Laporan Perjalanan Arminsyah Untuk “nuga.co”
“Dusun” kecil itu bernama Huta Siallagan di Desa Ambarita, Samosir. Kesanalah kami datang bertamu di sebuah hari, akhir Januari lalu, dan menikmati sepenggal sejarah masa silamnya sembari menyeruput kopi di lapak lusuh sembari melayangkan pandang ke Toba yang berjingkrak.
Jangan tanya keindahan dan akar tradisi yang hidup serta berkembang di sana, yang menjadi anutan anak-anak Toba yang sarat petuah istiadat parmalin yang jernih. Datanglah ke negeri Toba ini. Ia akan memanggil lahi dan memanggil lagi ketika turis domestik dan asing menginjakkan kedua telap kakinya di tanah bertuah itu.
Dan kami, di siang ketika mendung menggelantung di awan hujan itu memang datang lagi untuk melihat, bertanya dan membawa pulang “souvenir” kenangan yang terpahat di memori. “Huta Siallagan.”
Huta Sillagan, sebuah perkampungan tua di Samosir, dibangun pada masa Raja Laga Siallagan. Ia mewariskan “negeri” yang elok ini kepada anak cucunya untuk dipelhara tradisinya. Tradisi yang l;ahir dari keunikan “Batu Persidangan.”
Sebuah susunan “bangku” dari batu karena memang fungsinya untuk mengadili penjahat dalam kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan lainnya atau juga untuk mengadili musuh politik dari sang raja.
Kami datang ke Batu Parsidangan, mendudukkan pantat di atasnya lewat sebuah aji mantera dari seorang tetua. Kami tergetar dan mengubah paradigma tentang laku kanibalisme yang dihembuskan terhadap ritual “batak parmalim.”
Ritual yang diakarkan sebelum Raja Siallagan memeluk Kristen, dan tidak menghapus hukum balas dendam dalam tradisi batak parmalim.
Huta Siallagan ketika kami jenguk lagi telah mengubah fungsi sebagai desa wisata saja untuk mengenang sejarah dan budaya salah satu suku di Tanah Batak.
Di awal kami berkunjung, delapan tahun lalu, bersama seorang anak Samosir, ia menceritakan dengan runut tentang “batak” dan parmalim sebagai jalinan akar tradisi yang penuh makna bagaimana hidup dijalankan dan terus berlanjut.
Kampung Ambarita, dimana Huta Siallagan, menjadi satu sudutnya, adalah sebuah negeri di Samosir, yang bagaikan benteng batu di tepian Toba yang permai dari sinii kita bisa membuat sketsa “batak,” Toba, Samosir sebagai satu kesatuan utuh.
Hari kami datang banyak wisatawan hilir mudik dengan rasa kagum mengamati perkampungan ini dikelilingi batu-batu besar disusun bertingkat secara rapi.
Dulunya, kata sahibul hikayat, tembok tersebut dilengkapi bambu dan benteng ini berfungsi untuk menjaga perkampungan dari gangguan binatang buas maupun serangan suku lain.
Tidak hanya Huta Siallagan di Amabarita yang menyita kami. Ketika beringsut ke Desa Suhi Suhi, yang tak jauh dari Tomok dan Pangururan, kami menyaksikan proses penenunan kain ulos yang terbilang rumit.
Ulos, tentu bukan sembarang tenunan. Ia adalah tenunan sacral yang membutuhkan “mantra” dalam menjalin benang-benaangnya serta dibutuhakan waktu, kesabaran dan ketelitian yang tinggi.
Tidak heran kalau harga yang ditawarkan untuk mendapatkan ulos bisa terbilang mahal untuk ukuran kantong turis “backpacker.” Dan kalau ingin ulos beraji mantera datanglah ke desa ini. Di sini wisatawan bisa membeli ulos sekaligus belajar cara menenun.
Untuk mencapai desa ini, dibutuhkan waktu sekitar empat p[uluh menit dari Desa Tomok atau dua puluh menit menit dari Pangururan melalui jalan darat.
Tidak ada tiket masuk yang dikenakan bagi pengunjung yang ingin berwisata ke desa ini. Namun saat ini para perajin kain ulos tradisional semakin langka. Tetapi di Desa Suhi Suhi ini hampir sebagian besar perajin baik tua dan muda terlihat sedang menenun ulos di halaman atau beranda rumahnya.
Ya, Samosir adalah pulau di atas pulau dengan keunikan yang mengasyikkan. Pulau yang dibentuk dari vulkanik ini berada di danau kaldera Toba. Ketinggiannya, dari perm,ukaan laut, mencapai seribu meter.
Datang ke Samosir bisa dilakukan pagi hari dengan membeli tiket feri seharga sepuluh ribu rupiah per orang. Dan, sambil menunggu keberangkatan kapal, kita bisa menyusri pinggiran danau, mengabadikan keindahan dan luasnya Danau Toba.
Selain sebagai tempat wisata, ternyata danau ini menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitarnya. Mereka menggunakan air Danau Toba sebagai mata air utama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelayaran ke Samosir ada dua tipe feri yang beroperasi. Feri yang mengangkut penumpang saja dan feri yang mengangkut kendaraan roda empat.
Jika menggunakan mobil, Anda akan menumpang feri jenis yang mengangkut kendaraan beroda empat. Selama menyeberang, kita akan disuguhi pemandangan alam danau yang indah, langit biru, dan udara yang sejuk.
Cuaca Danau Toba bahkan bisa menghipnotis pengunjung sehingga betah berlama-lama di sini.
Mobil adalah alat transportasi yang sangat penting bagi keluarga yang ingin berkeliling pulau. Di Samosir memang tidak ada angkutan umum. Anda harus menyewa kendaraan berupa sepeda atau sepeda motor.
Jika penginapan sudah penuh, kita bisa meminta tolong penduduk sekitar atau pemilik hotel untuk mencarikan rumah penduduk yang bisa disewakan sebagai tempat menginap.
Namun, jika bepergian secara backpacker, sesampainya di Pulau Samosir kita bisa menyewa ojek atau bermalam di sana.
Uniknya, pulau ini memiliki obyek wisata danau. Terdapat dua danau di pulau yang berada di tengah Danau Toba, yaitu Danau Sidihoni dan Aek Natonang. Selain itu, pulau ini juga menawarkan banyak keunikan budaya dan sejarah lainnya. Misalnya saja Pusuk Buhit yang dipercaya sebagai tempat asal suku Batak.
Menariknya, di sini terdapat panggung batu. Untuk mendapatkan penjelasan tentang panggung batu, kita bisa menyewa penduduk sekitar sebagai pemandu. Setelah puas mendengarkan kisah tersebut, kita pun bisa berbelanja suvenir, berupa ukiran kayu dan kain tradisional di kios-kios cenderamata.
Obyek wisata lain yang tidak kalah menarik adalah pemandian air panas dan Museum Adat Budaya Batak. Museum ini cukup unik karena berada di ruang terbuka dan di sana ada banyak batu peninggalan raja yang konon asal mula orang Batak. Penjaga museum pun fasih menjelaskan sejarah masa lalu.