Apakah Anda pernah berbohong ketika mengirim pesan atau tulisan melalui email? Kini, jangan coba-coba berbohong kala mengirim surat elektronik itu. Secara tersirat kebohongan Anda akan bisa dibuktikan lewat kata-kata dan frasa yang ada dalam baris kalimat di e-mail tersebut.
Kata-kata dan frasa bisa dipakai untuk mengetahui apakah seseorang berbohong atau menyembunyikan sesuatu.
Temuan tentang kejujuran atau kebohongan lewat kata-kata dan frasa di email ini disampaikan oleh para peneliti melalui artikel di jurnal Scientific American, dan sejalan dengan beberapa kajian lain yang dilakukan para pakar di Amerika Serikat.
Menurut penelitian, para ahli di Universitas Carnegie Mellon, Pennsylvania, orang-orang yang berusaha menyembunyikan kebenaran lebih sering menggunakan kata-kata yang bersayap dan tidak banyak menggunakan kata “saya” baik sebagai subyek maupun obyek dalam kalimat.
Orang-orang yang tidak ingin menyampaikan kebenaran juga cenderung menulis e-mail yang lebih banyak dan lebih panjang, lebih panjang dari e-mail yang biasanya mereka tulis.
Penelitian ini diikuti oleh 62 orang dewasa yang mengaku menyembunyikan rahasia besar dalam hidup mereka, mulai dari selingkuh, rahasia keluarga, hingga rahasia lain yang terkait dengan pekerjaan atau kasus hukum.
Tim yang dipimpin James Pennebaker ini sebelumnya mengkaji bahasa yang dipakai politisi dan pejabat publik.
Menurut Pennebaker, Presiden George W Bush tidak sering menggunakan kata ganti “saya” beberapa bulan menjelang invasi ke Irak.
Hal yang sama dilakukan Presiden Harry Truman sebelum Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima.
Berita yang mengejutkan lainnya dari email datang dari Biro Investigasi Federal Amerika Serikat ternyata bisa bebas mengakses e-mail, pesan Facebook, maupun Twitter milik warganya tanpa butuh surat perintah penggeledahan.
Hal itu tertuang dalam panduan milik agensi tersebut yang diungkap belakangan ini, seperti dilaporkan oleh ZDNet.
Meski dilakukan tanpa surat perintah, menurut FBI, pengaksesan e-mail tidak melanggar Amandemen Keempat Konstitusi AS yang melindungi warga negara dari “penggeledahan dan pemeriksaan tak beralasan”.
Pandangan yang sama juga berlaku bagi penuntut dan penyidik dari Departemen Kehakiman AS yang merasa tak perlu dibekali surat perintah dari pengadilan untuk mengakses data sensitif dan pribadi milik warga.
Dalam hal ini, sebuah surat panggilan (subpoena) dari jaksa federal sudah cukup untuk “mengakses seluruh rekaman dari penyedia jasa internet (ISP)”.
Biasanya, surat perintah penggeledahan yang ditandatangani hakim diperlukan agar sebuah perusahaan mau menyerahkan seluruh data pengguna, sementara surat panggilan hanya akan memberi akses ke “data komunikasi” seperti siapa lawan bicara, kapan sebuah percakapan terjadi, dan dari lokasi atau komputer mana hal tersebut dilakukan berdasarkan alamat IP.
Laporan ini mengemuka hanya beberapa minggu setelah permintaan FBI untuk memata-matai terduga hacker lewat spyware ditolak oleh pengadilan. FBI dikritik oleh hakim karena tidak menerangkan kenapa metode lain tak bisa dipakai dengan sama efektifnya.
Perusahaan-perusahaan teknologi memiliki pendirian sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Google, misalnya, mensyaratkan surat perintah penggeledahan sebelum mau membuka “konten e-mail” dan data-data pribadi lain milik pengguna.
Bersama Microsoft, Google menerbitkan “laporan transparansi” yang turut menerangkan berapa banyak permintaan akses data pribadi pengguna diajukan oleh otoritas-otoritas pemerintah di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.
Perusahaan lain, seperti Twitter, diketahui getol mempertahankan data pribadi penggunanya, bahkan ketika diminta melalui surat panggilan atau surat perintah penggeledahan.
sumber: bbc Indonesia dan zdnet