Site icon nuga.co

Dodent Terumbu Karang

DODENT, sebuah nama “keren” di pelataran senyap  untaian taman laut Iboh-Rubiah-Gapang. Nama yang dicatatkan dibanyak “web, blog” dan “email” komunitas “dive” dunia.

Nama yang tak bisa dikelupas di pantai Iboh, Gapang dan Rubiah. Nama, yang kini terpahat di langit “arash” dan hidup di banyak memori.

Dodent, memang suah legenda, ketika komunitasnya merajut kenangan untuk mengenang.

Kenangan ketika  gempa 9,3 skala richter dan “humbalang” laut, tsunami  dahsyat, menerjang Aceh,  26 Desember 2004,  yang merontokkan terumbu karang dan memorak-porandakan “kerajaan” bisnisnya,  “home stay,” perahu  “pesiar” berlambung kaca, “dive shop”  serta  meraibkan bongkahan peralatan selamnya, Dodent hanya tertawa kecil ketika suratan hidupnya  mengembalikan dirinya menjadi pengangguran.  “Miskin.”

Untuk itu, kepada seorang reporter sebuah jaringan televisi yang menemuinya untuk melaporkan hasil investigasi  kerusakan terumbu karang Rubiah dan Iboih  pasca gempa dan tsunami beberapa tahun lalu,  serta memintanya menjelaskan bagaimana perasaannya  kehilangan banyak investasi, Dodent dengan ekspresi dingin dan acuh, tanpa mempedulikan arah  sorot lensa kamera, berujar cuek,”tidak ada yang hilang, saya  tidak pernah  memiliki apa-apa, dulu maupun kini.” Sebuah ucapan yang menyergap, dan membuat sang reporter gagap dan kehilangan “tone.”

Pasca gempa dan tsunami, lelaki “miskin” yang tak pernah  merasa “memiliki apa-apa” itu, tak patah arang. Cerita unik bertabur seputar  pribadi “kontroversial”nya,  ketika ia membangun “patung”  dari sisa  rongsokan komputer  miliknya di Iboih.  Ia juga menunda memungut limpahan  rezeki  dari “booming” turis pasca rekonstruksi Aceh, dan lebih  asyik menyedekahkan isi kantongnya, hasil meng”guiden”  kecil-kecilan untuk  menanam terumbu karang  yang dilekatkan pada cetakan semen berhuruf “T” di dasar laut Gapang, Iboih dan Rubiah.

Padahal, menurut seorang sahabatnya, Dodent bisa saja menimba duit berlimpah ketika itu dengan cara “menjual” Iboih dan Rubiah di kalangan ekspatriat berlabel “NGO.” Dia tidak melakukannya. “Ia membatasi kedatangan turis dan lebih asyik memijah terumbu karang untuk memberikan rumah tinggal yang nyaman bagi ikan warna-warni dari pada menebarkan promosi Iboih dan Rubiah,” kenang sang sahabat.

Pijahan terumbu karang ini, kemudiannya, menjadi pembicaraan ramai dikomunitas “scuba diving” karena proses kehidupannya yang  sangat cepat. Padahal banyak keyakinan yang beredar di lingkungan mereka kerusakan terumbu karang Gapang,  Iboih dan Rubiah  membutuhkan bertahun bertahun-tahun untuk bisa eksis kembali, seperti sebelum gempa dan tsunami.

***

Sejak awal pengenalannya dengan Gapang, Rubiah dan Iboih, Dodent, sejatinya, seorang  “single fighter.”  Tak ada kawan. Tak ada kelompok. Kerjaannya serabutan. Tidak tahu  pangkal tempat memulai dan tidak pernah tahu ujung yang akan dituju. “Saya hanya berguru kepada alam yang terbentang. Anugerahnya ini yang membangkitkan kegairahan saya,” katanya dikesempatan lain.

Untuk mengenang masa awal, suatu hari, lelaki dengan dialek  Aceh yang  masih kelat menempel dilidahnya itu,  mengungkapkan kerjaannya sebagai “pemulung” sampah di sepanjang pantai  Iboih dianggapnya sebagai kegilaan.  Pekerjaan “gila” yang memberi kenikmatan karena mendapat acungan jempol setiap  turis bule. Mereka menganggap saya sebagai pribumi setengah sinting, karena tak ada pemuda lokal yang mereka temui se”gila” saya.

Kegilaan yang ditertawakannya sendirian  ketika  sebuah  koran terbitan Medan  menulis untuk pertama kali tentang profilnya, hasil tulisan reporternya di Sabang Tulisan  yang menyebutnya, “Dodent si “gila dari Iboih.” Lelaki itu tak pernah marah membacanya, karena itulah perstiwa pertama ia “masuk” koran.  “Biasanya yang ditulis kan profil pejabat atau tokoh sukses,” ujarnya tertawa.

Dia mengiyakan kesintingan itu  dengan komentar,”kan hanya orang gila yang mau jadi pemulung pantai,  atau menyelam di terik matahari siang sembari menghitung jenis terumbu karang serta mencatat jenis ikan beserta rumah karangnya. Saya termasuk jenis orang itu.”  Kalimat “nyentrik” itu diucapkannya dengan nada datar tanpa retorika. Kalimat lugu, yang dikenang banyak temannya, sebagai kelurusan pekertinya. Bukan untuk  pengakuan atas rintisannya sebagai pionir pengenalan taman laut Rubiah dan Iboih. Atau pun sebagai aksentuasi dirinya sebagai pribadi yang mengantarkan Gapang, Iboih dan Rubiah ke pentas dunia taman laut. “Tidak,” kata Dodent lugas.

Dodent memang merangkak dari bawah ketika turis bule yang datang ke Rubiah dan Iboih masih menjadi tontonan karena memakai pakaian minim di lepas pantai Gapang. Tontonan yang menjadi gosip panjang hingga ke Banda Aceh, kala itu, yang diplesetkan sebagai, “pelem porno Gapang.”

Kala itu memang terjadi “tabrakan” budaya yang membuat kabar “geger” dan proses akulturasinya sedang membuat langkah awal. Dodent sendiri sempat risih mendengar celotehan ini. Ia sempat dituduh ingin menghancurkan kultur Islami. Tuduhan yang dijawabnya dengan gurauan,” kan tidak mungkin kita menyuruh turis bule mandi dengan kain sarung.” Turis  sporadic yang jumlah  masih hitungan jari itu pernah juga mengeluh karena tak nyaman jadi tontonan.

Baik di Gapang, Rubiah dan Iboih belum ada penginapan permanen. Hanya di Gapang, ketika itu, terdapat kamar ganti darurat  berbentuk bangunan petak di celah kebun kepala yang berfungsi sebagai tempat ganti dan menyiram badan para turis membersihkan  kristal asin uap air laut.

Perjuangan terberat Dodent di awal kisah kasihnya  di “sekolah” Rubiah dan Iboih datang dari “perompak” terumbu karang dan ikan hias yang membawa surat berkop resmi. “Perompak” bersenjatakan mesiu peledak dan “bius” untuk menghancur terumbu karang serta  obat “lelap” untuk ikan hias. Mereka, umumnya, berkantong tebal  dengan sebutan “toke” untuk membungkam pejabat dan  membayar “preman” penyelam atas nama komoditi dan devisa.

“Perompak” ini membentangkan rantai kepentingan bisnisnya mulai dari Bangkok, Kuala Lumpur maupun Singapura dan meminjam  tangan toke di  Banda Aceh yang berinvestasi dengan peralatan selam canggih Mereka, ketika itu, beroperasi mulai dari pulau ke pulau di  Kepulauan Aceh hingga menyusuri pantai  Weh, sejak dari Balohan hingga ke Rubiah memakai “speedboat” bermesin “Yanmar”  100 PK yang memerlukan waktu berlayar 30 menit mencapai Iboih dari Kuala Aceh..

Ujung kepentingan mereka hanya untuk mengisi “kolam” akuarium  orang kaya yang  dengan memindahkan karang terbaik dan ikan hias untuk kesenangan obat stress penekan tensi darah.

Orang semacam Dodent, kala itu, hanya bisa  lunglai menghadapi kawanan “rompak”  terumbu karang itu.

Perlawanan justru datang dari para komunitas “diving” yang menggunakan suratkabar prestise “Bangkok Post” di Thailand dan “The Strait Time” di Singapura untuk menuliskan laporan investigasi kejahatan perdagangan terumbu karang dan ikan hias. Kejahatan lingkungan yang pada waktu itu sedang “trendy” di banyak negara.

Bisnis ini, akhirnya, memang terkapar karena para importir di luar negeri menolak ekspor komoditi ini.

***

Diujung usianya, Dodent pernah menyebut, sebagian tugasnya menularkan pelestarian terumbu karang, terutama di Iboih dan Rubiah sudah selesai. Tugas berat sebagai “guru,” pengganti kata  instruktur, atas pekerjaan ”edukasi”nya selama puluhan tahun, telah menemukan kesadaran kolektif. Dimana-mana orang memerangi perusakan terumbu karang lewat pekikan, demonstrasi maupun “pressure” kicauan di “twitter, bahkan mengisi laman “facebook.”

Juga, dimana-mana, lahir bayi LSM lingkungan, walau ada yang usianya tak sampai melewati masa balita, dan tak tahu “segmentasi” pasar kerjanya. LSM yang menggiring program birokrasi berjalan searah dengan kepentingan keseimbangan alam. Kepentingan setelah berantakannya terumbu karang di banyak tempat dan terdegradasinya kehidupan nelayan pantai karena akibat bermigrasinya kakap, tenggiri maupun gabus.

Bagi Dodent, semua ini adalah romantisme. Romantisme pasca “booming” lembaga swadaya lingkungan  untuk mendinamiskan  keinginan banyak orang untuk mencari panggung jati diri.  Panggung untuk bersorak, terkadang dengan suara “fals,  tanpa tahu makna teriakannya.

Dodent hanya tertawa geli mengingat semua ini, seperti juga masyarakat selam lainnya. Tertawa melihat banyolan di panggung yang lucunya tidak tersetting. Dan dikomentarinya dengan dua kata, “biarlah  saja.”  Yang penting panggungnya jangan sampai  roboh.

Dodent kelahiran ……..1952, sampai hari terakhir hayatnya di usia 58 tahun, berupaya  menjaga panggung itu tidak roboh, dengan  kerja nyata memelihara kelestarian terumbu karang. Ia menghindar masuk area hura-hura dan “dugem” gosong itu dengan memilih berada di bibir tubir bersama “geng”nya.

“Kerja saya sudah selesai. Telah lahir generasi baru dengan dedikasi tinggi.”

Exit mobile version