Inilah Penayong di awal menjadi pecinaan Banda Aceh ketika Belanda memberi tempat hunian permanen bagi mereka yang didatangkan dari Kwangtaung sebagai “koeli” untuk tentara Hindia Belanda
Sebaris toko, di belokan ujung jalan Yani arah jalan Supratman, bergaya klasik, campuran “hongfu” dan “kek” itu masih berdiri kukuh. Tiang beton dikakilimanya, “trade mark” bangunan pecinan masa kolonial, menyangga lantai papan langit-langitnya, belum terusik oleh renovasi.
Bahkan jendela susun sirih di lantai atas, yang complang dimakan usia, tetap dipertahankan sebagai penguat keasrian komunitasnya.
Keasrian warisan perantau hongfu, Kek dan Hokian, dari cina selatan, yang datang sebagai koeli di zaman kolonial. Koeli yang membangun hunian ekslusif tanpa mencampakkan akar budaya leluhurnya, dan memelihara semua tetek bengek kebiasaan moyangnya dengan sandaran falsafah “kong hu cu”isme.
Lihatlah sisa bangunan di Jalan Jambi, Jalan Kartini dan Jalan Yani yang masih utuh dan setengah utuh. Letaknya simetris. Lurus memanjang. Mengingatkan kita pada pesan “fengshui” yang mengutamakan asas keselarasan.
Asas kepatuhan terhadap arah bangunan, tingginya pintu, jumlah jendela, letak dapur dan segala macam remeh temeh tempat pedupaan untuk mengalirkan kesinambungan spritual kehidupan dan kematian.
Harmoni. Itu kata kunci dari “fengshui,” ala cina Kwangtung. Harmoni untuk memelihara kehidupan di rantau. Rantau kampung pecinan. Kampung di timur Krueng Aceh. Kampung Penayong
Penayong memang kampung cina di timur Koetaradja. Kampung memanjang bersegi empat dari ujung jalan Chairil Anwar, jalan A Yani, Panglima Polem hingga batas kampung Mulia.
Kampung yang kisi-kisinya memintasi jalan Teluk Betung, jalan Jambi dan membelah gang hunian dengan tumpukan rumah tinggal di selangkangnya. Sebuah pemandangan unik dari sisa masyarakat perantauan yang tertutup.
Itulah Penayong. Kampung cina yang berpijar ketika Hon Kap masih berkuasa sebagai “kapiten der chineezen” dan mengapling kebun Mulia, kebun Laksana dan kebun Keuramat.
Kebun yang populer dengan nama kebun cina dengan tumbuhan jeruk bali, sayur sawi, kandang babi dan kebun kelapa di ujungnya. Kebun cina, yang kemudiannya, menjadi perkampungan padat seusai “amok” ‘66. Amok yang menceraiberaikan anak turunan “kek” ini.
Siapa yang tak berdecak melirik rumah si kapiten Hon Kap, namanya Hon karena ia seorang kapiten maka dibelakang namanya di sambung dengan “kap,” di jalan Panglima Polem, sekarang toko penjualan Suzuki, yang gerbangnya dipajangi dua patung singa, khas rumah pemuka cina zaman itu, sebagai lambang keperkasaan. Kapiten mengayomi komunitas perkauman.
Mematikan pembangkangan dan mengatur lancarnya arus tradisi sembari merogoh kantong kaumnya atas nama “belasting” sebagai harga keamanan .
Kapiten, yang diangkat atasnama kebijakan kolonial berdasarkan strata kota menurut ukuran penduduk dan mobilitas perekonomian, untuk mengatur perkauman, mendapat dispensasi memelihara “centeng” guna melanggengkan kekuasaan serta dibiarkan menumpuk harta untuk membeli kehormatan sebagai sesepuh dalam memutuskan hitam-putih sengketa di antara puak.
Penayong tidak hanya otoritas kapiten. Ia adalah bagian dari denyut Koetaradja, kini dan dulu, secara keseluruhan. Denyut heteroginitas kota tua, usai penaklukan Belanda di tahun 1873, yang mengundang kemajemukan puak, tradisi bahkan agama.
Kemajemukan yang memberi ruang bagi domisili cina, misalnya, di tanah “Peumayong.” Tanah perlindungan milik kadi besar Malikul Adil. Tanah, yang kemudiannya, terpeleset di lidah “kek” menjadi Peunayong.
Tak banyak petunjuk benderang kapan Peumayong atau Penayong mulai di bangun.
Yang jelas tanah hibah sultan untuk kadi besar ini, menurut catatan sejarah kerajaan Aceh, pernah menjadi bagian keramaian pelabuhan, ketika Lampulo, Kampung Pande dan Peulanggahan masih berkibar sebagai pusat perdagangan internasionalnya Iskandarmuda dengan loji-loji memanjang dan berhimpitan sepanjang sungai.
Jejak permulaan sejarah Penayong menjadi komunitas pecinaan memang sulit untuk ditelusuri sampai menukik. Sebuah plakat di dinding samping bekas toko Pelangi, jalan Supratman, diprakarsai tim bustanussalatin, usai humbalang laut tsunami mengayak kota kerajaan ini, tak benderang amat memberi petunjuk. Sumir dan hanya prakiraan yang tidak membantu akses penelusuran sejarah pecinan itu sendiri.
Plakat di atas kepingan tembaga, yang diberi tonjolan semen hitam bertabur kerikil halus itu, kini, terkepung iklan operator telepon seluler “3” sepenuh dindingnya, tak secuilpun membuka tabir keberadaan kampung cina itu.
Catatan ringkas itu hanya menginformasikan tentang kawasan pinggiran Krueng Aceh, di timur kota, pada abad ke-17 telah menjadi alur perdagangan. Krueng Aceh menjadi lalu lintas kapal dagang, waktu itu, tulis plakat hasil kerjasama proyek bersama BRR itu, termasuk dari cina. Informasinya berhenti sampai di situ.
Sebuah informasi, mungkin, dicantelkan pada catatan sejarah persahabatan kerajaan Aceh Darussalam dengan Cina, yang di tandai souvenir lonceng “cakradonya,” sebagai simbolnya. Bukan informasi utuh dari domisili koeli Kwangtung di tanah Penayong.
Tak ada penegasan tahun awal pemukiman. “Plakat itu tak profesional. Padahal mereka mencantumkan nama sebuah tim,” ujar seorang cina tua kepada penulis dengan meradang. Perkiraan abad, menurutnya, sangat relatif dan kabur. Seharusnya mereka mencantumkan tahun dan tapak pertama dimana pancang sebuah bangunan bersejarah didirikan.