Site icon nuga.co

Gigi Media Beneran Itu Udah Ompong

Betulkah media beneran  kini  nggak punya gigi?

Ompong?

Anda bebas menjawabnya.

Ya atau ndak. Yes atau No

Peduli amat.

Kalau saya yang di suruh milih,jawabnya ya.

Iya, nggak punya gigi. Ompong.

Alasannya!

Ini bercanda ya.

Adalaahh…..

Canda adalaahh.. yang  datang dari perjalanan teman saya ke lumbung media benaran.

Ke Belanda dan Inggris.

Awal Desember tahun lalu.

Perjalanan wisata yang ia sempatkan melirik eksistensi media beneran di dua negara yang memiliki kehidupan bicara, berpikir dan menulis bebas. Sebebas-bebasnya.

Lirikan pertamanya fokus pada peralihan grup media de telegraaf. Grup media paling hebat di Belanda. Bahkan di Eropa.Yang bermarkas di Amsterdam,

Koran terbesar di Nederland. Berusia dua ratus tahun lebih.

Lainnya, ada,  koran  Sp!ts,. Surat kabar  terbebas.

Dua-duanya kini taringnya mulai goyah. Beritanya sudah menjadi uap angin. Yang menjadikan gigitannya taringnya tak bisa mencabik opini pembaca.

Selain itu media cetaknya  sudah defisit oplah. Tinggal sepertiga dari puncak kejayaannya. Satu juta eksemplar.

Dan kala sang teman naik kereta bawah tanah di Antwerpen ia tak lagi menemukannya di kios online.

“Kini de telegraaf dalam bentuk cetak hanya dibaca oleh mereka usia tua. Mereka yang masih satu hati dengan koran,” ujar seorang grandma ketika ia bertanya lewat bahasa isyarat bagiamana mendapat De Telegraaf yang koran itu

Baik dengan De Telegraaf maupun Spits kini sedang mengerahkan kekuatan gigitannya ke digital. Ke online. Tapi tetap dengan perasaan gundah.

Gundah karena gigi taringnya tidak setajam ketika eksis di media cetak  yang bisa membuat gempa Volksraad. Parlemen Belanda.

Gigitan yang bisa  meruntuhkan bangunan pemerintahan dan menggiring sebuah pemilihan umum baru.

Dua media ini diakui oleh pembacanya sudah kalah bersaing dengan media nggak beneran. Media sosial.

De Telegraaf, tak bisa terbantahkan memang corporat media hebat. Dulunya.

Beraliran liberal progresif,  yang juga  menerbitkan Trouw berorientasi protestan, De Volkskrant sayap kiri progresif.

Masih ada anak kesayangannya Metro. Koran untuk pembaca perkotaan

Ketika dalam bentuk cetak, semua surat kabar ini bisa mendikte karena akurasi berita-berita sangat tinggi. Investigasinya jangan tanya kedalamannnya. Depth-news.

Kini  ceruk diktenya itu sudah dimakan online dan media sosial.

Bahkan sudah disapih media  personal. Seperti instagram, twitter dan facebook. Yang apa pun isunya pasti lebih dulu datang ke telapak tangan pembaca.

Keduanya kini hanya bisa mengenang kehebatan masa lalunya  sebagai media prestisius terbaik dalam banyak  ajang penghargaan di Eropa.

Apakah de telegraf sendiri yang mengalami pasang surut itu?

Jawabnya tentu tidak. Media beneran lain di Belanda yang dulu menjadi bacaan massal warga di kereta bawah juga telah tertatih-tatih. Bahkan ada yang menghitung hari rest and peace.

Kalau pun masih ingin eksis sebagiannnya langsung masuk ke digital. Bersahabat dengan media sosial dalam interaksi berita-beritanya.

Kasus ini sangat disadari oleh koran algemeen dagblad. Grup koran ketiga terbesar di Holand.

Manajemennya mengambil jalan pintas. Bergabung dengan beberapa koran lokal membentuk  media berskala nasional-lokal  di pasar digital untuk mempertahankan eksistensinya melawan gempuran  si medsos.

“Semua media di sini sama nasibnya” kata sahabat teman saya Marco van Bergkamp. Marco yang pernah menjadi jurnalis di media “metro.”

Kawan yang menggabung namanya dari dua  pemain sepakbola Belanda. Marco van Basten dan David Bergkamp.

Menurut Marco, yang tanpa Basten itu, semua media hebat  dipaksa  bertransformasi dengan di era media sosial dan berlari bak sprinter

Si Marco sendiri secara canda mengatakan ia kini sudah punya media online sendiri.

Tulis sendiri,, baca sendiri dan terbitkan izinnya  sendiri.

He..he.., deliknya sembari mengejek dirinya sendiri seperti yang diceritakan sang teman kepada saya.

Tidak hanya di Belanda.

Ketika ia nyeberang ke negeri Ratu Elizabeth, United Kingdom,  langsung cari  Daily Mirror,The Time dan the sunday time. Koran-koran elit dengan usia tiga ratus tahun Yang dulu sangat terkenal sebagai media cetak dengan berita bola global.

Nasib koran ini sama dengan de telegraaf.

Memilih jalan damai dengan cara membesarkan media digital masing-masing sembari bertempur melawan sesaknya media sosial.

Anda kan tahu “mirror” yang punya desk hebat menulis laga-laga premeir league.

Pembacanya selalu terkesima ketika reporternya menulis setiap laga Manchester United. Menulis kritik reportase laga bak pembaca hadir di tribune dengan sorak sembari bergoyang membentak spanduk kain bewarna merah dengan logo setan merah.

Tahu betapa hebatnya analisis Mirror.  Analisisnya  setajam belati  walau  “the red devils” memenangkan laga.

Tak ada ruang untuk “setan merah” bisa menikmati kemenangannya di analisis “mirror.”  Sehebat apapun gebrakan United, “mirror” tetap membegalnya

Dari dua kasus ini di dua negara tentang media beneran ini Anda mungkin tak lagi jutek  kenapa saya memilih kata benar  terhadap ompongnya media benaran itu.

Tidak hanya pengalaman perjalanan sang teman itu yang mengukuh pilihan benar saya

Apa yang terjadi di Ukraina bisa menjadi pembenaran bahwa media benaran itu ompong ketika di pilihan Zelensky,  sang presiden terpilih, mengibaskan tangannya sebagai kata tidak untuk comment ke media benaran.

Zelensky ini, yang nama depannya sulit di eja, Volodymyr,  memenangkan pemilihan presiden secara telak. Di angka tujuh puluh persen. Tahun lalu.

Tentu Anda bertanya apa hubungan kemenangannya ini dengan masalah media beneran.

Si Zelensky ini melepaskan semua kaitan gandengannya dengan media beneran kala memaklumatkan ingin maju sebagai calon presiden

Ia tak percaya dengan koran, radio dan televisi. Bahkan ia memunggungi permintaan wawancara reporter media benaran

“Saya lebih percaya dengan kekuatan media sosial,” cibirnya kepada jurnalis beneran.

Percaya dengan medianya sendiri. Media sendiri. Podcast-nya sendiri. Ataupun video yang di skenariokannya sendiri.

Ia menuding media benaran korup. Ambil muka. Dan punya kepentingan. Ia hanya mau menulis untuk media miliknyai. Membuat video wawancara untuk kemudian mempublisnya sendiri.

Dan ia menang pemilu presiden tanpa berutang budi kepada media beneran seperti di negeri kita ini

Negeri yang “menjual” egaliter jurnalismenya ke ranah politik dan mendengungkan kebebasan sebagai selubung perselingkuhan.

Pelecehan media benaran tidak hanya datang dari seorang Zelensky yang kini sedang menghadang dikte Rusia. Dikte Vladimyr Putin untuk menariknya ke dalam pakta persekongkolan.

Zelensky mengibaskan tangannya ke atas sebagai pelecehan eksistensi Rusia. Yang menyebabkan Putin berang dan menjejerkan rudal di sepanjang perbatasan kedua negara.

Tidak hanya Zelensky yang menggeleng terhadap media beneran. Kasus serupa tapi tak sama juga menjadi trennya Trump. Trump yang mantan presiden amerika serikat.

Serupa seperti kasus Zelensky  dari sisi mengabaikan media benaran, tapi beda gaya dalam pemanfaatannya.

Trump tak ingin mengulurkan tangan persahabatan  dengan media beneran sehebat Washington Post, The New York Time, O’Globe, The Angeles Time  maupun The Observer.

Ia berang ketika hasutannya atas kekalahannya atas Jou Biden  tak mau dimuat media benaran. Sebagai republiken sejati  ia menggunakan media sosial twitter dan facebook untuk mengusung sebuah “pemberontakan”

Pemberontakan pendukungnya yang memanjat tembok kaca Capitol Hill  Gedung house of representative. De-pe-er-nya united state.  Dan memporak porandakan isinya guna mengenyahkan Nancy Pelosi, sang ketua dewan  membacakan kemenangan Joe Biden.

Begitu kuat dan efektifnya twitter dan facebook sebagai medsos dalam menggiring opini republiken untuk mengalahkan media beneran menjadi alasan bagi Twitter dan facebook untuk membunuh acount Trump.

Twitter dan facebook nggak mau ikut terseret diranah hukum sebagai penghasut yang kini membelit Trumph dan pendukungnya.

Selain case Zelensky dan Trumph pencerahan saya terhadap ompongnya media beneran ini datang  ketika  membaca  artikel bahasan  persaingan  media beneran versus media sosial  dalam “kop” besar laman  “USA Today.”

“USA Today,” yang mungkin, banyak dari Anda tidak tahu “binatang” apa itu

Jangan “ngebete.” Anda  wajar nggak tahu. Sebab bagian terbesar rekan jurnalis di media benaran hanya secuil yang tahu.

“USA Today”  adalah media hebat. Bukan media abal-abal.  Dia adalah media topcer nun di negeri Joe Biden sana. Media sejagad

Menurut laporan terbaru “USA Today,”  yang milik kota New York itu, media beneran kini sudah ompong. Gigitan kepercayaannya ditingkat publik hanya  tinggal empat puluh persen

Lantas kemana angka enam puluh persen  yang hilang itu?

Angka itu dimakan oleh media sosial, empat puluh persennya. Sisanya, yang  dua puluh persennya lagi, menjadi bancakan media pribadi dan grup, seperti whatsapp.

Anda masih belum percaya?

Mari kita buktikan.

Sebut saja berita banjir, tanah longsor, gunung meletus atau apapun nama bencananya.  Anda pasti mendapat lebih awal beritanya  dari  kulikan jempol jemari di google search yang penulisnya entah siapa

Tidak  hanya beritanya,  Kejadian lengkapnya bisa ditonton lewat video. Bahkan zoom-nya bisa bisa mengalahkan media televisi. Yang beritanya,  lebih lengkap dari  laporan live media benaran.

Yang berita ginian kalau di media benaran dinamai dengan  “breaking news, Wartawan beneran yang menyusun tulisannya  sering terlambat karena ada jebakan  lima we satu h.

Harus  lead atau teras berita. Pakai rangkaian kata penghubung. Background case Dan harus dirapikan oleh editor  dalam memindahkan kalimat dan sebagai. Standarlah.

Tapi di media sosial itu tak perlu. Mereka menuliskannya secara berantakan. Siap dicaci  oleh pengulik karena gaya kesantunannya sering kurang ajar.

Dan siap pula mendapat keplok dari kaum netizen yang terbelah. Medsos kalau kita boleh menyimpulkan erat memegang semboyan: sebaik-baik orang pasti ada kesalahannnya. Dan sejahat-jahat orang pula pasti ada kebaikannya.

Dan itulah ceruk yang dimakan medsos. Ceruk dari pikiran pembaca yang terbelah.

Perbedaan lain yang mendasar, media benaran memerlukan izin plus legalitas dalam penyebaran informasi. Media sosial bisa menyebar informasi tanpa menyertai identitasnya

Asiknya, media sosial ini masih diramaikan oleh buzzer Buzzer yang dikaitkan sebagai citra negatif dari media sosial.

Buzzer yang menulis hoax dan punya jaringan yang beranak pinak. Jaringan yang bersilangan dari akar, batang cabang dan ranting dengan berita hujat.

Yang kebenarannya menjauhkan pembacanya dari kebenaran. Kebenaran yang disuarakan media beneran dari jalan jurnalistik beneran

Kalau Anda ingin tahu lebih mendalam tentang buzzer ini baca saja hasil sebuah penelitian yang dilabeli dengan insight indonesia

Anda boleh menuding tulisan-tulisan mereka hoax. Tapi Anda juga harus tahu bahwa tulisan itulah yang dicari banyak orang-orang yang “otak” terbelah.

Kondisi ini sepertinya makin mendekatkan cibiran banyak orang bahwa dunia jurnalisik makin mendekatkan dirinya pada penuaaan.

Anda tahulah, penuaaan itu ujungnya adalah keringkihan. Kringkihan itu adalah ujung dari kehidupan.

Lantas ada tanya lain.

Apakah jurnalistik itu mememang sudah ringkih untuk kemudian mati?

Anda dan saya tentu tak ingin jurnalistik mati. Kematian oleh media sosial. Kematian oleh kencing buzzer.

Jawabannnya ada pada slogan suci  kaum penulis “journal ia a never die”

Atau seruan teman saya Bre Redana yang bernama beneran Don Sabdono, “old journalist never die.”

Exit mobile version