Saya baru tahu komunitas gapang-iboh-rubiah itu begitu membludak. Baru tahu usai tulisan “kokas rubiah” up di “kolom bang darman.” Tulisan hasil jamuan seorang teman penikmat gapang-iboh-rubiah.
Penikmat yang bukan abal-abal. Penikmat yang travelnya katagori ekstrim. Ekstrim sebagai pemanjat tebing, yachting, marathon eksklusif bahkan sky salju.
Teman yang dompetnya tebal. Bisa membeli paket liburan ekslusif yang bayarannya ahhh… bukan untuk makan ayam pramugari di blang bintang. Bayarannya yang bisa menguras kartu kredit saya.
Ia juga teman yang menggabungkan travel gapang-iboh-rubiah satu paket. Paket diving, snorkeling dan yachting. lewat pesawat carteran susi air milik Susi Pujiastuti yang mantan menteri kkp.
Saya nggak ngerti tentang paket-paket itu. Saya hanya tahu gapang ya.. gapang, iboh ya.. iboh dan rubiah ya,,, rubiah.
Tiga rantai travel yang bagi saya murah meriah lewat ulee lhue dengan kapal cepat, sewa mobil jam-jaman dan nginap di hotel yang nggak punya bintang.
Dari sang teman itulah saya baru tahu dan diberitahu membludaknya komunitas gapang-iboh-rubiah. Tahu setelah saya men”share” tulisan kokas rubiah yang di up ke komunitasnya.
Up yang bertali-tali dan panjang rantai komentarnya Dan terima kasih untuk junior saya dulu….dulu sekali… nasir nurdin… yang memberi saya kolom untuk menulis apa saja. Apa saja “kokas rubiah.”
“Kokas rubiah” ini pun menjadi terima kasih saya untuk sang teman, pemilik consultan tax and biznis, yang jamuan hebatnya di kota kasablanka mengimpaskan honor tulisan kokas rubiah…. Hahaha…..
Selain tahu tentang jubelan komunitas gapang-iboh-rubiah, saya tahu pula ada pilahan dari tiga rantai travel di weh itu. Pilahan gapang saja.. iboh saja… dan hanya rubiah..
Bukan pilahan ala Mahfud Md tentang kasus pencucian uang di kementerian keuangan. Yang agregatnya bikin gaduh karena saling tanding data dan angka. Saling balas di twitter. Yang belum ada kata putusnya.
Pilahan gapang-iboh-rubiah plass… tuntas… Tak ada dakwa dakwi atau ancam mengancam. Tinggal pilih gapang atau iboh atau pun rubiah. Masuk ke komunitas whatsapp. Bla..bla.. bla… cerita berbaginya. asiikk
Komunitas pilahan senang-senang. Yang anggotanya berjubel ….banyak…banyak sekali. Bukan sekali banyak lantas hang….
Salah satu anggota pilahan itu datang dari komunitas Iboh. Ia menyapa saya pagi tadi.Menyapa karena senang saya menulis “kokas rubiah.” Yang ia dapatkan sharenya di komunitasnya,
Komunitas yang anggotanya teman kasablanka saya. Yang nomor hape saya ia dapatkan dari sang teman. Sang teman yang saya candai usai bla..bla..bla sudah mencederai privacy. Ahhh nggaklah….
Namanya penyapa itu Yustinus. Saya tak berani lanjutan tambahan. Ia seorang top manajer disebuah perusahaan capital investment. Cina n-jowo. Asal semarang.
Yang aksen cinanya sudah raib dan tinggal jowonya yang kelat. Sekelat lidah aceh istri saya dulu yang karatannya lama sekali bisa dikikis.
Yang karatnya sekarang tinggal dua puluh empat. Seperti karat emas perhiasan harun keuchik leumiek. Tapi dari oralnya masih menyisakan asal muasal trahnya. Wkwkwk….
Yustinus sebelum sapaan di pagi itu tak pernah mengisi diary book pertemanan. Makanya diawal sapaannya saya saya damai saja. Hanya sebatas kenal. Kenal usai ia mendapat share “kokas rubiah.”
Sapaannya sejuk. Tapi sejuk makan dalam. Makan dalam karena berani minta saya menuliskan tentang iboh. Ia memang anggota komunitas iboh. Lantas permintaannya saya ledek: “ada jamuannya nggak.”
Ia terbahak…. Terbahaknya menyebabkan saya tersedak. Sadar kalau hanya jamuan kan kecilnya baginya. Saya tahu duitnya se”uncang.” Ia terus meledek saya di pagi itu. “Ini kan hari puasa bung.”
Saya tertawa dan dia menambahkan,”usai puasa so pasti gua jamu.” Lanjutnya ia minta saya untuk menempatkan kuplet tulisannya di catatan iboh yang saya up nanti.
Saya menunggu datangnya kuplet itu dan inilah tulisannya yang asapnya sangat puitis:
Iboh… matahari terik di hari akhir pekan keempat desember. Awan hujan baru saja berlalu.
Bentangan laut menarikan riak kecil dari ombak yang patah-patah. Angin timur yang lembut menggoda para “dive” dan “snorkel” amatiran menceburkan diri dan berkecipak dengan siri karet hingga ke tubir laut.
Iboh dihari cerah itu menjalarkan birahinya hingga ke ubun-ubun saya untuk dipeluk, direnangi dan diselami.
Pilinan terumbu karangnya yang hancur dan tercerai berai pada waktu gempa dan tsunami kini tumbuh dan membentuk hutan bawah laut.
Ikan-ikan, ketika kami datang, sudah punya rumah karang untuk berbiak.
Adalah sebuah nama yang bisa dilekatkan dengan restorasi terumbu karang Iboh. Dodent.
Ya Dodent, lelaki bernama hakikah Mahyudin, yang beberapa tahun lalu sudah berangkat ke “arash,” dengan semangat luar biasa menernakkan terumbu karang.
Di Iboh, lelaki yang memilih hidup “miskin” sampai ke ujung hayatnya itu, beternak, menanam dan memelihara anakan terumbu karang setelah cerai berai dihancurkan “humbalang” laut, tsunami
Tidak banyak orang yang tahu tentang upaya Dodent, anak otodidak untuk kemudian di gelar di habitatnya sebagai “professor” kecil.
Profesor kecil usai belajar mengawetkan terumbu karang sejak dari Phuket, Maladewa hingga ke Pasifik dan mahir menghafal nama coral dan fishing beserta kehidupannya.
Bahkan ketika saya “ziarah” dan menyebut namanya bersemangat banyak orang tidak tahu kegiatannya ini karena tak ada sisa proposal di tumpukan meja amtenaar itu..
Juga tak ada jejak glamour untuk mengenangnya secara berlebihan akibat minimnya ekspose tentang karyanya, sebab dia tak pandai bikin “press release.”
Yang ia tahu adalah membesarkan tanaman bawah laut dengan “species” yang kayanya minta ampun ragamnya hingga menghasilkan pesona dalam decak kagum para petualang seperti saya.
“Species” terumbu karang, rumput laut dan ikan warna warni yang tak terhitung banyaknya dan kalau dikeroyok potensinya akan menghasilkan banjir dollar dan euro atau yen bagi anak weh
Saya kecewa banyak komunitas dive, snorkel mengalpakan Iboih di djajaran sepuluh taman laut terindah yang pantas disambangi di tanah air.
Iboh di degradasi dari Bunaken, Raja Ampat, Pulau Komodo, Laut Banda, Karimun Jawa hingga Wakatobi,
Saya sering mendamprat di laman “facebook” serta berkicau dengan nyaring di twittermtentang “spam” informasi taman laut yang meminggirkan iboh”
Itulah tulisan Yustinus. Kuplet tulisan yang mengalahkan news para jurnalis.Mengalahkan tulisan saya sendiri yang sering di jargonkan “ringan dan berisi” Terima kasih anak iboh. Yustinus.
Tidak hanya Yustinus. Di hari sebelumnya saya juga disapa oleh seorang anak manado yang menyebut namanya Ivan Sandurayang. Ia seorang “account” manajer pada perusahaan perminyakan
Kepada saya ia mengatakan seorang anggota komunitas iboh. Sering hilir mudik menenteng peralatan selamnya ke iboih setiap cuti tahunannya
Sering jengkel pada media yang tidak mencantumkan sudut weh itu. Ia menulis di whatsapp grupnya dengan nada marah:” busyet, ini penipuan terhadap anugerah dan jangan pernah kita maafkan.”
Marahnya “account” manajer itu bisa tepat, bisa juga meleset. Laman situs “website” prestise itu belum tentu salah seratus persen. Otoritas weh, sebenarnya, yang seharusnya memikul tanggungjawab kesalahan ini.
Kalau tak percaya, coba tanyakan apa yang monumental yang telah dikerjakan birokrat mereka, selain membuat “seremonial” untuk konsumsi berita dan kemudiannya mengumpulkan kuitansi kosong yang belum berisi angka rupiah
Kwitansi untuk ditebus dari kas pemerintah kota. Entahlah….entahlah juga, ketika Iboih tak menginginkan kalungan bunga seremonial.
Lokasi ini hanya menginginkan rupiah lebih banyak untuk menduniakannya lewat fasilitas infrastruktur kelas satu.
Infrastruktur jalan beraspal mulus yang bebas tanjakan meliuk untuk menghubungi antar resort wisata, motel dan home stay standar aeperti maldives. bandara klas “number one”Plus penerbangan internasional dan regular terjadwal.
Jangan pernah abaikan, “human person safety,” hingga kuliner jajanan “mak nyuuusss” beraroma salad, “win,” maupun “ beu gurih” sekelas rasyid
Bagi saya landskap iboh, seharusnya sudah masuk peta jalan industri wisata yang menggerak ekonomi massal masyarakatnya kesatu arah, mendatangkan pecahan besar dollar, poundsterling, euro, gulden maupun rupiah.
Jalan industri wisata yang direcoki dengan ambisi “cet langet” bernama “buffer stock,” perdagangan bebas, pelabuhan bebas bahkan industri penyulingan minyak, sudah dicampakkan karena bising dan mencemari udara.
Weh membutuh sikap “gentlement” untuk melakukan re-orientasi pembangunannya dengan kembali ke “khittah”nya sebagai pulau “vulkanik” yang membentuk karang atoll
Yang menjadikan sendimen batuan berlapis-lapis dengan hunjaman ke dasar laut untuk tumbuhnya coral terumbu karang.
Suka atau tidak, kita harus berani mengatakan, weh telah salah jalan memilih prioritas pembangunannya dengan membiarkan dodent “sendirian,” dulunya, ketika memungut sampah iboih, memijah karang dari duit koceknya
Padahal ketika weh sudah jadi pembicaraan ramai di lingkungan “donya” elite penikmat selam, langkawi masih pasir kerontang hutan liar pandan laut.
Untuk itulah senyum getir teman kokas dan yustinus terhadap iboh bisa menjadikannya kembali ke “khit’ah”nya.