Landing. Tak ada yang tersisa untuk bisa menautkan memori kami, ketika di siang itu, Minggu, pekan ketiga November 2013, kami singgah di pinggir Krueng Keureto itu. Hujan pirang yang disapu angin dari jelaga awan hitam telah pupus. Matahari terik kembali dan tegak diubun-ubun ketika kami melangkah ke pelataran, yang dulunya lapangan pendaratan alat berat “Mobil Oil” untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi gas di point A, nun di seberang sawah sana.
Langkah kami terseok ketika ditatap oleh seorang lelaki yang sedari tadi menatap langit dan mengeluarkan karung dari pondokan kecil untuk dijemur kembali setelah derai hujan kecil berlalu. Sebagai seorang lelaki Aceh, saya tahu tatapannya penuh tanya dan menyimpan pendam curiga.
Ketika kami mendekat, lelaki setengah umur itu berdiri dan kami menghanguskan gelegak curiganya lewat tabik salam suara berdetak, kelat yang membuatnya tersenyum mengulum desak<” awak geutanyo. Setelah lepas dari sangka curiga lelaki itu menyorongkan tanya,”peu na peurele.” Ada apa keperluan.
Kami menjawab dengan merendah, sembari membalik tanya apakah “nanggroe” ini yang bernama Landing. Ia mengangguk. Dengan bahasa Indonesia yang kelat ia bertutur, “betui hai syedara.”
Ya, di sinilah dulu tempat pendaratan peralatan “Mobil Oil” yang disebut dengan Landing. Dengan suara lepas lelaki paro umur berkulit gelap, khas petani Aceh menjawab semua tanya kami dengan patah-patah. Itu pertanda ada suasana akrab.
Setelah itu tak ada hambatan. Kami bertukar kata dan menggali ingatan masing-masing tentang sebuah “kota” yang bernama Landing yang berdenyut sepanjang hari, sepanjang malam, berminggu-mingu, berbulan-bulan dan bertahun-tahun tanpa pernah tidur hingga puluhan tahun.
Hari kami datang dan berjumpa dengan lelaki petani yang menjemur padinya di pelataran bekas gudang “mobil oil,” yang kini beratap langit setelah bangunan dipreteli ketika ayak perang lalu. Kemudian kami tahu ia pemilik negeri. bernama Hasan Ubit. Hasan “Kecil.” Sesuai dengan posturnya. Kecil dan berkilit gelap dan lebih mirip dengan orang India Selatan.
Landing memang telah mati bersama tamatnya operasional eksplotasi gas dari ladang-ladang di perkampungan Syamtalira Arun. Telah mati pula hilir mudik ponton yang ditarik “tug boat” di sepanjang Keureuto dari laut lepas Ujong Jambo Aye.
Ponton yang dulu menyengsarakan Krueng Keureuto karena sgesekan dinding baja dan pantatnya yang menyebabkan alun gelombang dan menimbulkan abrasi serta mengamblaskan rumah pondok anak “aso lhok” beserta kandang sapi dan ladang cabenya ke dasar krueng.
Landing persisnya, di belah oleh jalan Banda Aceh-Medan, 22 kilometer dari Lhokseumawe dan, cuma sepuluh kilometer dari Lhosukon. Desa kecil tak bernama serta bersisisan dengan Kecamatan Syamtalira Bayu itu, dulunya, adalah sebuah entitas plural. Di sinilah bekerja semua puak anak negeri menyatu dengan bule maupun pekerja mancanegara lainnya.
Di sini pula semua peralatan milik “mobil oil” di daratkan lewat ponton yang diseberangkan dari Singapura. Peralatan perminyakan dan gas yang didatangkankan dari belahan “donya.” Peralatan yang sering dipersoalkan oleh para pengamat perminyakan taqk pernah diaudit dan dimasukkan sebagai biaya operasional yang dihitung dalam sistem bagi hasil versi “kontrak karya.”
Landing memang telah mati di senandung nyilu gugatan anak negeri untuk mendapatkan bagi hasil berkeadilan. Bagi hasil yang tak pernah dihiraukan Jakarta, ketika itu, sampai sumur-sumur gas mengering di point A maupun Ujung Jambo Aye.
Janji bagi hasil, yang kemudian di adopsi oleh otonomi khusus setelah produksinya tinggal satu train dengan pengapalannya tersisa belasan kapal. Dan ketika bedil tidak menyalak lagi, negeri ini diperintah pejuang, tak ada lagi nyanyian nyaring tentang tuntutan kesejahteraan, yang dulunya didengungkan,” kalau anak negeri yangt memerintah Aceh akan makmur bak Brunai-Darussalam.
Minggu itu memang hari getir ketika kami berkeliling di areal Landing. Semuanya kenangan tentang “kemewahannya” telah pergi. Tak satu pun yang tersisa dari onggokan gudang dan lantai penyimpanan peralatan milik “mobil oil” itu. Semuanya raib bersama hilangnya “suasana” gaduh yang pernah ada di sana.
Ketika kami mendekat ke pos polisi di sudut timur Landing, dua orang berpakaian dinas keluar dari rumah jaganya. Kami melempar senyum dan mereka balas dengan anggukan. Setelah mendekat dan bertanya, keduanya tak pernah tahu tentang Landing yang riuh di tiga dekade lalu.
Dekade ketika angkutan yang lewat harus melambat dan di pandu oleh pekerja, yang kalau malam tak jarang ada “swepping” aparat gabungan memeriksa “ka-te-pe” serta memelototi para penumpang apakah mereka termasuk “pejuang” yang di “wanted.”
Kedua polisi yang kami datangi di pos jaga bekas lokasi “kantor” kontroling milik “mobil oil” itu hanya tertawa ketika kami mengalirkan penggalan cerita “mewah” tentang Landing “tempo dulu.” Mereka hanya menganga, mengangguk dan kemudian nanar.
Landing di hari Minggu kami datang itu hanyalah situs yang terkubur setelah keringnya sumur-sumur gas di Point A, Cot Girek hingga nun di Penaron. Landing tidak lagi menyorakkan teriakan dan gelegak mesin alat berat dan tumpukan pipa berdiameter hingga satu meter. Tak ada kerangka menara “boring” yang dihela oleh “truck” ukuran raksasa. Tak ada lagi hiruk pikuk dan hamburan pipa yang dikerek “crane” dengan daya ratusan ton.
Yang tersisa di hari itu adalah tanah lapang dan sawah-sawah penduduk serta rumah lusuh yang tumbuh membentuk perkampungan dengan pusat “haba”nya bersumbu di warung kopi sederhana. Juga sudah lama pergi patroli tentara dengan senjata mitraliur beranak peluru di “jeep” terbuka yang sering menghanburkan tembakan dan membunuh anak negeri atas nama “operasi” menumpas separatis.
Landing sudah aman. Sudah kembali ke khitahnya. Khitah kemiskinan yang berlumut, berdaki dan tak mampu di makmurkan lewat uang berlimpah dari dana otonomi khusus dan dana bagi hasil minyak dan gas.
Landing adalah potret buram kemakmuran semu di masa “booming” gas, dan potret koreng dari luka sejarah “lost of Arun.” Potret kemiskinan dari negeri kaya yang setelah dikembalikan hak warisnya kepada “aneuk nanggroe” malah di “faraidh” untuk kesejahteraan kelompoknya dengan dan atas nama “hak war’eh.”