Infrastruktur? Aceh, sepertinya, masih harus bertarung dalam debat panjang untuk menempatkan program ini dalam agenda kebijakan pembangunannya untuk mendorong signifikansi pertumbuhan ekonominya. Aceh tidak akan pernah bisa membanggakan keunggulan komparatifnya bila tidak memiliki alternatif dari ketersediaan infrastruktur dasar yang “memadai”.
Kita sengaja menempatkan kata “memadai” dalam tanda dua petik, karena ada kesan pembangunan infrastruktur tidak berjalan simultan berdasarkan kebutuhan kewilayahan. Pembangunan infrastruktur di Aceh, seperti banyak dikritik selama ini, hanya direncanakan untuk kebutuhan proyek dan berdurasi jangka pendek. Tidak sebagai pembangunan primer yang terencana, berjangka panjang dan menjadi proyek multi years.
Ia juga menjadi suplemen dalam fragmentasi pembangunan di provinsi ini yang lebih membanggakan retorika basi tentang keunggulan letak geografis dan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Padahal faktor geografis dan kekayaan sumber alam itu akan menjadi “halusinasi” bila tidak mendapat akses dengan prasarana pendukung, infrastruktur, yang kini berkembang sangat moderen lewat sistem hub.
Banyak di antara kita yang pikun ketika membicarakan tentang keunggulan geografis dan kekayaan sumber daya alam Aceh. Kita terjebak dalam paradigma usang tentang faktor Selat Malaka sebagai lalu lintas paling padat yang menjadi bagian region kita, tapi sepanjang sejarahnya tidak kita manfaatkan dan tidak pernah mendapat manfaat darinya.
Kita alpa dalam setiap menyusun analisis prospektif tentang letak Aceh di ujung Sumatera. Kita tidak pernah secara komperehensif mengadakan debat produktif tentang letak Aceh di ujung kerucut Sumatera itu sangat tidak menguntungkan dalam konfigurasi proyeksi investasi, karena secara matematis cost yang harus dibayar oleh investor untuk membiayai distribusi produk jadi labih mahal.
Dalam istilah seorang teman, pengamat ekonomi Unsyiah, kalau tidak benar-benar mendapatkan margin besar “gila” apa yang di-idap investor untuk menanamkan duitnya di sini. Ia menyebut “hantu” cost transportasi pasti akan menjadi ketakutan mereka. “Kecuali yang datang itu investor hit and run. Investor spekulan seperti tambang-tambang kecil yang mudharatnya lebih besar dari manfaatnya. Itu namanya investor jin,” ujar sang teman dengan nada geram.
Kita ingin menyegarkan kembali tentang pertumbuhan pembangunan sarana transportasi Aceh yang ulur tarik di setiap periodesasi kepemimpinan negeri. Ulur tarik dari bermainnya kepentingan anggaran dan tidak fokusnya kebijakan perencanaan fiskal hingga ia menjadi ditelantarkan.
Padahal kebijakan infrastruktur harus diamanatkan secara warisan dan dilaksanakan secara konsisten. Tidak peduli siapa penguasanya dan berapa kali terjadi penggantian kepemimpinannya. Kata kunci konsistensi harus pula didasarkan pada perencanaan jangka panjang yang menyertakan akal sehat dan melibatkan banyak pihak untuk menjadikannya sebagai sebuah ikrar menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Kita harus mengakui hilangnya momen besar pembangunan infrastruktur Aceh hasil kajian dua dekade lalu dengan nama jaringan jalan laba-laba, yang kemudian direvisi menjadi Ladia Galaska. Kita juga kehilangan momentum jargon pembangunan jalan dan air yang sangat rasional ketika itu sebagai kebutuhan dasar pembangunan provinsi ini.
Kita tak peduli siapa yang menghasilkan konsep itu dan nama apa yang harus dilekatkan pada program yang sama pada setiap penggantian rezim. Masa bodoh itu. Sama dengan masa bodohnya kita tentang kepemimpinan dan periodesasinya. Yang perlu kita ketahui, pembangunan jalan itu haruslah menjadi sebuah kesinambungan untuk mencairkan kebekuan isolasi kawasan dan mendekatkan produk yang dihasilkan dengan pasar.
Jaringan jalan itu, sejak dikonsep, selain ditujukan untuk mematahkan isolasi daerah pedalaman sebagai basis produksi pertanian, juga untuk menyediakan alternatif bagi jalan prang, hasil rekayasa Belanda, yang selama ini mengiris pantai utara-timur dan barat-selatan yang produktifitasnya hanya melahirkan kota-kota pasar yang sebagian besar di antaranya tidak memiliki hinterland. Jalan prang yang denyut ekonomi akan berhenti kalau ia bikin ulah.
Catatlah contoh kasus di Aceh Barat-Selatan ketika jalan Meulaboh-Medan meriang oleh longsor, banjir dan sebagainya yang membuat komoditi pertanian tersumbat akses pasarnya dan tidak akan punyai nilai. Sebuah ironis yang selalu terjadi berulang-ulang dan kita menganggapnya sebagai sebuah trial and error.
Untuk mendekatkan kasus pembangunan infrastruktur ini dengan realitas kebutuhan kewilayahan, perlu pengerucutan telaah ke sub sektor transportasi, terutama darat dan laut. Presentasikan secara makro efek apa yang ditimbulkan oleh keminiman sarana ini dengan teori pertumbuhan ekonomi. Dan proyeksikan pula bila perencanaannya terarah, berjangka panjang, sistematis dan mendapat dukungan politik anggaran. Jawabannya pasti akan bisa dijawab oleh para ekonom dan pengamat dengan kurva pertumbuhan berkesinambungan.
Di sektor hubungan darat, misalnya, selain membangun jalan alternatif kita harus menghidupkan kembali program kereta api. Program ini harus masuk agenda utama kita karena sifatnya yang massal dan murah. Apalagi secara historis kita memiliki pengalaman yang panjang dengan moda angkutan ini.
Dan ketika program ini direalisasikan lima tahun lalu dengan membangun jaringan rel yang hanya belasan kilometer dan mendatang loko secara setengah hati, kita menangkap sinyal adanya kemajuan konsep pembangunan alternatif di bidang transportasi di lingkungan pengambil keputusan.
Pembangunan kembali jaringan kereta api di Aceh jangan diartikan sebagai program gagah-gagahan. Ia adalah konvergensi dari pembangunan transportasi secara menyeluruh. Konvergensi ketika kita mengalami perpaduan pilihan jalan raya dengan kereta api, Atjeh Staats Spoor yang mendinamisasi pertumbuhan ekonomi Aceh higga ke pelosok-pelosok negeri.
Untuk itu kita tidak tahu apa benar program kereta api Aceh benar-benar telah disingkirkan dari kebijakan fiskal provinsi. Sama dengan tidak tahunya kita dengan alasan, kalau pun program ini dihapus, alasan yang menyertai ia ditiadakan. Sama saja dengan ketidaktahuan bagaimana politik anggaran dijalankan dan apa prioritas yang ingin dicapai.
Khusus terhadap pembangunan infrastruktur transportasi kereta api ini kita bisa belajar dari kemauan bersama para gubernur di Kalimantan untuk mewujudkan jaringan kereta api dengan menggandeng investor Russia. Kita juga baru saja mendengar,pekan lalu, bagaimana Menteri Perhubungan EE Mangindaan menjadi mediator dalam mempertemukan para gubernur se Sulawesi untuk menyiapkan konsep jaringan kereta api dengan melepaskan ego sektoral kedaerahan mereka masing-masing.
Aceh, sebenarnya, jauh lebih unggul dalam hal kultural dengan dua pulau besar itu dalam mengenal kereta api. Tapi kita melupakannya sebagai prioritas. Bahkan kami tersentak, kalau kabar ini benar, bahwa pemerintah provinsi “membuang” dalam plot perencanaan anggaran kelanjutan pembangunan jaringan kereta api.
Kalau kabar itu benar, sangat sulit bagi kita untuk menerima kebijakan sepihak ini, apa pun alasan pengenyampingannya.. Kita tidak ingin memperdebatkan studi yang menyertai kelanjutan pembangunan jaringan kereta api ini dikesampingkan. Yang kami tahu jaringan kereta api seharusnya merupakan pilihan prioritas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Aceh bersamaan dengan pembangunan sektor pertanian yang berkonsep di siaopkannya industri hilir. Sebuah konsep pertanian terpadu yang menempatkan komoditi unggulan dalam skala prioritas penangangannya.
Kita tidak ingin berdebat baik secara makro maupun mikro relevansi pembangunan infrastruktur transportasi Aceh kedepan dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Kita juga bukan dalam kapasitas untuk mengkaji dampak dari orientasi mau pun reorientasinya secara fiskal. Yang kita pahami sampai hari ini Aceh masih mengalami pergulatan dengan minimnya infrastruktur yang menyebabkan harga aqua galon menjadi dua kali lipat dibanding dengan harga eceran di pasar lokal di Medan.
Kita juga memahami hingga hari ini belum ada pergeseran orientasi pasar Aceh dari Sumatera Utara untuk sebagian besar kebutuhan pokok. Orientasi dari pasar produk komoditi Aceh, dan juga orientasi ekspor lewat pelabuhan Belawan.
Ini sebuah realisasi yang sangat sulit terbantahkan. Dan kita masih jauh dari kenyataan untuk mampu mengekspor komoditi sendiri dalam jumlah besar ditengah makin tingginya tuntutan modernisasi pelabuhan. Kita pasti tidak akan mampu membangun pelabuhan container moderen yang perhitungan ke-ekonomiannya tidak akan menemukan kelayakan diperencanaan awal.
Kita tahu tahu kapal-kapal cargo kini sudah mulai memensiunkan yang berukuran di bawah 1.000 container. Belawan saja sudah mulai memasuki revitalisasi untuk menjadi pelabuhan cargo 3.000 teus. Pelabuhan yang dikaitkan dengan ekonomis cost angkutan, Dan selama ini persoalan paling mendasar dari ke-ekonomisan produk komoditi Aceh berasal dari mahalnya biaya angkutan “Jangan mimpi pelabuhan kita akan dirapati kapal cargo ukuran jumbo,” kata seorang teman ekonom.
Pelabuhan kita, hingga kini, masih menyandang predikat status quo semi pelabuhan samudera. Pelabuhan tradisional dengan kapal-kapal ukuran samudera yang harga bongkarmuatnya bisa lebih mahal dari ongkos kapalnya sendiri. Ini memang sebuah dilema Aceh. Dilema juga dari mahalnya harga kebutuhan pokok karena ongkos transportasinya yang berlipat. []