Dia dulu pernah di pt arun. Umurnya sepantaran dengan saya. Tujuh puluh pertengahan. Sekali tepuk lagi pas ditengah angka tujuh puluhan.
Posisinya di perusahaan kilang gas itu setara manajer. Manejer satu tangga di bawah general manajer. Manajer yang sering saya recoki usai perkenalan pertama.
Perkenalan lewat seulangkai sayed mudahar ahmad. Sayed yang bagian dari pt arun. Teman karib sesama jurnalis. Teman satu trah yang kemudian saya antarkan jadi bupati di aceh selatan.
Yang dia di awal tulisan ini bukan orang aceh. Asli sunda. Sunda bagian selatan. Selintasan dengan pangandaran. Tapi jangan tanya ke dia tentang aceh. Ia lebih “atjeher” dari aceh beneran.
Saya berani taruhan tentang “aceh beneran”nya itu. Hingga kini ia masih tahu matematika a..b..c hingga d-nya aceh. Akar hingga serabut otaknya sudah berpilin dengan ke-aceh-an
Saya mafhum keacehannya ini. Sebagai manajer di pt arun dialah orang yang menggagas arah community development perusahaan raksasa itu. Ia yang bikin road map-nya.
Tidak hanya penggagas tapi ia juga “herder”nya. Bahasa prokem dari “herder” itu “anjing geladak.” Anjing yang melong..long jika program tersendat
Program yang membuatnya sering mereseki lewat “turba.” Turba yang akronim turun ke bawah.
Turun ke bawah ke petani, pengrajin atau siapa saja penerima community development. Turba yang sering mengajak saya. Mengajak untuk bisa ditulis. Mengajak sembari menyalami amplop tebal…hahaha…
Tanyakanlah kepadanya nama sudut gampong di aceh utara. Ia bisa menyebut gampong-gampong di nisam hingga sawang. Ia akan enjoy bila makan siang di tengah sawah gampong meuligo.
Kalau gampong-gampong pinggir jalan raya banda aceh-medan nggak menjadi selera ceritanya.
Sampai hari saya ketemu buka bareng, kemarin. tak ada pergeseran haba acehnya. Yang ternyata ia lebih tahu tentang aceh hari-hari ini di banding saya.
“Punten… saya masih menjalin komunikasi dengan banyak orang aceh. Siapa saja dan dimana saja,” katanya ketika saya mendelik sembari mendesah merapatkan mulut agar nggak keluar bau jigong.
Maklum sepuluh terakhir puasa…
“Punten… komunikasi sekarang kan bisa dari telapak tangan,” katanya tersenyum. Komunikasi sapa aceh-nya banyak datang dari kaum community development-nya dulu.
Buka bareng di hari itu, kami bawa ‘gerbong” keluarga. Lokasinya adem. Di sebuah restoran khas sunda di purwakarta. Dikerindangan jati. Ada masjid kecil arsitekur joglo. Bersih sekali.
Restoran yang ia pilihkan untuk saya ada karedoknya. Karedok makanan favorit saya. karedok yang masih dalam keluarga pecal Cuma sayurnya mentah. Selera aceh ketelatan. Bukan aceh benaran yang kuah beulangong dan asam sunti.
Masalah selera saya termasuk nggak gaul. Dari dulu. Soto kudus, bak mi gajahmada atau pun sate senayan. Paling apes pilihan komprominya sate petamburan yang letaknya persis di depan komplek hrs. Habib rizieq sihab.
Ketemuannya di purwakarta merupakan hasil kompromi. Jalan tengah. Bukan tengah jalan. Ia dari subang saya dari Bekasi Sama-sama jabar. Ketemuannya juga di jabar.
Sebelum bukaan kami punya waktu tiga jam untuk bertukar haba. Bertukar sapa. Dimulai dari sapa haha..hihi.. untuk kemudian nyelonong ke haba kondisi aceh hari-hari ini.
Kondisi aceh yang mengalami stagnasi. Stagnasi akar katanya berarti sesuatu yang mengalami perlambatan atau hambatan.
Stagnasi pembangunan karena terjebak dalam polemik simbolisasi yang berdampak pada terjadinya degradasi ide untuk meningkatkan produktifitas pembangunannya.
Tidak hanya stagnan ide kreatif. Aceh juga mengalami “histeria” pragmatisme dari “romantisme pasca perang” dengan mengabaikan kebutuhan dasar dalam mereaktualisasikan kembali kebijakan pembangunannya
Mengabaikan pembenahan infrastruktur dasar yang dibutuhkan bagi landasan “jumping” menuju masyarakat berkesejahteraan. Masyarakat terbuka.
Dia hanya mengayunkan angguk dengan kondisi aceh itu. Ayunan angguk itu disertai tanya yang nggak memerlukan jawaban.
“Aceh kok bisa miskin terus ya.?”
Saya tidak dalam posisi menjawab pertanyaannya itu. Ia sendiri maklum. Saya menatapnya. Sebuah anggukan kencang kembali ia ayunkan. Lantas tersenyum.
Saya pun membalas senyumannya. Merenung sembari menyalin sebuah diskusi panjang saya dengan seorang guru besar ekonomi universitas tri sakti yang awak geutanyo.
Menyalin seperti yang saya tulis sebagai catatan seperti di bawah ini:
Kita tidak tahu apakah ada terjadi diskusi ide yang menuntun Aceh lebih maju di lingkungan intelektual dengan birokrasi, katanya menyimpulkan diskusi kami itu.
Kita juga tidak pernah mendengar, mungkin juga tidak tahu bagaimana rumusan kebijakan di lingkungan internalisasi “pemerintahan” untuk melahirkan “jargon” pembangunan yang “simple.”
Yang kita dengar hanya “boyongan” birokrasi atas “kepatuhannya” untuk mendikusikan polemik simbolisasi
Yang sudah pasti sangat-sangat tidak menyentuh kebutuhan dasar aceh sebagai “region” yang membutuhkan implementasi pembangunan infrastruktut dasar.
Kita jangan terjebak dengan kata “infrastruktur,” yang sering diretorikkan oleh birokrasi dalam artian fisik semata.
Infrastruktur yang kita maksudkan di sini adalah semua aspek pembangunan, baik fisik maupun social budaya.
Aceh sudah lama tidak memberi ruang yang luas bagi memulai pembangunan ini usai konflik yang menjungkir balikkan tatanan sosial sehingga menghasilkan fragmentasi kelompok, antara “kami” dan “kalian.”
Fragmentasi ini juga menyentuh pembagian posisi teknis dalam pemerintahan dengan batasan “orang kita” dan “bukan orang kita.”
Kita menyadari, usai “perang,” dibelahan dunia dan region mana pun, pasti akan terjadi rekonsialisasi kepentingan yang menumpangkan “romantisme pasca perang.”
Fase ini, kecuali yang terjadi di Europa. Jepang atau pun cina masa kini, biasanya akan di selingi euphoria yang panjang dan disertai benturan kepentingan.
Bahkan, di periode ini akan muncul faksionalisasi yang semua kepentingannya adalah pragmatisme.
Apakah Aceh mengalami periode ini?
Pasti. Periode dari terbelahnya kelompok atas dasar kepentingan pragmatis untuk mengejar patron yang bernama kekuasaan.
Untuk mengintrodusir eksistensinya masing-masing kelompok bersaing di akar rumput dengan sangat tidak elegent.
Dalam fase ini akan terbentuk sempalan yang dimarjinalkan oleh benturan akibat perebutan kekuasaan.
Catatlah berapa sudah kasus kekerasan di akar rumput yang menyebabkan terkoyaknya “ukhuwah” di antara faksi-faksi.
Memang tidak ada catatan secara hirarki aksi ini datang dari dari struktur atas atau pun meleibatkan elite masing-masing pihak.
Kita juga juga tak mendapat data, karena aksesnya tertutup atas nama “special case” Saya tidak terlalu mencermati proses terbelahnya kelompok dalam internalisasi kepentingan
Dampaknya terjadi faksi-faksi baru yang kemudian menjelma menjadi sebuah partai lokal baru..
Yang kami amati adalah terkooptasinya semua kepentingan dari kelompok yang ada dalam arus perebutan kekuasaan untuk mendapatkan “jatah hidup” yang bernama “proyek.”
Untuk itulah , ketika kemarin saya jumpa si dia mencuat saling tanya ini.
Saling tanya yang saya salami dia mengucapkan salam perih: ”selamat atas berlalunya lost pembangunan.
Saya tahu arti kata “lost” “Lost” dana alokasi umum untuk otonomi khusus. Dari dua persen menjadi satu persen. “Losting” juga alirannya selama enam belas tahun.
Saya sering tercenung usai menyadari bahwa kita telah melewati perioderisasi pemerintahan yang mengumbar harapan tentang “negeri” berkesejahteraan.
Saya juga menyadari dengan meriang, selama setahun ini kita sudah melewati sebuah fase yang hanya dihabiskan untuk polemik simbol yang dampaknya bagi rakyat hanya “pepesan kosong.”
Padahal, dulunya sekali, Aceh pernah memiliki “jargon” pembangunan yang sangat “simple” di masa lalu. “Jalan dan Air.”
Jargon yang sangat sederhana diikuti dengan konsistensi kebijakan yang mengedepankan koordinasi terpadu antar pelaksana lapangan dan hingga kini masih meninggalkan jejak spektakuler
“Krueng Aceh” dan “Kepastian Sampai ke Barat-Selatan.”
Membangun Aceh memang memerlukan kondusifitas dengan mengedapankan asas keadilan.
Saat kebijakan “Jalan dan Air” dikedepankan, dulu, ada benang merah yang menyertainya dari sisi pembangunan berkeadilan antara tiga pilar wilayah.
Ada pilar Timur-Utara yang didorong untuk tumbuh sebagai zona industri dan ada zona Barat-Selatan yang dikaitkan dengan zona Tengah dan dan didorong untuk tumbuh menjadi kawasan pertanian.
Tidak seluruhnya tujuan itu tercapai.
Tapi, paling tidak momen itulah yang bisa dicatat sebagai “megalomania” pertumbuhan pembangunan Aceh paling semarak sepanjang sejarah penggabungannya dengan “republik.”
Aceh kini, seperti dibisikkan seorang teman ekonom, yang juga guru besar ekonomi manajemen pemasaran dan pernah dua kali masa jabatan rektor kesulitan mengaktualisasikan ide-ide pembangunan ke dalam representasi riil.
Ia, ketika kami ketemu menjelang Ramadhan di keude kopi so;ong, mengatakan, “Aceh memiliki semuanya. kecuali ketidaksepahaman.”
Ia menyebut ketidaksepahaman ini dalam “konteks Aceh pragmatis dengan pemikiran “abstrak” yang sulit dibaca oleh “intelektual” mana pun.
Dengan tertawa ia menunjuk kasus polemik qanun-qanun simbolik yang telah menguras enerji.
Ia juga menunjuk kasus “an”rasionalitas penyusunan anggaran pendapatan dan belanja provinsi yang tidak akuntabal dan kapabel, tapi fleksibel menampung muatan yang sangat menyimpang dari tujuan “wefare state.”
Tujuan populis atas dasar kepentingan yang sama di antara para “stakeholder” kekuasaan di pemerintahan-dalam hal ini eksekutif dan legislatif
Sang kawan juga mengingatkan betapa dahsyatnya Jakarta sekarang memprovokasi Aceh dengan membiarkan elite pemerintahannya membuat kesalahan dalam penyusunan anggaran dan kebijakan.
Pusat menjebak kesalahan ini dengan tidak memberikan supervise dan consultan dalam penyusunan kebijakan anggaran dan arah pembangunan.
Mereka tahu ada kekuatan faksi yang mendominir tapi tidak memiliki cukup pengalaman bagaamana teknis visi pembangunan dan penyusunan anggaran bisa direalisir.
Pembiaran ini, bagi kami, adalah dosa besar mereka untuk kesetaraan Aceh menuju lompatan kesejehteraan.
Mereka juga tahu bagaimana egoisnya salah satu faksi menggoalkan setiap kemauannya sehingga akan menjadi benturan dalam hirarki peraturan.
Dalam kasus ini biasanya Jakarta hanya menunggu.
Belajar dari kasus-kasus ini dibutuhkan “jiwa besar” para elite Aceh untuk secara bersama mencari pijakan dalam merumuskan konsep pembangunan yang akan dicerminkan lewat politik anggaran.
Bagi kita, kasus “lost” booming gas, sebenarnya, bisa dipakai sebagai acuan kerangka pembangunan besar Aceh kedepan.
Aceh telah kehilangan momentum awal untuk menuju provinsi “welfare.”
Dan Aceh juga sedang dihadang oleh “lost” momentum di pertengahan perjalanan pembangunannya dengan masih saratnya kepentingan kelompok dan perorangan yang menyertai “proyek” anggarannya.
Kita memang tidak tahu apakah Aceh akan membiarkan status istimewanya dalam poltiki anggaran atas nama “otonomi khusus” akan mengapung di langit khayal?
Kita tidak bisa menjawabnya karena tidak berada dalam kooptasi kepentingannya.