Aceh mengalami stagnasi ide kreatif dalam membenuhi pembangunannya karena terjebak dalam polemik simbolisasi yang berdampak pada terjadinya degradasi ide untuk meningkatkan produktifitas pembangunannya.
Tidak hanya stagnan ide kreatif, Aceh juga mengalami “histeria” pragmatisme dari “romantisme pasca perang” dengan mengabaikan kebutuhan dalam mereaktualisasikan kembali kebijakan pembangunan dan pembenahan infrastruktur dasar yang dibutuhkan bagi landasan “jumping” menuju masyarakat berkesejahteraan.
Kita tidak tahu apakah ada terjadi diskusi ide yang menuntun Aceh lebih maju di lingkungan intelektual dengan birokrasi. Kita juga tidak pernah mendengar, mungkin juga pernah tahu bagaimana panel diskusi di lingkungan internalisasi “pemerintahan” untuk melahirkan “jargon” pembangunan yang “simple.”
Yang kita dengar hanya “boyongan” birokrasi atas “kepatuhannya” untuk mendikusikan polemik simbolisasi sejak dari Jakarta, Aceh Batam, Makassar dan Jakarta lagi, yang sudah pasti sangat-sangat tidak menyentuh kebutuhan dasar Aceh sebagai “region” yang membutuhkan implementasi pembangunan infrastruktut dasar.
Kita jangan terjebak dengan kata “infrastruktur,” yang sering diretorikkan oleh birokrasi dalam artian fisik semata. Infrastruktur yang kita maksudkan di sini adalah semua aspek pembangunan, baik fisik maupun social budaya.
Aceh sudah lama tidak memberi ruang yang luas bagi memulai pembangunan ini usai konflik yang menjungkir balikkan tatanan sosial sehingga menghasilkan fragmentasi kelompok, antara “kami” dan “kalian.” Fragmentasi ini juga menyentuh pembagian posisi teknis dalam pemerintahan dengan batasan “orang kita” dan “bukan orang kita.”
Kita menyadari, usai “perang,” dibelahan dunia dan region mana pun, pasti akan terjadi rekonsialisasi kepentingan yang menumpangkan “romantisme pasca perang.” Fase ini, kecuali yang terjadi di Europa usai Perang Dunia Kedua, biasanya akan di selingi euphoria yang panjang dan disertai benturan kepentingan. Bahkan, di periode ini akan muncul faksionalisasi yang semua kepentingannya adalah pragmatisme.
Apakah Aceh mengalami periode ini? Pasti. Periode dari terbelahnya kelompok atas dasar kepentingan pragmatis untuk mengejar patron yang bernama kekuasaan. Untuk mengintrodusir eksistensinya masing-masing kelompok bersaing di akar rumput dengan sangat tidak elegent. Dalam fase ini akan terbentuk sempalan yang dimarjinalkan oleh benturan akibat perebutan kekuasaan.
Catatlah berapa sudah kasus kekerasan di akar rumput yang menyebabkan terkoyaknya “ukhuwah” di antara faksi-faksi. Memang tidak ada catatan secara hirarki aksi ini datang dari dari struktur atas atau pun meleibatkan elite masing-masing pihak. Kita juga juga tak mendapat data, karena kepolisian seperti menutupnya untuk “special case” kriminil biasa.
Kami tidak terlalu mencermati proses terbelahnya kelompok dalam internalisasi kepentingan sehingga terjadi faksi-faksi baru yang kemudian menjelma menjadi sebuah partai lokal baru.. Yang kami amati adalah terkooptasinya semua kepentingan dari kelompok yang ada dalam arus perebutan kekuasaan untuk mendapatkan “jatah hidup” yang bernama “proyek.”
Untuk itulah , ketika di sebuah pagi pertama penanggalan Juni lalu kami menerma sebuah pesan pendek dari seorang teman, teknokrat yang kini berada di pusar pemerintahan Jakarta, yang isinya mengucapkan salam perih,”Selamat atas berlalunya lost pembangunan provinsi Anda.”
Saya terkesima dengan pesan pendek itu, tanpa menyadari bahwa kita telah melewati setahun pemerintahan yang mengumbar harapan tentang “negeri” berkesejahteraan. Saya juga menyadari dengan meriang, selama setahun ini kita sudah melewati sebuah fase yang hanya dihabiskan untuk polemik simbol yang dampaknya bagi rakyat hanya “pepesan kosong.”
Aceh pernah memiliki “jargon” pembangunan yang sangat “simple” di masa lalu. “Jalan dan Air.” Jargon yang sangat sederhana diikuti dengan konsistensi kebijakan yang mengedepankan koordinasi terpadu antar pelaksana lapangan dan hingga kini masih meninggalkan jejak spektakuler dalam bentuk “Krueng Aceh” dan “Kepastian Sampai ke Barat-Selatan.”
Membangun Aceh memang memerlukan kondusifitas dengan mengedapankan asas keadilan. Saat kebijakan “Jalan dan Air” dikedepankan, dulu, ada benang merah yang menyertainya dari sisi pembangunan berkeadilan antara tiga pilar wilayah. Ada pilar Timur-Utara yang didorong untuk tumbuh sebagai zona industri dan ada zona Barat-Selatan yang dikaitkan dengan zona Tengah dan dan didorong untuk tumbuh menjadi kawasan pertanian.
Tidak seluruhnya tujuan itu tercapai. Tapi, paling tidak momen itulah yang bisa dicatat sebagai “megalomania” pertumbuhan pembangunan Aceh paling semarak sepanjang sejarah penggabungannya dengan “republik.”
Aceh kini, seperti dibisikkan seorang teman ekonom, yang kini menjadi guru besar ekonomi regional di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, memiliki ruang yang sangat lebar untuk mengaktualisasikan ide-ide pembangunan ke dalam representasi riil. Ia percaya Aceh memiliki semuanya. “Kecuali ketidaksepahaman.”
Ia menyebut ketidaksepahaman ini dalam “konteks Aceh pragmatis dengan pemikiran “abstrak” yang sulit dibaca oleh “intelektual” mana pun. Dengan tertawa ia menunjuk kasus polemik qanun-qanun simbolik yang telah menguras enerji.
Ia juga menunjuk kasus “an”rasionalitas penyusunan anggaran pendapatan dan belanja provinsi yang tidak akuntabal dan kapabel, tapi fleksibel menampung muatan yang sangat menyimpang dari tujuan “wefare state.” Tujuan populis atas dasar kepentingan yang sama di antara para “stakeholder” kekuasaan di pemerintahan-dalam hal ini eksekutif dan legislative.
Sang kawan juga mengingatkan betapa dahsyatnya Jakarta sekarang memprovokasi Aceh dengan membiarkan elite pemerintahannya membuat kesalahan dalam penyusunan anggaran dan kebijakan. Pusat menjebak kesalahan ini dengan tidak memberikan supervise dan consultan dalam penyusunan kebijakan anggaran dan arah pembangunan.
Mereka tahu ada kekuatan faksi yang mendominir tapi tidak memiliki cukup pengalaman bagaamana teknis visi pembangunan dan penyusunan anggaran bisa direalisir. Pembiaran ini, bagi kami, adalah dosa besar mereka untuk kesetaraan Aceh menuju lompatan kesejehteraan.
Mereka juga tahu bagaimana egoisnya salah satu faksi menggoalkan setiap kemauannya sehingga akan menjadi benturan dalam hirarki peraturan. Dalam kasus ini biasanya Jakarta hanya menunggu. Seperti kasus qanun Wali Nanggroe yang di kembalikan tanpa mendapat persetujuan. Kasus bendera dan lambing Aceh yang harus menempuh perjalanan panjang untuk dirumuskan kembali. Bahkan kasus APBA yang harus disusun ulang untuk disesuai dengan ketentuan penganggaran yang benar.
Belajar dari kasus-kasus ini dibutuhkan “jiwa besar” para elite Aceh untuk secara bersama mencari pijakan dalam merumuskan konsep pembangunan yang akan dicerminkan lewat politik anggaran. Bagi kita, kasus “lost” booming gas, sebenarnya, bisa dipakai sebagai acuan kerangka pembangunan besar Aceh kedepan.
Aceh telah kehilangan momentum awal untuk menuju provinsi “welfare.” Dan Aceh juga sedang dihadang oleh “lost” momentum di pertengahan perjalanan pembangunannya dengan masih saratnya kepentingan kelompok dan perorangan yang menyertai “proyek” anggarannya.
Kita memang tidak tahu apakah Aceh akan membiarkan status istimewanya dalam poltiki anggaran atas nama “otonomi khusus” akan mengapung di langit khayal? Kita tidak bisa menjawabnya karena tidak berada dalam kooptasi kepentingannya.