Site icon nuga.co

Jalan Wobaksot Aminullah Usman

Sudah dua bulan saya membiarkan waktu berlalu.

Waktu untuk tidak menulis tentang Banda Aceh di ujung periode seorang walikota.

Ujung periode kepemimpinan Pak Amin Begitu saya menyapa sang walikota Aminullah Usman, Ujung periode untuk membiarkannya pulang. Pulang dari jabatannya sebagai walikota.

Toh, waktunya untuk pulang kan tersisa dua bulan lagi. Dua bulan untuk wobaksot.

Bukan wobak”soh.”

Sebab dalam pesan indatu saya jalan wobakshot itu harus elegan. Apapun tugas yang diemban sesorang.

Sedangkan jalan wobak”soh”…anda sendirilah yang tahu maknanya.

Sebagai teman saya ingin pak Amin pulang wobaksot, Pulang dengan kepala tegak, Pulang dengan tepuk  “say hello.”

Bukan pulang lewat pelototan bisik tentang ada yang tersisa dari kerja lima tahunnya. Sisa kerja tentang ini dan itu. Ini dan itu yang menjadi gibah. Yang kalau itu benar bisa membuatnya celaka.

Sebagai teman saya tak ingin pak Amin celaka. Karena saya tahu ia personal yang takzim.

Takzim ketika saya datang ke rumah dinasnya disuatu hari. Takzim ketika ia me”pause”kan meeting untuk datang menyapa saya setelah melirik cctv ruang tunggu.

Takzim juga ketika ia menyapa, bersalaman dan menggiring saya ke meja kongkow-kongkow di setiap minggu “car free day” jalan tengku daoed bereueh

Meja para pejabat yang saya selalu menolaknya karena nggak mau membuat pembicaraan mereka tergagap. Tergagap karena saya bukan bagian dari pejabat.

Tentu takzimnya seorang Amin bukan harus menggerus jalan hidup saya sebagai jurnalis. Sebab jalan jurnalis saya sudah final.

Final untuk menempatkan kawan dalam jarak terjaga. Profesionalitas.

Untuk itu, sejak bebas dari belenggu sebuah institusi media saya memilih jalan lurus untuk bicara yang benar itu benar. Dan yang salah itu manusianya.

Untuk itu pula dikesempatan menulis saya nggak pernah tercerabut dari akar profesi untuk berkompromi. Berkompromi dengan siapa saja. Termasuk dengan pak Amin.

Saya selalu menghindar dari api kultur politik yang kini makin jelas arahnya. Berkomplot.

Dan saya menghindar dari transaksional apa saja yang  sangat mengakar di bumi negeri ini

Termasuk kultur hipokrisi masyarakat saya. Masyarakat jurnalis dalam mengunyah segala keruwetan yang berpilin dalam kepentingan menyesatkan.

Kepentingan untuk kompromi apa saja.

Saya nggak mau itu.

Juga nggak mau untuk tidak menulis lagi tentang Banda Aceh setelah terapungnya banyak penggunaaan dana. Untuk kemudian ditarik-tarik.

Dicarikan pos anggarannya.

Disepakati secara komplot untuk kemudian dibungkus  dengan atas nama pos entah apa. Yang juru tulisnya sangat cerdas mencantumkannya label program.

Seperti yang terjadi pada dana anggaran ganti rugi tanah dan bangunan sebuah hotel.

Pengalihan dana anggaran. Dari dana pengadaan barang dan jasa. Yang menurut para ahli anggaran tidak prosedural. Yang aturan plus pasalnya bisa dikaji benar atau salah.

Seperti yang pernah saya baca di sebuah media bernama “koran perangi korupsi.” Koran dengan jargon anti korupsi yang menulis “permainan” anggaran ganti rugi sebuah hotel di bantaran  krueng daroy.

Hotel Darut Donya Palace. Milik Aris Maulana Shidiiq.

Ganti rugi yang sengkarut anggarannya. Sengkarut pembayarannya.  Dan sengkarut juga dengan jumlah dana yang dibayarkan.

Sengkarutnya tambah panjang karena menjadi dakwa dakwi di tangan pengacara di awal pembebasannya. Dakwa dakwi yang membuka aib tentang adanya sejumlah fee yang dimakan predator.

Dakwa dakwi yang sempat diadukan ke polisi karena keangkuhan penguasa yang memagar lokasi hotel di awal tahun lalu.

Sebagai wartawan yang bacaan baku saya dari kitab depthnews, crosscheck dan indepth reporting  kasus ini sempat terabaikan.

Saya nggak mau menulis tanpa pedoman yang benar. Saya juga nggak mau beropini dan larut dalam gibah tulisan. Apalagi gibah tentang pak Amin yang punya jargon baru kota gemilang.

Kota gemilang dengan benderang lampu ditengah kota, Kota gemilang yang mempermak peunayong menjadi riverwalk.

Riverwalk yang tak hanya menjadikan krueng aceh sebagai tepian indah permainan cahaya, Tapi juga permainan anggaran.

Anggaran untuk sebuah kota kuliner.

Kota seribu keude kupi.

Kupi saring yang dipertontonkan hingga ke pelosok negeri yang menyebabkan Sandiaga Uno larut dalam tawa menuangkannya ke gelas pelanggan.

Yang, ketika saya tanyakan kepada seorang pejabat yang sudah pensiunan, tak dapat menghimpun data rupiah yang sudah dialirkan.

“Cukup besarlah bang,”katanya dengan senyum dikulum. Dan menambahkan taklimatnya: kan bayaran award banyak.

Yang saya jawab dengan pendek: ya,,iyalah.

Iyalah untuk kota yang banyak menerima award dan disenangi oleh banyak rekan wartawan.

Rekan  wartawan yang juga denang dengan award sebagai permainan jata,

Yang kalau ditanya dengan nyak-nyak di pasar mahirah akan tergagap sembari mengembalikan tanya.

“Peu nyan awad”

Nyak-nyak yang  hanya tahu tentang boh sunti dan on rumpon yang tak bisa mengeja huruf “er” dalam kata award. Nyak-nyak yang mengumpulkan peeng bicah.

Yang digusur dari peunayong untuk kemudian ditelantarkan di pasar mahirah.

Nyak-nyak yang nggak tahu berapa anggaran ganti rugi  hotel darut donya palace yang hitungannya em-em-an. Yang hanya menjadi dehem saya.

Em yang berangka enam ditambah sembilan dan dua tiga plus enam nol yang mengikutinya.

Ganti rugi hotel darut donya yang hingga hari ini belum merangkak jadi kasus karena timbunan kerja ka-pe-ka yang sejibun.

Ka-pe-ka yang lebih senang membuat kasus naik ke penyidikan lewat tangkap tangan. Tangkap tangan yang memudahkan menetapkan tersangka, saksi-saksi dan alat bukti.

Apakah sengkarut hotel darut donya palace layak untuk dijadikan kasus?

Saya nggak berhak untuk menjawabnya. Karena saya jebolan strata hukum bidang  tatanegara. Bukan pidana. Tapi saya tahu sedikit-sedikit dengan pidana karena dosen saya dulu Baharuddin Lopa.

Lopa yang jaksa tinggi di Aceh usai menjadi bupati termuda, terjujur di sebuah kabupaten di sulawesi selatan. Lopa yang menjadi dosen paruh waktu di fakultas hukum dan pengetahuan masyarakat universitas syiah kuala.

Lantas bagaimana dengan posisi ganti rugi yang sengkarut di bantaran krueng daroy itu?

Entahlah.

Sebenarnya saya ingin menulis secara lengkap. Bukan versi koran perangi korupsi yang tak langsung menghimpun jawab dari akar sumbernya.

Akar tunjangnya dan akar cabang. Bahkan akar serabutnya.

Anda kan tahu sumber-sumber itu. Ya, pak Amin yang walikota, asisten yang pejabat pembuat kebijakan. Juga anggota terhormat.

Saya memang sempat tanya sana dan tanya sini. Pukul samping. Jawabannya persis seperti yang ditulis koran perangi korupsi.

“Asal anggaran pengadaan barang dan jasa. Dipindahkan. Di bikin anggaran baru. yang jumlahnya sekian,….pak,” katanya.

Kata yang juga saya tanya benar atau salah kepada seorang teman lain yang sering menghitung meluruskan anggaran.

“Benar pak. Tapi saya nggak tahu apakah ada unsur korupsi atau tidak,” katanya mengelak ketika saya cecar dengan pertanyaan bagaimana prosedur anggaran yang benar.

Tentu tidak hanya masalah ganti rugi pembebasan tanah itu saja yang saya dapatkan dari jalan nggak elegan dari wobaksot pak Amin.

Sengkarut tunjangan khusus aparat sipil negara pemerintah kota Banda Aceh masih belum lagi terurai. “Sudah macet. Pemda sepertinya nggak punya duit. Sudah lima bulan,” kata seorang teman saya yang terpaksa minta pinjam duit.

Pinjam duit karena rencana anggaran rumah tangganya jebol. Jebol berantakan karena penghasilan bulanannya mengalami tekor. Nggak pulang pokok.

Mengenai tunjangan khusus saya pernah menulisnya. Memang ada reaksi. “Cuma dibayar satu bulan,” kata sang kawan, Masih tersisa lima bulan.

Lima bulan yang rinciannya tiga bulan tahun berlalu dan dua bulan untuk tahun anggaran berjalan.

Kan hari dan bulan terus berjalan.

Kalau sampai setahun?

Sebuah media sosial  ajnn menulisnya tanpa mampu memberi jawaban. Karena jawaban itu milik pak Amin.

Kalau saya diberi kesempatan menjawab: semoga nggak menimbulkan celaka.

Celaka untuk wobaksot.

Dan ada celaka lainnya.

Celaka setelah sebuah podcast media online menampilkan wawancara seorang akademisi yang diberi judul: di tangan pak Amin pemerintah kota Banda Aceh Bangkrut?”

Online itu bernama media aceh.com.  Podcast-nya “pehTem”

Saya tak tahu apanya yang bangkrut. Kan slogan Pak Amin ada gemilangnya.

Gemilang yang ditulis banyak media di Banda Aceh. Media koran, online bahkan hoax.

Gemilang juga untuk bongkar pasang pejabat. Bongkar pasang yang sekrupnya tak bergerigi dan menjadikannya tak pas untuk disambung.

Sehingga sambungannya hanya bisa terhubung dengan nama pe-el-ha atau pe-el-te.

Yang kalau ingin jelasnya tanyakan kepada pemangku kepentingan.

Pemangku kepentingan walikota.

Entahlah pak Amin yang teman saya itu.

Pak Amin yang dua bulan lagi akan ditabalkan dengan predikat mantan.

Mantan yang kembali ke gampong asai Lampaseh…..

Exit mobile version