Site icon nuga.co

Aceh Euforia

Euforia itu terlalu panjang. Delapan belas tahun lebih. Sudah tiga kali pemilihan kepala daerah. Plus tiga gubernur defintif. Ditambah fiesta beberapa orang menyandung status penjabat.

Seperti dua tahun terakhir. Dua penjabat hingga ke pemilihan kepala daerah yang keempat kalinya dalam hitungan bulan mendatang.

Setiap pergantian gubernur dan penjabat, disertai dengan fiesta. Fiesta besar dan kecil. Ataupun fiesta baliho yang masih tersisa hingga hari-hari ini.

Fiesta yang berulang ditengah euforia panjang itu tak pernah menyisakan jejak roadmap. Rodmap-peta jalan. Peta jalan yang menelantar ideologi perjuangan.

Ideologi yang dulunya dibayar untuk mengangkat egaliter negeri ini untuk menikmati kemakmuran bersama.

Limabelas tahun dibawah kepemimpinan kombatan dan kemungkinan bakal nambah lima tahun mendatang itu sama sebangun dengan perjalanan satu generasi. Generasi “keudekupi.”

Kalau diambil tolok ukur kepemimpinan cina dengan jumlah tahun yang sama anda bisa mumang. Lompatan cina sudah melampui jerman dan jepang..plus membayangi as untuk melakujan kudeta..

Sedangkan Aceh terjun bebas ke tubir jurang. Komentar itu bukan dari saya. Ia datang  seorang anak muda. Dua  hari lalu ketika saya diajak meeting zoom online.

Ia anak teman. Yang ayahnya, dulu, satu mapram-masa pra mahasiswa-di ujung tahun enam puluhan. Mapram cama-cami. Era plonco.

Cama-calon mahasiswa- dengan nama “fanbo.” Merek bedak.

Meeting zoomnya usai shalat ashar. Yang diskusinya ala “twede kamer” alay yang gembor. Diskusinya bak kalkulator  menghitung nama-nama calon gubernur negeri ini di pilkada mendatang.

Dalam diskusi itu kami juga saling tukar bacaan tentang  masa depan ideologi perjuangan yang hambar dan  menjadi sangat tidak penting.

Padahal ideologi masa depan  yang paling laku, kelak, hanyalah satu: ideologi kemakmuran. Kemakmuran dunia dan akhirat. Tidak bisa hanya akhirat saja

Sistem pemerintahan lokal Aceh seperti anda tahu berada di posisi “setengah merdeka.”  Perpaduan  sistem pemerintahan yang dipergunakan pada masa kesultanan denga tata modern.

Sistem pemerintahan yang mengacu pada kekhususan

Ini ditandai dengan pemberian label qanun untuk sebutan  peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan sasyarakat.

Sistem ini bersandar pada undang-undang otonomi khusus dari  hasil kesepakatan damai,. Beberapa topik yang disentuh undang-undang ini adalah: syariat islam diberlakukan sesuai tradisi dan norma yang hidup.

Minyak dan gas dikelola bersama oleh pemerintah pusat dan provinsi. Lantas diizinkannya partai politik lokal serta bisa memiliki bendera dan hymne sendiri

Secara normatif, ada enam belas urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah.

Sekalipun tidak hafal dengan keenam belas urusan dan tanggung jawab ini, teman saya yang paling jongkok “iq”nya pun mafhum tugas paling pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah manapun di dunia

Tugas itu adalah seberapa jauh kinerja mereka mampu memenuhi kesejahteraan dan kebutuhan hidup paling dasar masyarakatnya.

Kini kita lihat kondisi yang ada. Bagaimana kondisi kemiskinan masyarakat di sana?  Bagaimana dengan akses dan kualitas pendidikan dan kesehatan ?

Bagaimana penanganan masalah-masalah sosialnya?

Saya hanya bisa menjawabnya dari akses data yang ada. Akses data dari fakta. Fakta tingkat pengangguran. Yang angka persentasenya masih berada di posisi corot.

Lainnya tingkat angka kemiskinan. Masuk termiskin di negeri ini dan termiskin di kawasan. Padahal saya tahu berapa jumlah gelontoran dana otonomi khusus yang sudah di eksekusi.

Angka melimpah. Banjirnya juga melimpah. Bahkan ada ruahnya. Ruahnya  beserta sumber daya alam melimpah

Sebagai seorang jurnalis saya tak heran mengapa itu terjadi. Pemerintah di sana lebih mengutamakan menganggarkan pokir dan belanja rutin ketimbang bangun rumah dhuafa.

Data-data di atas masih kurang memukau?

Sejak delapan tahun lalu, Aceh telah resmi menjadi provinsi dengan peringkat pendidikan terburuk

Hebat?

Nggak lah. Penetapan daerah miskin jauh lebih miris. Saya sering ketemuan teman-teman sembari mempertanyakan dasar penetapan kriteria daerah miskin

Apakah pendapatan daerah, pendapatan per kapita, belanja penduduknya, atau apa ?

Kalau pendapatan penduduknya dianggap kecil, tapi memang gak kekurangan sandang pangan papan kesehatan, apakah masih disebut miskin

Itu baru masalah mendasar. Saya belum mengulas kualitas objektif para pimpinan daerah di Aceh saat ini termasuk pihak yang Anda usung itu, baik secara politis maupun moral

Maaf, jangan tanya ke kelompok fanatiknya, ya, budaya primordial dan patronase di sini juga masih tinggi problematiknya.

Kebijakan dan kinerja progresif-signifikan-kerakyatan apa yang sudah mereka dan kelompok mereka hasilkan untuk kesejahteraan dan ketentraman hidup Masyarakat

Ingat janji kampanye. Catat jumlahnya. Tanyakan  realisasinya.

Meski demikian, saya tetap sangat mengapresiasi perjuangan mereka di era konflik dulu yang melakukan perlawanan atas dasar yang cukup ideologis: menuntut kesejahteraan dan keadilan dalam pembagian hasil sumber daya alam.

Paling tidak, mereka berhasil membuat pihak pemerintah pusat memberikan status otonomi khusus dengan segudang keistimewaan yang bahkan tidak dimiliki provinsi lain.

Namun, sayang, sejak perjuangan mereka bertranformasi ke ranah politis, sebagian  kombatan saat ini malah sibuk saling rebut kekuasaan dengan orientasi kepentingan yang sangat eksklusif dan elitis.

Ungkapan say aini bukan rahasia yang harus menjadi bisik-bisik. Gak ada yang dirahasiakan.

Jangankan terhadap masyarakat luas, rekan-rekan seperjuangan mereka sendiri yang dulunya sama-sama angkat senjata dan naik turun gunung bareng saja banyak yang tak dapat jatah.

Banyak kisah diseputar ini. Gak perlu harus ditulis. Seperti menulis euforia. Kebahagiaan yang berlebihan  Kebahagiaan atau kepuasan yang ekstrem, melebihi respons emosional normal.

Tidak realistis terhadap kesejahteraan fisik dan emosional. Merasa “di awang-awang”.

Yang membuat saya tambah bersedih adalah, itu terjadi  karena kepemimpinan yang dikembangkan lebih mengandalkan sumberdaya “alokatif” ketimbang “otoritatif.”

Entah lah semoga saya salah.

Exit mobile version