sudah jarang muncul di kantor WhatsApp di markas besar Facebook yang berlokasi di Silicon Valley.
Seperti ditulis media hebat Washington Post, independensi dan proteksi data user adalah inti dari WhatsApp yang sejak lama ditegaskan Koum serta pendiri WhatsApp lain yang lebih dulu lengser, Brian Acton.
Meski pada empat tahun lalu WhatsApp dibeli Facebook senilai sembilan belas miliar dollar, keduanya menjanjikan WhatsApp takkan berubah.
Tapi namanya bisnis, Facebook tentu ingin WhatsApp menghasilkan uang, sesuai dengan investasi besar yang mereka keluarkan.
“Sebagian sukses Facebook adalah keberhasilan memonetisasi akuisisi dan mengintegrasikannya ke mesin iklannya,” sebut Daniel Ivers dari biro riset GBH Insights.
Namun sepertinya Facebook sulit menerapkannya ke WhatsApp karena pendirinya keras kepala. Sejak awal mereka tidak mau WhatsApp disusupi iklan, apalagi dengan memanfaatkan data penggunanya.
“Tak seorangpun terbangun dengan gembira untuk melihat lebih banyak iklan, tak seorangpun tidur dan berpikir iklan apa yang akan mereka lihat besok,” tulis mereka di blog WhatsApp.
Mereka sangat ketat pula menjaga privasi user dan hanya mengambil nomor ponsel serta berjanji takkan membagikan data apapun pada Facebook.
Namun kemudian, Facebook mengubah kebijakan WhatsApp sehingga perusahaan milik Mark Zuckerberg ini bisa mengakses data pengguna WhatsApp, dari nomor sampai ponsel dan OS apa yang digunakan.
Konflik makin menjadi setelah WhatsApp makin ditekan untuk menghasilkan uang.
Selain itu, keamanan WhatsApp yang dibalut enskripsi ketat sehingga hanya pengirim dan penerima yang bisa membacanya, diusulkan untuk diperlemah agar pebisnis lebih mudah menggunakannya.
Mungkin Koum sudah tak tahan lagi sehingga akhirnya lengser mengikuti Acton yang lebih dulu melakukannya pada akhir tahun lalu
Keputusan Jan Koum hengkang dari WhatsApp memang mengejutkan. Bagaimana tidak, layanan pesan instant yang dirintisnya ini sudah membesarkan namanya dan membuatnya kaya raya. Menarik menyimak kembali kiprah Koum di WhatsApp.
Tak berlebihan jika mengatakan WhatsApp adalah layanan messaging yang fenomenal. Lahir tahun 2009, laju WhatsApp sukar dihentikan. Rasanya hampir semua pengguna smartphone saat ini menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi.
WhatsApp memang bukan layanan messaging pertama, tapi beberapa keunggulan dan inovasi membuatnya cepat melesat. Cukup dengan nomor telepon, pengguna bisa menambah kontak. WhatsApp juga mudah digunakan dan bebas dari iklan yang mengganggu.
WhatsApp adalah gagasan brilian dari duet Brian Acton dan Jan Koum.
Kisah Jan Koum yang lumayan berliku-liku sepertinya layak disimak sebagai sebuah inspirasi. Dalam usianya yang relatif muda, ia telah meraih segalanya berkat WhatsApp.
Koum lahir dan dibesarkan di sebuah desa di Ukraina, sebuah negara di Eropa Timur yang saat ini dilanda prahara politik. Ayahnya seorang manajer konstruksi dan ibunya tidak bekerja.
Saat itu, Ukraina juga dilanda gejolak politik. Hidup tidak mudah bagi keluarga Koum, terlebih mereka keturunan Yahudi.
Orang tua Koum jarang menggunakan telepon karena takut disadap dan bisa berakibat buruk. Tidak banyak yang bisa dilakukan saat itu. Fasilitas di desa juga seadanya.
“Sekolahku tidak punya kamar mandi dalam. Bayangkan musim dingin yang menusuk di Ukraina, cuacanya minus dua puluh derajat celcius, anak-anak harus mengantre di luar untuk menggunakan kamar mandi,” kata Koum mengenang.
Pada tahun sembilan puluh ketika Koum berusia enam belas tahun, ia dan sang ibu berimigrasi ke Mountain View, Amerika Serikat. Langkah ini dipandang paling aman karena gejolak politik dan gerakan anti Yahudi makin besar di Ukraina.
Ayahnya berencana segera menyusul, namun sayangnya tidak pernah kesampaian. Ia meninggal dunia di tahun di dua puluh satu tahun lalu.
Di Amerika Serikat, keadaan Koum dan ibunya tidak serta merta membaik. Mereka masih hidup kekurangan. Ibunya bekerja sebagai pengasuh bayi dan Koum kadang menyapu toko untuk mendapat upah.
Begitu miskinnya mereka sehingga harus hidup dengan makanan subsidi pemerintah. Mereka tinggal di apartemen dengan dua kamar tidur yang juga dibiayai pemerintah AS.
Cobaan kembali datang setelah ibu Koum didiagnosa menderita kanker. Sang ibu akhirnya meninggal dunia di delapan belas tahun silam.
Koum sejak remaja sudah bisa berbahasa Inggris dengan baik sehingga memudahkannya sekolah di AS.
Namun mungkin karena kurang bisa menyesuaikan diri, dia dikenal sebagai anak nakal di sekolah dan sering terlibat perkelahian. Posturnya yang tinggi besar membantunya mempertahankan diri.
Meski bandel, Koum adalah bocah yang pintar. Pada usia delapan belas tahun, dia berinisatif untuk belajar networking komputer secara otodidak. Dia juga bergabung dengan klub hacker berjuluk w00w00.
Setelah lulus SMA, Koum diterima di San Jose State University. Sambil kuliah, dia bekerja sambilan di beberapa tempat, antara lain sebagai pengujicoba sistem sekuriti di Ernst & Young.
Setelah ibunya meninggal di tahun dua ribu, Koum menjadi yatim piatu. Koum pun merasa kesepian. Beruntung, ia terus didukung oleh Acton. Mereka sudah menjadi sahabat karib.
“Dia sering mengundangku ke rumahnya,” kata Koum. Mereka sering melakukan aktivitas bersama-sama.
Bersama sama pula Koum dan Acton menyaksikan jatuh bangun Yahoo, tempat mereka bekerja. Acton sempat pula berinvestasi di perusahaan internet pada tahun dua ribuan, namun menuai kegagalan dan rugi besar.
Semasa bekerja di Yahoo, Koum sempat bekerja di proyek iklan dan ia membencinya. “Menangani iklan itu bikin depresi. Anda tidak membuat hidup seseorang menjadi lebih baik dengan iklan,” katanya. Mungkin inilah alasan WhatsApp bebas iklan.
September 2007 dengan berbagai pertimbangan, Koum dan Acton sepakat meninggalkan Yahoo. Selama setahun, mereka bersenang senang dan berwisata ke Amerika Selatan.
Kemudian keduanya melamar kerja di Facebook. Sayang sekali, keduanya menerima penolakan. Padahal suatu hari nanti, produk mereka begitu diminati Facebook dan dibeli triliunan rupiah.
Pada Januari sembilan tahun lalu, Koum membeli iPhone. Ia kemudian menyadari toko aplikasi App Store akan menjadi bisnis yang besar. Mendadak ia punya ide menarik.
Suatu hari, dia ikut berkumpul di kediaman pria bernama Alex Fishman, di mana tiap minggu, komunitas orang Rusia berkumpul di sana. Koum mengobrol soal ide mentahnya mengenai cikal bakal WhatsApp.
“Jan menunjukkan padaku buku alamat kontaknya di telepon. Dia pikir akan keren jika bisa memiliki status di samping nama individu,” kata Fishman. Status itu akan menunjukkan apakah individu itu sedang sibuk, baterainya hampir habis atau sedang berada dalam gim.
Koum kemudian menemukan nama program tersebut, yaitu WhatsApp yang terdengar familiar seperti kalimat whats up. Seminggu kemudian, Koum mendirikan perusahaan WhatsApp Inc di California. Aplikasi itu sejatinya belum dibuat, namun dia nekat jalan terus.
Koum menghabiskan waktunya melakukan kode untuk sync aplikasi dengan nomor ponsel di seluruh dunia. WhatsApp versi awal pun jadi. Namun demikian, aplikasi itu belum sempurna dan sering crash. Saat peluncurannya, hanya ratusan jumlah download, kebanyakan teman teman Fishman dan Koum sendiri.
Koum hampir saja berhenti di tengah jalan dan berniat mencari pekerjaan saja. Namun Acton mencegahnya, ia melihat potensi besar WhatsApp.
“Kamu idiot jika berhenti sekarang. Berikan waktu beberapa bulan lagi,” kata Acton ketika itu.
Koum pun jalan terus meski ragu-ragu. Pertolongan kemudian datang dari Apple yang meluncurkan push notifications di Junia
Fitur ini memungkinkan Koum memodifikasi WhatsApp sehingga setiap kali pengguna mengubah status, otomatis mengabarkan pada setiap orang di jaringan.
“WhatsApp kemudian menjadi instant messaging,” kata Fishman. Jan menyadari ia telah menciptakan WhatsApp sebagai instant messaging baru dari sebelumnya hanya ditujukan sebagai aplikasi untuk update status di kontak
Saat itu, layanan messaging populer yang menjadi pesaing hanya BlackBerry Messenger, namun kelemahannya terbatas hanya bisa digunakan di BlackBerry. Koum kemudian merilis WhatsApp dengan fitur messaging dan jumlah penggunanya naik menjadi dua ratus lima puluh ribu.
Potensi WhatsApp membuat Acton semakin tertarik. Ia berhasil menarik pendanaan dari lima orang mantan karyawan Yahoo. Acton pun bergabung secara resmi dan bersama Koum, mereka memiliki saham WhatsApp enam puluh persen.
WhatsApp pun kemudian dibuat untuk bermacam platform populer termasuk iPhone, Android dan BlackBerry. Mereka memilih metode aplikasi berbayar dan akhirnya mampu menuai pendapatan lima ribu dollar per bulan di delapan tahun lalu.
Pada Desember, WhatsApp untuk iPhone bisa dipakai untuk mengirim foto.
Kemudian semenjak itu, pertumbuhan user WhatsApp tak terbendung.
Koum sendiri masih terkesan malu malu dan tak mau mempublikasikan WhatsApp secara berlebihan. “Marketing dan media membuat Anda malah tidak fokus pada produk,” kata Koum.
Kesuksesan luar biasa WhatsApp membuat investor berdatangan ingin berinvestasi. Akhirnya Koum dan Acton memutuskan untuk menerima pendanaan senilai delapan juta dollara dari Sequoia.
Pada bulan Februari lima tahun silam jumlah pengguna WhatsApp sudah tembus dua ratus juta dan terus tumbuh.
Potensi WhatsApp yang luar bisa membuat Facebook dan Google berebut meminangnya. Akhirnya, para pendiri WhatsApp setuju dibeli Facebook senilai sembilan belas miliar dollar.
Koum pun bisa tertawa lebar. Kerja keras dan hidupnya yang penuh perjuangan sudah berujung kesuksesan berkat WhatsApp.
Kekayaan Koum yang memiliki empat puluh lima persen saham WhatsApp diperkirakan melonjak jadi enam koma delapan miliar dollar.
Kendati sudah dibeli Facebook, Koum berjanji WhatsApp tidak akan banyak berubah. Dan tidak akan dimasuki iklan.
“Tiada yang lebih personal dari komunikasi yang Anda lakukan dengan teman dan keluarga, dan menginterupsi hal itu dengan iklan bukan solusi yang tepat,” tutur Koum.
“Lagipula, aku tumbuh di sebuah dunia yang tak kenal iklan. Tak ada iklan di Uni Soviet yang komunis,” imbuhnya.