gambar ilustrasi kesibukan di pelabuhan aceh zaman kejayaannya
———–
Berita milad-ulang tahun- ke empat puluh lima gerakan aceh merdeka, yang diakronimkan dengan gam, empat desember, pekan kemarin, berlangsung hambar
Di banyak tempat. Tanpa konsentrasi massa. Juga tanpa pemusatan peringatan.
Saya sendiri melewatkan berita itu karena tak ada gairah untuk menuliskannya.
Alasannya, tak ada greget. Hanya simbolik untuk sebuah eksistensi.
Tak ada orasi yang menghunjam.
Para petingginya juga hadir berpencar.
Bahkan, tokoh sekaliber Malik Mahmud Al Haythar, yang kini memangku jabatan Wali Nanggroe, sebuah jabatan prestesius, hanya mengirim teks pidato bagi mereka yang berkumpul di desa Meureu, Indrapuri, Aceh Besar.
Sedangkan tokoh lainnya, Muzakir Manaf, yang ditataran akar rumput akrab disapa Mualem, dengan jabatan pimpinan puncak komisi peralihan aceh dan partai aceh, berada disebuah tempat lain.
Pilihan Malik Mahmud mengirim teks pidatonya ke Meureu memang beralasan.
Disengaja.
Ia seakan membisikkan ke Tengku Chik tentang perjuangan yang belum selesai. Perjuangan kemakmuran ketika jalan berbeda ditempuh oleh para pejuangnya
Juga disengaja karena di sanalah tokoh legendaris gerakan, Tengku Hasan Muhammad di Tiro, berjirat.
Sang legenda memilih Meureu sebagai “rumah” terakhirnya. “Rumah” peristirahatannya.
Rumah kiprahnya untuk mencari kedamaian kubur usai mengantarkan Aceh ke jalan damai di enam belas tahun silam.
Hasan di Tiro sendiri berpulang awal Juni sebelas tahun lalu, di usia sepuh, di Banda Aceh
Saya tak ingin menulis panjang secara spesifik tentang tokoh beserta rentang jalan panjang gerakan.
Terlalu banyak rujukan yang harus menyertai tulisan tentang gerakan ini. Juga terlalu banyak kontroversi yang memerlukan testimoni untuk menghasilkan pelurusan jalan bengkok sejarahnya.
Dan saya tidak ingin terjebak di jalan bengkok itu
Saya ingin memotong semuanya sembari melihat dengan jujur apa yang terhampar sebagai produk perdamaian untuk kemaslahatan rakyat Aceh selama enam belas tahun terakhir.
Enam belas tahun usai damai. Usai retorika perjuangan. Usai lahirnya sebuah produk undang-undang pemerintahan aceh. Undang-undang bernama populer otonomi khusus.
Otonomi yang dibayar Jakarta untuk menjinakkan keliaran interpretasi alur memorandum of understanding. Memorandum untuk sebuah harga diri.
Dan memorandum ini pula yang menjadi pijakan kebijaksanaan Jakarta secara meyeluruh untuk Aceh.
Kebijakan yang menyentuh hingga ke alokasi anggaran yang hitungan berangka triliun rupiah. Anggaran besar ini pula yang menempatkan Aceh diposisi enam besar provinsi penerima duit pusa.
Dana yang diperuntukkan bagi lima juta dua ratus tujuh puluh ribu penduduknya.
Dana untuk memberangus kata miskin untuk provinsi yang penduduk hanya setengah penghuni Jakarta dan di bawah angka penduduk kota dan kabupaten Bekasi.
Sengaja kita menghamparkan jumlah penduduk dengan anggaran yang dihimpun provinsi, kabupaten-kota dan desa. Tentu non dana otonomi khusus.
Seluruh dana anggaran inilah yang menempatkan Aceh sebagai provinsi berlimpah duit.
Saya sengaja tidak ingin menampilkan rincian duit secara spesifik. Ambil saja anggaran provinsi yang mencapai angka tujuh belas triliun plus dana desa lebih dari enam triliun.
Anda tinggal menambahkannya dengan dana otonomi khusus, yang hingga akhir tahun ini sudah mencatat angka empat puluh tujuh triliun rupiah, sepanjang ia dianggarkan. Kemudian himpun pula berapa anggaran kabupaten.
Komparasikan. Dan runut hitungan untuk satu tahun, dua tahun, tiga tahun atau lima tahun.
Lantas, dari besaran dana itu benturkan dengan produk yang dihasilkannya.
Satu kata cukup untuk semuanya. Kemiskinan.
Provinsi termiskin. Nggak usah secara nasional. Cukup untuk sebuah region bernama Sumatera.
Untuk pembenaran Aceh provinsi termiskin Anda bisa membuka data statistik produk domestik regional bruto perkapita.
Setelah mendapatkan angka tak usah repot mencari perbandingannya. Tarik saja garis sejajar dengan provinsi Bengkulu atau pun Bangka Belitung.
Anda nggak usah terkejut membaca analisisnya. Aceh terbawah. Termiskin.
Lewat analisis itu Anda juga akan tahu bahwa kontribusi ekonomi Aceh mayoritasnya masih ditopang oleh pertanian untuk selanjutnya perdagangan.
Saya sengaja memberi gambaran ini secara kasatmata. Sekasatmatanya taklimat awal yang kita canangkan.
Taklimat yang juga menjadi pijakan perjuangan gerakan aceh merdeka ketika Hasan di Tiro memroklamasikan Aceh sebagai sebuah entitas negara.
Entitas tentang kedaulatan. Di perbukitan Halinon, Pidie, empat puluh lima tahun silam.
Entitas yang dicatat seorang penulis, Michael L. Ross, dalam tesis analisis tajamnya bertajuk “resources and rebellion in Aceh, Indonesia” di buku Understanding Civil War: Evidence and Analysis.
Sebuah tulisan yang ia simpulkan sebagai salah satu motivasi utama Hasan di Tiro bergerilya bersama gerakannya.
Isu tentang tidak berdaulatnya Aceh terhadap pengelolaan sumber daya alamnya. Isu Ini juga yang menjadi jargon untuk menarik dukungan massa.
Dalam deklarasi itu Hasan di Tiro mengatakan Aceh kian miskin di bawah kolonialisme Indonesia karena angka harapan hidup berada di angka tiga puluh empat tahun dan terus menurun.
Ia juga mengkritik Jakarta yang tak tahu terima kasih karena sejak merdeka telah menerima pendapatan yang luar biasa besar dari eksploitasi gas alam Aceh.
Nilainya. pada saat itu, diklaim mencapai lima belas miliar us dollar per tahun, yang dikecam Tiro hanya untuk membangun Jawa.
Selain tentang kedaulatan dan pembancakan sumber daya alam masih ada satu isu lain. Jawanisasi. Isu yang memantik elegenitas Aceh. Eleganitas dari the power Aceh tentang harga diri kebangsaan-nya .
Sebagai seorang jurnalis pasti saya nggak setuju dengan pointer isu terakhir ini. Sejak dulu. Sejak saya bertemu dan diskusi dengan Muchtar Hasbi.
Ia seorang cerdas. Intelektual sejati. Konsisten dengan sikapnya. Meninggalkan profesi menterengnya sebagai seorang dokter dan bersama Zaini Abdullah, yang juga dokter, memilih jalur perjuangan untuk sebuah kedaulatan Aceh.
Saya mengenang keteguhannya. Keteguhan kala mengepalkan tangan kalau bicara tentang “pencurian” harta Aceh. Gas alam di Arun. Minyak di ladang Rantau. Belum lagi pulp untuk sebuah pabrik kertas.
Muchtar Hasbi memang mempertaruhkan hidupnya untuk mengejar cita-cita kemakmuran Aceh. Pertaruhan ketika ia rela jadi martir tanpa gelar dan tanda jasa di tahun seribu sembilan ratus delapan puluh.
Hari ia menjadi martir dicatat sebagai tahun keempat ia menyandang jabatan perdana menteri gerakan.
Saya sengaja mengambil porsi sekelumit tokoh dan konsistensinya tentang celoteh kemakmuran aceh.
Sebuah cita-cita yang bukan “cet langet.” Mereka kukuh ingin mewujudkannya walau di ujung bedil.
Lantas muncul pertanyaan dipekan-pekan milad ini.
Apakah Aceh telah mendapatkan kata kemakmuran itu setelah enam belas tahun usai perang panjang itu?
Saya bergidik dengan pertanyaan ini. Sebab tahu persis bagaimana presisi Jakarta memepet perjuangan itu dulu. Perjuangan yang dihadang oleh pengiriman pasukan elit.
Semua kita terjepit.
Sebagai jurnalis muda yang mulai merangkak. Meniti karir di media lokal, region dan jakarta saya sering menghadapi dua front dalam melakukan investigasi reporting.
Front yang sama kerasnya. Sama taktiknya. Dan sama semantiknya dalam menarik pelatuk sumbu yang bernama “kekerasan.”
Kalau nggak percaya tanya kepada mereka yang memikul tanggungjawab itu.