-Penulisnya, Arminsyah bersama Darmasyah
Sudah lebih dua dekade saya tak pernah lagi tetirah ke Jalan Semarang. Saya tak tahu apakah di sana masih ada “Ajo” Nain, langganan saya, di awal delapan puluhan, penjual sate padang, yang tusukan lidinya di isi potongan lidah sapi, dan ketika disiram dengan kuah setengah kental menguapkan aroma, wuaahhh
Saya ingat betul, “Ajo” Nain, begitu kami memanggilnya, eksis dengan gerobak bergambar rumah “bagonjong” di kaca “steling”nya dengan tulisan,”Sate Padang Lamak Bana,” di tengah kerumunan masakan “hainan” dengan “cin cai” pengunjung keturunan yang gaduhnya minta ampun.
Jalan Semarang memang sebuah entitas kuliner pecinaan, mirip dengan kuliner Pacenongan di Jakarta atau kawasan Penayong, Banda Aceh, di era tahun enam puluhan
Ada sedikit rasa kecut, ketika di pekan pertama Februari lalu, saya mengajak Arminsyah, rekan satu profesinya di komunitas penulis untuk menelusuri kuliner jalan Semarang dengan janji ingin mencicipi sate padang.
Arminsyah, yang kini jadi penerbit dan usaha cetak, mengingatkan kami tentang Jalan Semarang hari ini, yang lagi menyisakan sate padang, nasi goreng melayu atau sate kuah kacang. Dengan sedikit meninggikan nada suaranya Armin, begitu saya menyapanya, menuding nun di sudut Jalan Pandu yang masih menyisakan “sate memeng.”
Saya tak peduli dengan kuliner pecinaan Jalan Semarang di Sabtu, pekan pertama Februari lalu itu. Kepada Arminsyah saya menegaskan ingin mengenang kembali Jalan Semarang, ketika di delapan puluhan saya masih berkantor di Jalan Perdana, Simpang Jalan Kesawan, arah Lapangan Banteng , dan bisa berbelok ke Jalan Masjid dimana terdapat Gang Bengkok, yang terkenal dengan kari “mamak” India Muslim.
Arminsyah akhir mengiyakan, dan bersedia menemani kami ke Jalan Semarang di “bakda” maghrib itu.
Saya terperanjat ketika mendapati jalan Semarang dengan kehiruk-pikukannya. Kami datang dari jalan Sisingamangaraja, terus ke Japaris, bertemu Sutomo dan masuk Jalan Pandu dan menghampiri Jalan semarang yang gaduhnya minta ampun malam itu.
Di benderang malam itu Arminsyah betul. Tak ada lagi persil kuliner lokal di pusat jajanan “hainan” itu. Semuanya serba bau bawang putih dan bau kangkung tumis serta capcai, cumi serta udah rebus khas “kanton.”
Kuliner lokal sulit didapatkan. Itu kesan saya ketika duduk di sebuah bangku kayu milik anak muda bernama Rustam yang masih eksis dengan sate padangnya. Saya sengaja tidak duduk di bangku kayu A Tek atau A Siong, karena takut dengan makanan non halal.
Malam itu saya menyaksikan sebuah “pesta” kuliner pecinan Medan. Beberapa orang yang “melayu” ketika kami temui mengatakan, ketagihan dengan menu yang sangat “cina” itu.
Sebut saja nasi bebek hainan, misalnya. Nasinya yang kecoklatan itu, menurut seorang pengunjung, yang kebetulan dari Aceh, kami tak menyebut nama, terasa gurih manis di lidah, sementara irisan daging bebek coklat tua kemerahan yang berkilat karena minyak terasa gurih dan lembut di lidah.
”Enak,” begitu komentar sang teman usai menyantap nasi bebek hainan di sudut kaki lima Jalan Semarang, di malam itu.. Ia datang bersama istri, anak, dan keponakannya. Dalam sekejap, nasi coklat muda berikut irisan daging bebek coklat tua yang berkilat karena minyak itu tandas.
Keluarga itu selalu ingin mencoba menu baru, saking banyaknya menu yang ditawarkan pedagang di sepanjang Jalan Semarang itu. Dari aneka macam mi, yang berkuah hingga kering, sate, masakan bebek seperti bebek peking atau bebek hainan, kerang, kodok, biawak, ular, nasi sayur, lontong sayur, hingga martabak.
Minuman pun beraneka ragam, mulai dari jus, bir, hingga minuman khas Sumut cap Badak. Semua memanjakan lidah.
Kegaduhan jalan Semarang memang sangat khas. Bahasa yang muncul pun aneka macam, mulai dari Hokkian, Batak, India, hingga Nias berdasarkan suku bangsa orang yang datang. Komunikasi disatukan satu sama lain dalam bahasa Indonesia.
Jalan semarang, sepanjang sekitar 200 meter itu, pagi harinya menjadi pusat penjualan onderdil kendaraan. Begitu toko-toko onderdil itu tutup, Jalan Semarang berganti menjadi pusat kuliner.
Mulai pukul 18.00, seperti dikatakan, Amin, seorang turunan yang membuka toko onderdil sejak kakeknya, para pedagang-pedagang menata pinggiran kiri-kanan jalan menjadi deretan meja kursi makan.
Kereta dorong makanan dan peralatan masak ditata di tengah jalan menyisakan gang di tengah jalan yang hanya cukup untuk melintas satu mobil. Aktivitas baru berhenti pada pukul 01.00 saat warung-warung kaki lima itu tutup.
Puluhan pedagang makanan sudah bergenerasi berjualan di situ. Amin menunjuk seorang perempuan, Ani, yang menjadi generasi ketiga sejak kakeknya memulai usaha kuliner lebih dari lima puluh tahun lalu. ”Dulu kakek saya, ayah saya dan kini saya yang mewarisinya,” kata Ani yang turunan dari suku Kek itu.
Jalan Semarang, menurut Sofyan Tan, seorang tokoh pembauran di Medan, memang sudah ada sejak tahun 1960-an. Jalan Semarang bagi Tan adalah sebuah kenangan ketika menghabiskan waktu bersama sang kekasih di pertengah-tahun tujuh puluhann setelah menonton film di bioskop.
Menurut Sofyan, kawasan kuliner awalnya ada di Jalan Surabaya. Sejumlah restoran di Jalan Surabaya berdiri sejak tahun 1930. Restoran-restoran itu melayani kelas menengah di Medan yang berbelanja produk-produk ”branded” di kawasan Jalan Surabaya yang memang terkenal sebagai pusat perbelanjaan elite.
Restoran kelas menengah berkembang mengimbangi perdagangan di Jalan Surabaya hingga kawasan Selat Panjang, yang hingga kini pun menjadi pusat kuliner di Medan.
Berbeda dengan Jalan Semarang yang menggunakan badan jalan, kawasan kuliner di Jalan Selat Panjang lebih pendek dari Jalan Semarang dan berada di ruko-ruko yang lebih nyaman karena permanen. Menunya pun aneka rupa khas pecinan, dari mi hingga bebek, dari makanan berat hingga kudapan aneka rupa.
Kuliner Jalan Semarang, kata Sofyan, muncul kemudian sekitar tahun 1960 dan berkembang pesat 1970 hingga 1980-an. Kebutuhan warga untuk makan selepas berbelanja diduga menjadi pendorong munculnya kawasan kuliner itu.
”Dulu juga ada tiga bioskop di daerah itu, Bioskop Kusuma di Jalan Surabaya, Bioskop Djuwita di Jalan Pandu, dan Bioskop Ria yang kini menjadi Ria Restauran di pojok Jalan Pegadaian,” kata Sofyan. Tiga bioskop itu mendukung keberadaan kuliner Jalan Semarang karena selepas nonton film, orang selalu makan di Jalan Semarang seperti yang selalu ia lakukan.
Meskipun kini bioskop-bioskop itu sudah tutup dan pusat kuliner baru dan mal bermunculan di Kota Medan, keberadaan Jalan Semarang tetap tak tergantikan. Jalan Semarang, juga Jalan Selat Panjang, menjadi salah satu ikon kuliner yang tak terpisahkan dari Kota Medan karena keunikan dan tawaran menu yang enak dan beraneka ragam.