Laporan Mohammad Amani
Empat puluh empat tahun berlalu. Hari itu, Senin, pekan pertama Agustus, kami datang lagi ke Baiturrahman. Ada suasana yang berganti ketika kami singgah menjelang dhuha ketika matahari menjilat pucuk kubahnya dan menarikan pantulan cahaya di setengah pagi itu di balutan hitam penutupnya.
Hari kami datang lagi, pas di pengujung Ramadhan. Ada suasana yang hilang ketika kami takziahi. Tak ada gemeretak kereta api mengigit rel saat lansir dan pekik “klakson” anginnya ketika beringsut meninggalkan stasion, di luar pagar kerangannya. Pasti pula, raib nasi gurih Mak Nie yang menjadi langgan keluarga kami di sisi kiri stasion. Bahkan nasi soto, menjelang tengah hari, milik Wak No, seorang turunan Jawa,tak tahu dimana persis letak tapaknya.
Stasion tempat kami belajar main catur dengan Om Saragih memang sudah “almarhum.” Hari itu kami mencoba untuk tahu dimana letak persisnya, ketika kini ia menjadi jalan utama dan hutan kota.
Juga , tak ada lagi Hotel Atjeh yang legendaris di ujung jepitan mulut Jalan Taman Sari. Entah kemana perginya. Yang ada disisa lahan kosong Hotel Atjeh hanya tiang pancang bulat dengan cat warna-warni.
Ketika kami berdiri di pojok kanan pekarangan masjid, telah musnah pula perumahan karyawan PJKA tempat saya pernah memiliki memori dengan anak seorang masinis. Setelah saya reka ulang perumahaan itu, ternyata, kini, ia menjadi sebuah “departemen store” bernama Barata Di dipojok kiri “departemen store” itu masih ada sisa “loko spoor” yang dijadikan museum setengah hati.
Tak cukup merentang langkah di bagian barat, agak ke timur yang menjadi hamparan halaman masjid, sudah tak ada lagi terminal angkot PML, PMO dan PMAB yang menjadi moda transportasi dari Banda Aceh ke kampung-kampung udik. Juga, yang kami agak “shock”, entah kemana bangunan monumental Balai Teuku Umar. Semuanya menghilang.
Ya, kami datang kali ini, ketika lanskap Baiturrahman berubah tata letak. Empat puluh empat tahun semuanya bisa tak meninggalkan bekas. Yang utuh, malah diperluas adalah Baiturrahman. Masjid tempat kami shalat tarawih dan seusainya “bersukaria” sembari “dugem” di kaki lima percetakan negara mengasup martabak dengan kopi pancung.
Baiturrahman memang tak berapa jauh dari rumah keluarga kami di kawasan Asrama Keraton.
Hari itu memang membuat kami terperangah dengan Baiturrahman. Di usia senja ini masih ada kesempatan untuk berkunjung. Maka ketika kami masuk dari arah pintu Jalan Mohd Djam untuk menunaikan shalat tahyat masjid dan sunat dhuha, tak terasa ada bulir air mata yang mengalir di kedua pipi kami.
Ada perasaan galau dan antusias yang menyatu. Ada perasaan yang hilang ketika kami datang ke tempat wudhuk. Kami tak melihat lagi pertokoan di timur Jalan Bakongan. Dan ketika kami bertanya dengan seorang lelaki di sana ia juga bengong. Kami baru mafhum, kemudiannya, pertokoan itu telah di gusur dan masjid indah ini telah ditambah bangunannya lebih ke depan.
Baiturrahman memang lebih monumental. Dengan kubah hitam dan menaranya, yang ketika kami hengkang dari Banda Aceh masih dalam tahap finishing oleh kontraktor Zein, selalu mengingatkan kami tentang Aceh,
Kami tentu tak akan lupa dengan Masjid Agung Baiturrahman. Keelokan serta ketangguhannya saat diterjang tsunami membuat banyak orang berdecak heran sekaligus kagum pada masjid ini.
Ya, Baiturrahman, setelah empat puluh empat tahun masih menjadi ikon bandar Koetaradja. Ia menyambung seluruh kenangan kami dengan negeri ini. Sebuah bangunan dengan dinding bercat putih dan kubah megahnya yang berwarna hitam akan menyambut siapa pun yang takziah ke Serambi Mekkah.
Kami kagum sekali dengan Baiturrahman. Dan ketika kami masuk dengan wudhuk untuk mendirikan tahyat masjid, kami tengadah ke salah satu kubah tuanya. Kami mengenang, suatu hari lima puluh tahun lalu kami pernah memanjatnya ketika ia sedang direnovasi.
Kami takjub dengan masjid terindah di Indonesia ini yang masih berdiri kokoh walaupun usianya kini sudah mencapai ratusan tahun.
Kami tahu persis sejarah “heritage” ini karena sering mendapat “lhotbah” dari tetua. Masjid ini pertama kali dibangun pada 1621 menggunakan bahan kayu saat Sultan Iskandar Muda masih berkuasa. Namun, ada pula yang mengatakan jika masjid ini telah dibangun sejak masa kepemimpinan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada 1292 silam.
Perjalanan masjid, mulai dari pembangunan hingga dapat berdiri kokoh, ternyata cukup panjang. Saat Perang Aceh membara, tepatnya tahun 1873, masjid ini sempat dihancurkan. Namun, karena begitu penting bagi penduduk setempat, maka masjid ini kembali dibangun pada 1879.
Tahukah Anda, dua buah kubah masjid ini ditambahkan oleh Pemerintah Belanda pada 1936? Sementara, dua kubah lainnya baru ditambahkan oleh Pemerintah Indonesia pada 1957. Secara keseluruhan, masjid ini memiliki tujuh kubah besar dan tujuh menara yang tingginya mencapai 35 meter, seperti dikutip dari IndonesiaTravel.
Masjid yang berada di Banda Aceh ini juga sempat memukau dunia pada 2004. Ketika itu, bencana tsunami melanda Aceh dan sebagian wilayah Asia, di mana daerah ini terkena dampak paling parah. Hebatnya, Masjid Baiturrahman tidak goyah, bahkan penduduk sekitar berusaha mencapai masjid untuk mencari perlindungan.
Masjid ini merupakan salah satu yang terindah di Indonesia. Bangunannya sangat manis dan cantik. Ukirannya begitu menarik, dengan halaman yang luas. Ketika berada di dalam, Anda akan merasakan hawa sejuk yang nyaman. Masjid ini selalu ramai dikunjungi wisatawan ataupun penduduk lokal yang ingin beribadah. Biasanya, masjid akan semakin ramai ketika hari Jumat tiba.
Seperti kunjungan kami hari itu. Kunjungan takziah seorang anak negeri tentang karya nenek moyangnya.