Partai Keadilan Sejahtera gagal menyembunyikan friksi antar faksi di internalnya, usai “pertengkaran” panjang dengan Setgab Koalisi mengenai berbagai kebijakan pemerintahan, dan makin mengental dalam kasus kenaikan harga bahan bakar minyak yang disahkan DPR Senin malam lalu.
Dua faksi yang saling memosisikan diri sebagai “pemilik” sah PKS, Anis Matta dan Tifatul Sembiring, makin kencang saja melempar komentar disertai sindiran mengenai perbedaan langkah yang mereka tempuh dalam hubungannya dengan kesepakatan koalisi.
PKS yang sering menyempal dalam berbagai isu Setgab, menemukan dirinya sebagai partai yang dihujat secara “keroyokan” karena bermain dalam dua kaki dan memanfaatkan keuntungan citra populis sebagai partai kerakyatan.
Sikap PKS ini dicemooh hampir seluruh komunitas pengamat dan mereka mengatakan dengan kasar partai ini sudah sangat keterlaluan dalam menyikapi langkahnya sebagai pemerintah. PKS, menurut pengamat, bermain dipijakan retorika dan mengikis akal sehat tentang aturan main yang tertulis di Setgab Koalisi.
Menyempal dari koalisi mereka juga bermain dengan retorika tentang posisi menterinya di kabinet. Mereka enggan menarik menterinya padahal mereka tidak lagi sebagai pemerintah. Sulit menerima retorika PKS yang bermain dengan kata-kata pembenaran diri.
Penyempalan PKS dari Setgab kali ini, menurut para pengamat, adalah yang terakhir. Mereka hanya menunggu waktu untuk ditendang. SBY sedang mempermainkan mereka menjadi obyek opini dan sedang merusak citranya sebagai partai yang amanah.
Secara internal PKS memang tak mampu lagi menyembunyikan keretakannya.. Di tingkat elite suasana tengah panas. Ada tiga kubu yang terbentuk, kubu Tifatul Sembiring, Anis Matta, serta kubu yang berada di tengah. Perseteruan terjadi antara kubu Tifatul dengan Anis.
Anis Matta memang berupaya menjaga citra dirinya sebagai pemersatu, tapi orang tahu Fahri Hamzah maupun Mahfudz Siddiq adalah representasi dirinya dalam berkomentar keras.
Sedang kubu tengah ini rata-rata bersikap wait and see. Misalnya saja Wakil Ketua DPR Sohibul Iman dan Ketua FPKS Hidayat Nurwahid.
Keretakan ini sebenarnya terjadi sudah lama. Tapi semakin meruncing dengan isu BBM. Anis berkeinginan Tifatul mundur dari kabinet. Tapi Tifatul memilih bertahan. Tifatul juga berseberangan dengan apa yang disuarakan Anis soal penolakan kenaikan BBM.
Lontaran dan sindiran antara kedua kubu juga muncul ke publik. Yang terakhir, Mahfudz yang meminta tiga menteri asal PKS bersikap santai soal kegalauan di kabinet.
“Pesan saya untuk tiga orang itu, santai aja, Bro,” kata Wasekjen PKS, Mahfudz Siddiq, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan.
Pernyataan Mahfudz ini boleh dibilang cukup keras. Mahfudz seolah menyindir Tifatul yang dalam beberapa kesempatan menyuarakan bahwa mendukung kebijakan pemerintah, yang notabene disikat habis PKS.
Tak hanya Mahfudz, Fahri juga menyindir Tifatul. “Tanya Pak Tifatul saja. Urusannya apa cooling down sama APBN-P? APBN-P kan sudah jadi, Bos?,” kata Fahri.
Sedang Tifatul juga tak kalah keras. Tak seperti Mensos Salim Segaf dan Mentan Suswono, Tifatul komplain soal sikap FPKS yang menolak kenaikan BBM. Bahkan Tifatul berucap akan ada evaluasi.
“Jadi nanti akan dievaluasi, semuanya akan dievaluasi,” kata Tifatul kepada wartawan di Gedung DPR.
Sementara itu Kepala Bidang Humas PKS Mardani Ali Sera yang dikonfirmasi adu kuat kubu tua dan kubu muda, kubu keadilan dan kesejahteraan hanya menjawab diplomatis.
“Adanya fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan,” jelas Mardani.
Mardani menegaskan, baik politisi PKS di parlemen atau di kabinet sama-sama taat konstitusi. Parlemen merupakan lembaga kontrol pemerintah sedang menteri membantu presiden.
“Pak Tif, Pak Mahfudz, Pak Anis, semua kader terbaik PKS. Peran dan tugasnya saat ini memang berbeda,” tutup Mardani.