Adakah pemimpin seperti dia? Dia bukan seorang suci. Bukan Nabi. Ia mengakui bukan siapa-siapa. Ketika ditanyakan, apakah ia ingin jadi calon presiden? Tentang pertanyaan itu, ia menjawab tulus, “Saya takut tidak masuk surga!”
Ya, berulang kali sang pemimpin itu mengaku dirinya “miskin,” tak punya apa-apa. Tidak orang pintar. Juga dengan tegas ia mengatakan, tidak ingin menjadi siapa pun. Ia hanya ingin jadi dirinya sendiri. Karena ia tahu siapa dirinya.
Ialah Tri Rismaharini. Perempuan walikota yang datang ke rumah petak seorang “pelacur” tua di pinggir rel sebuah jalan kereta api yang kumuh. Perempuan yang menyambangi sang pelacur atas bimbingan Tuhan dan bertanya kenapa sang pelacur tua itu masih “praktek.”
Ketika sang pelacur mengatakan utangnya banyak, Risma spontan mengatakan akan saya bayarin. Ia tak puas dengan jawaban “streotip” itu Ia mengejar pertanyaan yang lebih “depth” atau lebih dalam dengan mengajak sang pelacur masuk ke kamar ukuran satu kali satu meter, dari “rumah” ukuran dua kali dua meter, yang bagian depannya dijadikan kios jualan.
Risma bagaikan Khalifah Umar bin Khatab. Ia bertanya dengan “hati.” Menggugah dengan perasaan. Dan menempatkan diri sebagai sahabat yang posisinya secara manusiawi setera dengan sang pelacur itu, yang namanya tidak ia sebutkan.
Sang pelacur membuka pintu jawaban setelah Risma bertanya tentang siapa langganannya.
Masya Allah. Risma tersedak. Ia kehilangan keseimbangan. Ia tak sanggup menatap wajah pelacur tua itu. Risma , kala itu, hampir saja terpekik. Tapi suaranya tercekat di kerongkongan kala dibertahu oleh pelacur tua itu siapa pelanggannya.
Dalam wawancara itu Risma juga kehilangan jawaban ketika didesak ole Najwa. Ia nanar. Sehingga Najwa Sihab, sang “host” dalam wawancara di Metro TV bertajuk “Mata Najwa,” Rabu malam, 12 Februari 2014, juga ikut larut. Berkaca-kaca.
Setelah menarik nafas dan membetulkan letak duduknya, sang walikota Surabaya selama tiga tahun terakhir ini, menguatkan hatinya untuk memberitahu menjawaban sang pelacur siapa langganannya. “Anak SD dan SMP.”
Subhanallah. Risma menangis. Menghapus airmatanya dengan selembar tissue lusuh dan seakan tidak ingin memanjangkan kata. Risma mengulang jawaban sang pelacur, ia butuh duit receh untuk hidup.
Adakah pemimpin seperti dia? Entahlah. Mungkin ada dan mungkin juga telah “peri” jauh. telah menguap. Terutama di negeri ini.
Pemimpin yang ketika dipaksa oleh “atasannya” untuk menutup pusat pelacuran terbesar di bawah atap langit ini, “Dolly,” ia menolaknya. Tapi Risma, sang pemimpin jualah menutup Dolly dengan “hati”nya. Dengan petunjuk Tuhan, katanya.
Dengan petunjuk Tuhan, ketika ia menemukan jawaban dari tanyanya tentang akar masalah yang menyelimuti pelacur di Dolly. Tentang siklus, pelacur akan melahirkan anak pelacur dan cucu pelacur.
Ia menemukan jawaban ini setelah mencari tahu akar masalahnya dengan meluangkan waktu jadi guru di tempat anak-anak pelacur sekolah. Ia menjadi guru dengan pendekatan empiris. Ia “masuk” ke dalam hati anak-anak pelacur itu.
Ia menemukan jawabannya. Jawaban dari “circle” kemelut yang harus dipotong lewat pendekatan sosioligis dan psikologis. Ia mendatangkan ahli ilmu sosial dan ahli kejiwaan untuk memetakan Dolly, yang pernah menjadi tesis seorang dosen Universitas Gajah Mada, Ashadi Siregar.
Dolly memang perkampungan besar tempat hidupnya pelacur, mucikari, preman dan pencari kenikmatan sesaat. Risma setelah tahu akar dari seluruh persoalan lewat kajian yang berpijak ke bumi mengambil resiko dengan menutup Dolly.
Ia menyiapkan semua infrastruktur bagi kehidupan warga di sana sebelum menutupnya. Tak ada gejolak besar. Yang ada riak kecil dari sikap “apriori” sedikit penghuni. Secara keseluruhan Dolly ditutup dengan “happy end.”
Itulah Risma. Perempuan walikota terbaik di dunia dengan lima puluh satu trofi domestik dan global. Walikota yang bagaikan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang ingin tak ada lagi kemiskinan berjelaga di negerinya.
Dengarlah ceritanya ketika di sebuah pagi bertemu dua anak gelandangan di sebuah pos Satpam. Ia bicara dengan “hati” seorang ibu dengan sang anak. Ia menggugah mereka untuk menyongsong hidup yang labih baik. Ia mendatangi keluarga sang anak. Bicara dengan pemimpin tingkat kampong dan membahasnya bersama dengan stafnya.
Dan di sepagi itu persoalan dua anak gelandangan itu selesai dengan menempatkannya di “asrama” negeri. Kini kedua sang anak, juga ribuan lainnya, menikmati hari-harinya sebagai “anak merdeka” dengan makan teratur tiga kali sehari, memakai baju seragam sekolah, bertas ransel, bersepatu dan sedang mengukir masa depan yang lebih baik.
“Itulah kerja saya. Saya mikirin itu. Berat. Lebih berat dari persoalan infrastruktur perkotaan lainnya,” ujar Risma dengan sebuah senyum tipis di bibirnya.
Risma memang bukan walikota sembarangan. Bukan walikota picisan. Bukan pemimpin yang mengonggok “rente” proyek untuk kepuasan dirinya. “Saya tak punya apa,” ujarnya setiap kali Najwa Sihab bertanya tentang suksesnya.
Ketika Najwa bertanya tentang rumor ia ingin mengundurkan diri Risma mengiyakan. Tapi ia tak tahu kapan waktunya. Tak tahu juga apa jadi atau nggak.?
Di “talkshow Mata Najwa,” itu ia memang tak lugas menjawab. Risma hanya menyiratkan keinginannya mundur. Berulang kali ditanya Najwa Shihab, sang pemandu acara, soal rumor ini, Risma meneteskan air mata. Ia mengakui, tugas yang diembannya sangat berat.
“Apakah Ibu memang pernah tebersit untuk mundur dari jabatan Ibu?” tanya Najwa.
“Tebersit pernah, bagi saya jabatan cuma titipan, jadi saya tidak bisa memaksakan. Kalau saya tak bisa, untuk apa memaksakan, kalau saya merasa tidak mampu,” jawab Risma.
Diakhir tayangan rekaman wawancara itu, Najwa kembali menanyakan niatnya untuk mundur. Berulang kali air mata Risma menetes. Ia menangis. Terutama, ketika ditanya, apakah ia masih berkeinginan kuat untuk mundur sementara banyak masyarakat kecil yang berharap padanya?
“Itu yang saya pikirkan. Saya cari mereka satu-satu. Anak yatim kami berikan makan tiga kali sehari, lansia, anak miskin bisa sekolah, anak miskin pandai kami berikan beasiswa. Bahkan, ada yang dikirim ke Malaysia untuk S-1 sampai S-3. Saya cari satu-satu. Saya minta ke lurah untuk mencari, saya nitip ke warga. Itu yang saya pikirkan. Itu saja yang jadi pertimbangan saya. Kalau yang lain, saya bisa ngatasin,” papar Risma.
Apa yang membebaninya? Menurut Risma, ada sejumlah risiko terkait jabatannya. Ancaman pernah diterima anaknya. Namun, ia mengaku ikhlas jika sesuatu terjadi padanya karena apa yang dilakukannya selama menjabat Wali Kota Surabaya.
“Saya sudah ikhlas kalau itu terjadi pada saya. semua hanya titipan, tinggal Tuhan kapan ambilnya. Itu rahasia Illahi. Saya tidak tahu nanti sore, besok. Saya sudah sampaikan, itu risiko (ke keluarga). Waktu saya nyalon kan keluarga saya tidak ikhlas. Tapi, saya enggak ngira kalau jadi. Setelah jadi, saya jalani saja takdir Tuhan,” katanya.
Ketika pertanyaan kembali mengarah pada keinginannya mundur, air mata Risma kembali menetes. Ini yang disampaikannya kepada para warga Surabaya.
“Saya selama ini sudah berikan yang terbaik untuk warga Surabaya. Semua yang saya miliki sudah saya berikan. Saya tidak punya apa-apa lagi, semua sudah saya berikan, ilmu saya, pikiran saya, bahkan kadang anak saya pun tidak terlalu saya urusi. Tapi, saya percaya, kalau saya urusi warga Surabaya, anak saya diurusi Tuhan. Saya sudah berikan semuanya, jadi saya mohon maaf,” katanya dengan berurai air mata.
“Saya mohon maaf saja kalau ada kurang,” kata Risma lagi.
“Ibu mau janji kalau Ibu tidak akan mundur?” tanya Najwa.
“Tidak mau,” jawab Risma.