Site icon nuga.co

Kali Ini Bukan Lagi “Tamparan Miskin”

Gereget itu datang lagi menampar wajah Aceh.

Masih dari badan pusat statistik. Be-pe-es.

Badan yang sama,ketika  mentaklimatkan tentang Aceh miskin. Kini tamparan itu datang lagi. Lebih telak.  Di penangga;alan awal, pekan pertama, bulan Januari, di pergantian tahun

Tamparan itu sebuah rilis. Bertajuk indek kebahagiaan. surveinya dihimpun sepanjang tahun lalu.

Lantas?

Dari data indek kebahagiaan  itu Aceh terjengkang lagi. Peringkatnya bereda di posisi  kedua puluh enam dari tiga puluh empat provinsi yang ada.

Angkanya, setelah diakumulasi dengan berbagai  cabang perhitungan mentok di  tujuh puluh satu koma dua puluh empat.  Mamsih dibawah indek paling corot. Hanya satu tingkat di atas Jakarta.

Angka yang dirilis itupun turun dibanding empat tahun silam. Angka indek tahun 2017.

Untuk menghiburkan diri saya berdamai dengan hati untuk memberi jawaban yang menghibur. “Nggak turun amat.”

Angka bulatannya tetap tujuh puluh satu. Tapi angka per-nya turun sebesar tujuh puluh dua.

Namun begitu, yang celakanya, dari indek kebahagiaan Aceh hasil rilis be-pe-es itu,  sepertinya stagnan. Padahal survei ini sudah berlangsung tiga kali.Sejak tujuh tahun lalu.

Indek ini kalau mau dirinci lagi  masih berada di bawah indek kebahagiaan secara nasional.

Menurut be-pe-es sendiri kesepakatan indek kebahagiaan negara ini saat ini rata-rata berada di angka tujuh puluh satu koma empat puluh sembilan.

Saya tak tahu, apakah rilis be-pe-es kali ini ada komplain pejabat di Aceh untuk menggugat  validitas angka yang dirilis oleh badan penghimpun data ini.

“Mungkin saja ada,” kata teman saya, seorang guru besar sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Guru besar hebat dengan parodi manajemen di Tri Sakti.

Ia tidak mengatakan “ada” secara utuh. Masih diefumiskan dengan dua kata,”mungkin saja.”  Sebenarnya saya tahu isi kepalanya ingin mengatakan “ada.” Namun begitu, ketika kata itu menjalar hingga ke mulutnya, sang gurubesar memutar bandul untuk mengucapkan”mungkin saja.”

Ya, sudahlah. Itu nggak terlalu penting.

Dan, kalau pun ada bantahan dari penujum di Aceh, be-pe-es, seperti yang saya pantau, tak kan bergeming. Artinya, tak mau berdamai telaah yang metodenya berstandar indeks global.

Bahkan, kepala be-pe-es, Margo Yuwono yang mengatakan,  tingkat kebahagiaan penduduk yang mereka survei tahun lalu itu  diukur secara serentak di seluruh kabupaten dan kota

Pun yang disurevi  untuk kemudian di analisis adalah rumah tangga yang dipilih secara acak atau random.

Metode surveinya juga sudah sangat maju Sampling two stage one phase sampling. Total sampel rumah tangga yang diperlukan untuk keperluan estimasi tingkat kebahagiaan hingga level provinsi  sebesar tujuh puluh lima ribu rumah tangga

“Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara oleh petugas dengan  menggunakan kuesioner terstruktur dan alat bantu,” kata Margo.

Pertanyaan baru pun muncul. Begitu tidak bahagianya kah orang Aceh?

Jawabannya, entahlah…

Entahlah… usai ditampar oleh rilis negeri paling miskin dari badan yang sama kini Aceh di stempel lagi dengan provinsi tidak bahagia.

Sakitnya sebagai negeri paling miskin di Sumatera, jangan dulu bicara untuk ukuran nusantara,  teramat menyakitkan ketika saya mendatangi sebuah diskusi kecil dengan dua orang doktor ekonomi dan seorang profesor  anak Aceh “meugampong di kampus Tri Sakti.

Diskusi kami di pertengahan pekan ini bukan membentangkan karpet reaktif terhadap nasib Aceh yang miskin dan tak bahagia itu. Diskusi kami pro-aktif. Jauh dari provokatif.

“Kita  hanya duek pakat ,” kata sang profesor  ringkas untuk pengantar. Sang prof kepada saya minta untuk tak menuliskan namanya kalau pembicaraan berpindah ke sebuah mediai

Saya menjawab dengan guyon. “Nggaklah. Itu bisa melanggar kode etik. Bisa-bisa jadi delik.”

Dalam duek pakat itu banyak keluar kalimat yang saya sendiri tak tahu apa terjemahannya. Maklum saja. Saya kan bukan intelektual. Hanya berbasis strata satu. Itu pun bukan ekonom. Hukum. Dengan latar jurnalistik.

Dalam perbincangan itu terselip juga canda kaki lima. Canda dengan kalimat,  Udah miskin tambah tak bahagia. Dan masih bisa ditambah dengan tidak aman, tidak ….. dan entah apalagi.

Saya tak mampu menuliskannya. Dan andalah yang paling tahu dan bisa mengukurnya lewat “meunyo hana beu …..

Dan yang penting “bek nanggroe tapeugala”

Selain duek pakat khas anek naggroe, kami juga sempat membahas pernyataan dari rektor unsyiah… ee..ee USK. Saya kok selalau salah sebut akronim untuk kampus tekad bulat itu. Maklumlah, sejak ia ditabalkan hingga saya menjadi bagiannya hanya unsyiah yang selalu saya komat kamitkan.

Tentu muncul pertanyaan. Apa yang dibahas tentang pernyataan sang rektor, Prof.DR Ir Syamsul Rizal  M.Eng,IPU Asean.Eng  itu.

Sebenarnya kami sumir saja membawa pernyataan  sang rektor ke topik  diskusi itu. “Kok mendadak pak rektor bicara lantang tentang kondisi Aceh ya?” ujar teman berbincang yang starata tiganya dari university kebangsaan itu.

Saya hanya mendeham dan nyahut seadanya dalam kalimat canda,” baguslah kalau mendadaknya macam injakan rem”

Sang rektor, yang saya nggak tahu berapa besarnya sharenya dalam men”develop” pembangunan Aceh memang pantas cemas dengan predikat miskinnya Aceh.

Ia memang pantas untuk bicara setelah kampus tekad bulatnya berhasil meraih posisi sebagai perguruan terbaik kedua di Sumatera atau kedua puluh enam se Indonesia. Kampus yang mengalahkan USU di Medan.

Dalam hati saya mungkin karena faktor ini yang membuat nyalinya kepincut. Kalau kepincutnya karena popularitas ini yah payah. Dan kalau itu yang menjadi penyebabnya saya jadi ketawa.

Ketawa karena kesejarahan. Bukankah tiga rektor terdahulu bisa jadi……karena kapasitas kerektorannya. Anda tahulah kemana arah yang saya tuju. Anda tahulah siapa Prof Madjid Ibrahim, Prof. Ibrahim Hasan dan Prof Syamsuddin Mahmud.

Udahlah.

Kembali saja ke materi yang menjadi otokritik Prof Syamsul tentang Aceh miskin. Aceh yang mengendapkan dana sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenan. Silpa. Silpa yang menjadi Presiden Jokowi marah. Mendagri Tito Karnavian marah.

Dan Prof Samsul juga marah. Dan marahnya Samsul lebih spesifik. Langsung tunjuk hidung. Dan yang ditunjuk itu adalah dr Taqwalah. Ketua tim anggaran pemerintah Aceh. Tapa. Tapa yang bukan Tuan Tapa orang keramat di negeri saya. Tapaktuan.

Samsul mengaku heran dengan kinerja aparatur pemerintah Aceh, khususnya sekratis daerah  Taqwallah yang Tapa itu. Tapi tidak keramat

“Coba lihat, dari tahun ke tahun, dana Silpa terus bertambah. Ini membuktikan ada yang tidak beres dari kinerja dan tata kelola pemerintahan, khususnya keuangan,” kritik  Syamsul

Kritiknya masih berlanjuta tentang pembangunan Aceh yang sangat tergantung pada transfer dana dari pusat. Dana alokasi umum  maupun  dana otonomi khusus

“Mana ada industri skala menengah dan besar yang tumbuh dan berjalan di Aceh. Akibatnya, berpengaruh pada pendapatan asli daerah.”

Sebagai pemegang tongkat keintelektualan sang rektor menyebut, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi momok yang sangat memalukan untuk Aceh.

Lebih tragis lagi, Aceh tak hanya mengalami darurat kemiskinan.Tapi juga darurat pengangguran, darurat stanting, darurat narkoba, darurat bencana, darurat judi online, darurat korupsi serta darurat kekerasan seksual.

Ironisnya, dana dalam jumlah besar itu pun tak mampu dikelola dengan baik atau menjadi stimulus serta lokomotif bagi tumbuhnya perekonomian rakyat.

Padahal, berbagai dana dari pusat tersebut, harusnya dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan serta perekonomian rakyat, sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan justeru dikembalikan ke pusat

Ia menyebut case ini sebagai  bencana. Birokrasi tak mampu bekerja dengan baik dan sesuai dengan tupoksinya.

Sebagai intelek rupanya Syamsul pandai juga menyelip canda. “Yang terjadi di Aceh  ibarat orang menyapu. Setelah bersih di depan, lalu kotor kembali di bagian belakang.”

Begitulah terus berulang-ulang sejak lima tahun terakhir. Lalu, jika ada yang kurang beres, lakukan gonta ganti pejabat. Ini yang saya sebut manajemen menyapu .

Kondisi ini memang kontras dengan apa yang digaungkan selama ini.

Rapat-rapat sampai larut malam, tetapi hasilnya Silpa sangat besar.

Terlepas dari kebenaran otokritik itu, Syamsul mungkin alpa membentang kemana uang anggaran yang hitungannya bisa membeli gajah. Bukan gajah mati. Tapi gajah pembangunan.

Otokritik itu hanya bisa kami dehemkan dari kawasan Grogol  itu. Dehem senyum. Dehem pertanyaan ada maksud apa.

Exit mobile version