Kenal Bondan Winarno? Si “Mak Nyusss” pemburu kuliner sekaligus jagoan citarasa makanan dan minuman seantero donya, yang suatu ketika kesengsem dengan bu gurih (nasi gurih) Aceh. Saking uu… eaak-nya, Bondan jika ke Banda Aceh menjadi langganan tetap bu gurih Rasyid, yang di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Kepada teman-temannya di Jakarta, Bondan, bekas wartawan surat kabar Sinar Harapan itu mempromosikannya secara inten untuk berburu bu gurih Rasyid. “Kalau berkunjung ke Banda Aceh cari saja bu gurih Pak Rasyid. Tanya kepada tukang becak, sopir taksi atau warung kupi mereka pasti akan mengantar Anda atau mengeja sket lokasinya tanpa meleset,” pesan Bondan kepada setiap sohibnya yang akan berkunjung ke Aceh.
Bondan juga memberi catatan dengan memilah kenikmatan kuliner Aceh ini dengan nasi kapau asal Minang. Sebagai pencicip citarasa masakan, Bondan juga mengingatkan beda ekstrim taste antara nasi kapau Minang dengan bu gurih Aceh.
Aromanya itu lho! Ada uap serai bercampur santan diiringi wangi kapulaga, bungong lawang klieng, pandan, daun salam dan cengkeh yang menjalar dari piring hidangan bu gurih dan merangsang selera makan hingga ke menarabas ke langit kenikmatan.
Setelah masuk kemulut rasakan sensasi rasanya dengan ujung lidah. Di sana ada rasa campur aduk dari bumbu arab dan india yang membuat pencicip kuliner serasa diaduk kenikmatan yang sulit dicari tandingannya.
Sebagai seorang yang amat kenal dengan nasi kapau, Bondan dilahirkan dan mengalami masa remaja di Padang, tokoh kuliner itu bisa memisahkan citarasa kedua masakan itu. “Memang mirip sih, tapi beda jauh. Dari rempah dan tata cara menanaknya juga beda, walau pun secara praktek sama-sama di kukus,” tulis Bondan beberapa tahun lalu di sebuah website wisata Jakarta.
Di situ pula Bondan Winarno menempatkan bu gurih sebagai makanan breakfast di rangking atas jajanan nusantara. Jajanan, yang ia katakan, bisa dihirup bersama aroma kopi Aceh yang “sssss…uup….”
Itu tentang bu gurih Aceh yang diidentifikasinya dengan warung Pak Rasyid sebagai langganan awalnya ketika menemukan kuliner ini dalam khazanah masakan nusantara.
Terakhir, Bondan sudah “pisah” dengan bu gurih Pak Rasyid. Ia lewat seorang teman menemukan warung baru di kawasan Jalan Sudirman, arah Mata Ie, persis di samping Rumah Sakit Fakinah. Warung itu milik Kak Ros dan menjual bu gurih yang dikatakan Bondan the number one.
Ketika di sebuah kesempatan ketemu dengan Bondan, saya tidak sohib amat dengannya tapi pernah saling kenal ketika sama-sama jadi wartawan ibukota, kami menggelitiknya dengan pertanyaan, “kok nggak pernah lagi nulis kuliner Aceh.” Spontan ia menjawab tentang temuannya, bu gurih Kak Ros. “Waaahhh… rasanya itu lho,” tanpa melanjutkan jawaban dan menegakkan jempolnya.
Bu gurih Kak Ros memang salah satu item dari sajian kuliner Aceh yang sangat sepesifik. Memulai usahanya sejak tahun delapanpuluhan Kak Ros, begitu nama wanita pemilik warung yang sangat sederhana di panggil, sudah malang melintang menjajakan bu gurihnya dan diakui sebagai salah satu yang sangat eksklusif di Aceh.
Selain masakan bu-nya yang standar untuk nasih gurih, Kak Ros masih menyimpan rahasia bagaimana kukus nasi setelah diaduk dengan santan dan dibubuhi berbagai bumbu itu di tanak. “Perapian dan waktunya juga harus diatur dengan disiplin. Bahkan setelah matang juga harus diinapkan,” katanya ketika kami mengorek rahasia masakan bu gurihnya.
Khusus untuk lauknya, selain manok gule yang sangat nyam-nyam tetap ada taburan serundeng, kacang tanah goreng, bawang goreng dan dipoles dengan sambal lado. Dengan rasa itu, khusus di pagi Sabtu dan Minggu, tiap akhir pekan, jangan pernah datang terlambat. Antrian dan kalimat hana le (tidak ada lagi) pasti membuat Anda balik pulang.
Memang beberapa kalangan baru beberapa tahun terakhir berkenalan dengan warung Kak Ros. Tapi begitu kenal langsung “nempel.” Bahkan, ketika saya mengajak seorang kawan eksekutif media di Jakarta makan pagi di warung Kak Ros dia langsung minta dibungkuskan untuk dirasakan ke keluarganya. “Nggak basi kan. Tahan sampai sore kan,” begitu ia bersinyiyir dengan seorang lelaki keluarga Kak Ros yang terus mengiyakan pertanyaan tentang daya tahan bu gurih ketika sang teman siap-siap berangkat ke bandara.
Jejak bu gurih dalam daftar kuliner Aceh, terutama di Banda Aceh, sudah berusia tua sebagai sajian breakfast. Di tahun enampuluhan hingga delapan puluhan bu gurih paling top bisa didapatkan di warung Sinar Pagi di Jalan Diponegoro. Kalau kita dari arah Jalan Merduati tempatnya beberapa pintu toko sebelum belokan ke arah Jalan Cut Meutia.
Warung itu, entah faktor apa, tutup dan tak ada yang melanjutkan. Rasyid, yang kini almarhum, adalah salah satu pekerja, kemungkinan juga famili dari pemilik Sinar Pagi, menyalin rahasia resepnya dan membuka usaha sendiri secara bergerilya dengan stelling numpang di banyak kedai kopi sebelum membukanya di toko yang sekarang.
Bahkan nasi gurih di Warung Mutiara di Jalan Diponegoro, sisi kiri dari komplek Masjid Raya Baiturrahman juga merupakan penerus Rasyid dan generasi ketiga dari Warung Sinar Pagi. Pemiliknya bu gurih di Mutiara itu dulunya pernah menjadi pekerja “magang” di Warung Rasyid yang ketika itu membuka cabang di ujung Jalan Tentara Pelajar, persisnya di tusuk sate Jalan Supratman.
Memang banyak jajanan bu gurih yang dijual di Banda Aceh di kala pagi dengan taste beragam, dan tanpa ingin menyempalkan peranan mereka memelihara khazanah kuliner Aceh ini kita hanya bisa menyebutkan beberapa warung yang standar dan terkenal serta disinggahi secara rutin oleh pembeli.
Hakekatnya, nasi gurih itu adalah makanan breakfast, tetapi akhir-akhir ini ada yang menjualnya sebagai pilihan kuliner lainnya di sore dan malam hari sebagai pendamping dari jajanan bu goreng. []