Hari-hari ini saya makin suka dengan style pak Aminullah mempromosikan Banda Aceh sebagai kota gemilang. Kota gemilang yang saya tak tahu dimana pangkal dan ujung peta jalannya
Peta jalan dalam bahasa kerennya “road map.”
Peta jalan yang ketika saya cari di google search langsung menyapa dengan judul “buku satu dan dua master plant smart city” Pemiliknya bappeda Banda Aceh.
Saya “ge er” dan mengejar apa isian “master plant smart city” itu dengan jempol jari. Ujung pencarian berakhir di kalimat, “tidak ada koneksi data.”
Anda tahulah tafsir kalimat ” tidak ada koneksi data” itu. Yang disertai gambar burung terbang. Yang “soh.” itu
Walau pun “soh” saya tak mau menyerah berselancar di google search untuk mendapat sahihnya peta jalan kota gemilang itu. Mencari dan mencari hingga penat jempol jari menguliknya. Tak ketemu. Dan bersiul damai membisikkan syair lagu “hampa.”
Lantas saya bisikkan ke google search, ados untuk mengalihkan pencarian lewat cara cula calo.
Cula calo dengan para penata kota gemilang ditingkat akar rumput.
Langkah awalnya saya menghubungi seorang teman dengan status pejabat. Dering hape tersambung. Tentu Anda ingin tahu jawabannya
“Jangan tanya sayalah pak,” katanya dengan memelas. Memelasnya seorang pejabat “apit awe” yang dulunya sering berkomat kamit sembari mengacung jempol bagi kata gemilang
Walaupun saya gelitik dengan canda gura sang “apit awe” tetap tak bergeming. Dari termakan pulsa saya sudahi aja sapaan ini dengan salam.
Tak putus nyali. Saya mengejar lagi peta jalan ini ke seorang yang pernah mengiyakan promosi kota gemilang lewat anggaran. Baik yang bernama rutin maupun proyek.
“Kalau teknis road mapnya bukan saya orang yang pantas abang tanya,” ujarnya dengan tutur yang santun. Saya tahu apa yang ada dibalik jawabannya. Penolakan.
“Nge”bathin, saya mengingatkan diri sendiri nggak usah jutek dengan kerja bagus dan hasil bagus orang. Kerja “bagus” pak Amin dalam tanda dua petik. Kerja sang walikota untuk memberi label baru Banda Aceh.
Label baru yang meminggirkan label “meugampong” serambi mekkah.
Label kota gemilang bagi pak Amin mungkin lebih keren.
Keren bagi promo kota seribu “waroeng kupi.” Kota benderang lampu jalan led strip. Plus penataan riverwalk peunayong.
Promo “peumulia jamee” dengan kupi saring,
“Hanya itu?” tanya seorang sahabat gaek dipertengahan kongko tanpa tema di sebuah pagi kala menostalgiakan Banda Aceh ke Koetaradja.
Kata “hanya itu” yang datang ketika menyenggol kota gemilang usai buncahan oral yang datang dari memori tentang Koetaradja atjeh spoor, es krim liang yu, nasi gurih pak daham sinar pagi, kopi si a lok dan rex peunayong bernasi goreng si busuk disertai mie bang kade.
Kata “hanya itu” juga yang membuat kekecewaan saya tambah galak ketika menekan jemari di google search dan menemukan berita di sebuah media top dengan tulisan puja pujo kota gemilang.
Pujo pujo tentang proyek enam puluh milyar. Proyek yang sudah ditender. Proyek pusat kulineri di lahan bekas pasar ikan peunayong.
Saya nggak percaya aja media se”topcer” itu masih berkutat seperti corong humas dalam mengemas berita. Berita pasaran yang anak baru hafal lima we satu ha bisa menulisnya jauh lebih baik.
Saya tak ingin menyebut nama media itu. Takut terhubung masa lalunya saya kala menjadi tukang aduk semen untuk menyusun bata bangunannya
Cuma saya nanar menatap nama reporter yang menuliskannya karena tidak memakai inisial. Kalau mencantumkan inisial mungkin saya harus mengeja agar ketemu dengan sosoknya.
Ini sudah benderang. Benderang pula ketika saya mendehem… kok nggak ada unsur investigatornya. Tulisan standar setelah tiga puluh tahun lebih media itu menjadi bangunan menterang.
Kekecewaan saya makin bertambah kala melihat banner foto sederet pejabat mengelilingi kertas blueprint di atas sebuah meja dan takzim mendengar ocehan atasannya yang berbaju batik digantungi emblom didadanya.
Ocehan tentang pemanfaatan lahan bekas bangunan pasar ikan yang masuk dalam program revitalisasi krueng aceh untuk dijadikan pusat kuliner
“Tempat akan dijadikan pusat kuliner sebagai sambungan program-program yang dulu pernah diagendakan”
Ocehan pakai kata insya allah dan doa dukungan untuk dilaksanaan tahun ini.
Doa yang saya balas lewat bisikan semoga sang pejabat itu selamat wobaksot. Selamat agar tidak soh.
Doa yang sama tapi bukan dalam bisik dari anak asok lhok penjual eungkot di pasar mahirah yang menghunus kemarahan ke balai kota. Pedagang eungkot yang merampok lahan di mulut gerbang tempat pelelangan ikan Lampulo dua bulan lalu
Pedagang ikan yang membuncahkan sorak terzalimi dan karena hidupnya terpinggirkan di pasar mahirah.
Tentu saja sorak buncah ini tidak hanya datang dari pedagang ikan. Pedagang sayur dan buah juga bersorak dalam doa karena raseukinya menguap dan lebih banyak menerawang mengingat masa indah hidupnya di peunayong.
Pedagang yang ditelantarkan harapan hidupnya ketika para pejabat kota itu membentang peta proyek di bekas lahan raseuki mereka dulunya dan telah tertutup jalan untuk pulang.
Jalan yang ditutup oleh proyek berpuluh milyar dengan harapan pendapatan daerah dan perbaikan kehidupan warga kota akan meningkat. Entah basis apa yang dijadikan pijakan perbaikan hidup ini.
Saya nggak tahu karena tidak menemukannya dalam pelajaran ekonomi micro.
Tidak hanya anak pasar mahirah yang bersorak terzalimi. Anak pemakai jalan Lambhuk – Ulee Kareng juga menjeritkan kemacetan karena janji pelebaran jalan tak kunjung datang dalam janji yang terselubung dalam pembenaran tak ada dana pembebasan lahan.
Jalan yang kalau Anda datang dan pulang di pagi dan sore harus memubazirkan usia oleh macet yang berpilin-pilin. Dan akan dikenang oleh para pemakainya ketika si pejabat wobaksot sebagai janji palsu.
Tentu bukan janji palsu untuk banyak “jamee” yang di”peumulia” pejabat. “Jamee” yang digamit ke keude “kupi saring” sekelas Sandiago Uno. Yang memberi acungan jempol dalam gelak kenikmatan mengangkat adukan saringan kain ke gelas kopi.
Bukan pula tentang janji pencairan dana tunjangan prestasi kerja yang dihimpun berdasarkan absensi atau daftar kehadiran Tunjangan yang ngadat selama lima bulan terakhir dan baru terbayarkan untuk satu bulan.
Tunjangan tak terbayar yang kini menjadi jerit aparat sipil negara di lingkungan pemerintah kota. Jerit utang yang tak berani dijadikan demo karena bisa mengancam posisi jabatan dan lingkungan kerja mereka.
Utang tentang akurasi absensi yang ditebus lewat eska para kepala tata usaha di masing-masing tupoksi kerja.
Dan bukan janji palsu juga untuk benderangnya Banda Aceh oleh siraman lampu led strip.
Lampu led strip dan kupi saring yang menjadi tema dibanyak media untuk menyenangkan si pejabat. Bukan pasar mahirah dan jalan lambhuek – ule kareng yang membuat miris.
Miris karena si pejabat akan wobaksot
Entah leh jeut wo bak pangkai……