Lhok Pawoh, desa nelayan di tepian samudera, masih asri
Sepagi itu, Senin kedua Januari lalu, Lhok Pawoh sedang berbenah. Ada ombak kecil yang datang dari hempasan gelombang di ujung tubir. Berkejaran, berlari dan memecah dengan suara kecipak sembari memukul pantai, untuk kemudian surut di pasir putih yang memanjang di pilinan akar cemara.
Di sepagi itu kami kembali datang “takziah” ke Lhok Pawoh untuk mengingat seorang sohib yang lahir, ber”pulang” dan ber“jirat” sederhana di tepian samudera itu, setelah bertualang dari “koetaradja,” hingga ke Medan.
Sohib yang juga pernah pernah menyelipkan dirinya di “rumah” sandiwara “gelanggang labu” yang beringsut menjarah dari satu “gampong” ke gampong lain lewat pesona hiburan rakyat yang sangat “meugampong.”
Lhok Pawoh, bagi sahabat saya itu, Hasyim KS, adalah inspirasi yang tak pernah mongering dari kehidupan karya sastranya. Bacalah puisi sentimentalnya bergaya “sonata” tentang Lhok Pawoh yang ia tulis di awal tahun tujuhpuluhan.
Baca juga pusi-puisinya yang dibukukan bersama dua sobatnya yang lain, Darwin Baharuddin dan Basri Emka yang membuat kita “jatuh hati” karena kesederhanaan tema dan penggal penggalian imajinasinya.
Jangan pernah mengabai Hasyim KS dalam peta pusi anak “naggroe,” karena puisi kepedihan tentang harga diri, harga negeri dan eksistensi kultural “aneuk jamee,” yang ditelantarkan oleh hegemoni dan megalomania para petaruh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai anak “aso lhok.”
Tidak hanya menyentuh, puisi Hasyim pasca Lhok Pawoh, juga membuat kita ternganga bagaimana ia menjalin kata, merangkai suasana dan menghunjamkan negerinya, yang bernama Lhok Pawoh, nun di “tepian” samudera, yang ditelantarkan dari kejuahan hingar bingarnya percekcokan dan benturan kultural yang menjadi ciri zamannya.
Lhok Lhok, adalah orisinilitas yang kukuh berpijak pada akar kultur “jamee” tanpa pernah melakukan adaptasi lewat proses akulturasi yang mewah.
Lhok Pawoh di sepagi Januari, Senin kedua penanggalan 2014, masih seperti dulu ketika Hasyim KS memetik “buah” dari karya-karya inspiratifnya tentang sebuah negeri yang tercampak di selangkang “bumi” selatan sana.
Masih ada cemara laut yang bertumbuh kembali usai makan gergasi tsunami. Masih ada pilinan akar serabut pohon kelapa yang terkena abrasi laut. Dan masih memanjang pantainya hingga ke melengkung ke Twi Lhok dan menyambung hinggga ke Ie’ Dingin yang butiran pasirnya menendang tamparan cahaya matahari lewat kilauannya cemerlangnya.
Hari kami datang, Lhok Pawoh masih sebuah “landskap” heterogen dengan dermaga kecil disertai sampan nelayan yang tergelitik oleh gelombang kecil. Ada suara gaduh dari celoteh campur baur “jamee” dan “acheh” yang aromanya sangat khas “gampong” nelayan. Ada centang prenang dari dari ketidaksabaran para “muge” untuk mendapat barang dagangannya.
Lhok Pawoh, adalah sebuah desa nelayan, di Kecamatan Sawang, di pinggiran jalan lintas Tapaktuan-Banda Aceh. berjarak 16 kilometer dari Tapaktuan, kota kabupaten Aceh Selatan.
Saya berguman, di sepagi itu, dalam tatapan nanar dan mengirim pesan ke “arash” untuk Hasyim KS, dengan taklimat inilah “gampong” rakan hari ini di awal 2014.
Taklimat gumam, yang dulu, ketika kami masih satu kantor, di ruang redaksi sebuah koran lokal, sering memperbincangkan Lhok Pawoh, sebelum ia memulai kerja menulis “apit awe,” dan menyeleksi naskah budaya di hari Sabtu untuk mengisi edisi Minggu.
Lhok Pawoh, bagi kami memang tak terpisahkan dengan Hasyim KS. Lelaki peranakan India Tamil, yang sang ayah bernama Kale Ane, dengan seorang perempuan “aso lhok“ memang seorang sentimentil sesungguhnya.
Sepanjang hidupnya yang “miskin” secara materi, Hasyim memiliki kekayaan pesona sebagai otodidak kesenimanan. Bacalah cerpen-cerpen dan puisi tujuhpuluhannya yang menyentuh dan bercerita tentang realitas masa itu yang penuh “warna” pencarian jati diri.
Dan jangan lupa pula membaca rangkaian puisinya yang memaki kemapanan ketika ia menerima gaji sebagai “buruh” jurnalistik yang membuatnya ditelikung rutinitas keharusan “ngantor.”
Lhok Pawoh memang menerbangkan saya ke Hasyim KS. Dan ketika seorang nelayan tua menyapa kami di pinggiran dermaga, kami tersentak dan Lhok Pawoh bukan hanya Hasyim. Tapi Lhok Pawoh adalah perpaduan dari tepian samudera ketika matahari menyeruak dari kerimbunan daun kelapa, ia makin genit.
Ketika kami datang, di sepagi itu, Senin kedua Januari lalu, Lhok Pawoh memang penuh kegenitan ketika menjadi pasar para “muge eungkot.” Lhok Pawoh di sepenggal pinggiran samudera itu memang berubah menjadi “pasar” yang menjauh dari melankolisnya angin laut, derai hujan gerimis dan desir cemara yang mengiris angin laut beruap asin.
Dan ketika kami menyelinap dari kerimbunan cemara, dan melepaskan diri dari kegaduhan di penggalan tempat pendaratan ikan berbau anyir itu, kami menemukan pukat kecil sedang menyisihkan ikan dijalanya dan sembari berbisik di sebuah gundukan bukit kecil, dan menyapu seluruh tepian samudera keluat desis kami.”Syim, kami datang menjenguk Lhok Pawoh untuk sebuah janji kita dulu ketika bareng berangkat ke Koetaradja sebagai ‘aneuk jamee’ yang terlunta-lunta.”