Site icon nuga.co

“Tempurung” Ladong

Hari ini saya ingin memenuhi janji.

Janji menulis cangkang sawit.

“Tempurung” sawit.

Tapi bukan “tempurung” sawit dari Ladong kawasan industri  milik Pema yang saya takziahi atas kebaikan seorang teman di awal ramadhan lalu.

Kawasan industri yang ketika kami datang penghuninya cuma alpine green energie. Pemilik pabrik cangkang sawit yang dalam tulisan di “kolom bang darman,” pekan lalu,  saya pelesetkan dengan “tempurung.”

Kali ini saya nggak mau mempelesetkan cangkah itu dengan “tempurung” lagi.

Dan tak mau  menghibahkan kawasan industri yang dibangun dari dana apebede ratbahwa ia cemberutusan milyar rupiah itu. Yang masih sepi penghuni itu.

Asbabunnuzum dari tak mau saya berghibah kawasan industri Ladong itu datang seorang teman di “naca” sana.

Ia seorang pejabat. Dan mengingatkan ghibah tempurung itu menyebabkan banyak orang cemberut.

Termasuk seorang petinggi perusahaan Pema si pemilik kawasan industri itu.

Dia tersinggung.

Untuk membuktikan  bahwa ia cemberut, beberapa hari lalu dia saya sapa. Tak mau menyahut panggilan handphone saya lewat dua dering:  halo dan whatsapp.

Padahal, dulunya, begitu ada dering dan nama saya tertera dilayar hape-nya langsung creng…  Betul ya…

Aahh udahlah…maaf.. dan lupakan.

“Memaafkan itu mudah. Melupakan payah ngon,” ujar sang teman ketika saya ucapkan maaf.. maaf…

Nah,, kalau soal cemberut itu terus jadi bahasan lantas jawaban soal cangkang ini tentu nggak bisa jalan. Bisa bikin mumet.

Padahal saya ingin menulis tentang “booming” cangkang yang kini menjadi tren ekspor. Berapa pun banyaknya. Jutaan ton pun akan di tampung. Bisa ke satu negara tujuan.

Itulah yang saya dengar dari seorang teman tentang kebutuhan cangkang untuk bahan bakar boiler guna penggerak turbin-turbin pabrik yang enerjinya hijau.

Teman yang sudah memulai ekspor cangkang. Sudah sekian ratus ribu ton. Yang membawa ke timbunan cangkang bak gunung kecil di sebuah lokasi pabrik miliknya.

Dan ketika saya tawarkan untuk mendatangkan cangkang dari negeri saya ia melengos. “Payah. Jauh. Apa aman?”

Saya terjengkang  kata akhir yang ia ucapkan. “Apa aman.”

Kesannya menyeramkam. Sepertinya negeri saya belum aman, Seakan masih ada perang seperti rusia lawan ukraina. Yang untuk selanjutnya saya nggak ingin menanyakan tentang cangkang dari tanah air saya itu.

Padahal alpine green energi, pabrik cangkang di Ladong, kok nggak jadi masalah. Cuma yang jadi masalah ekspornya masih dalam hitungan ribuan. Lima hingga sepuluh ribu ton. Sedang sang teman udah ratusan ribu.

Ya saya maklum beda klasnya.

Maklum  juga ketika ia menjelaskan tentang cangkang yang mampu menggerakkan jenis mesin berbasis uap

Nilai ekspornya, seperti yang dikatakan sang teman, untuk tahun lalu saja mencapai enam trilun rupiah. Tentu bukan hanya dia sendiri eksportirnya. Keroyokan.

Namun begitu ia juga mengeluh tentang prospek ekspor ini.

“Pajak dan cukainya mahal,” katanya.

Nilai pajak yang kemudian saya tanya ke anak. Anak saya yang consultan tax and bisnis. Yang penjelasannya membuat saya doyong. Pusing…

Nggak ngerti karena ada pe-pe-en, pe-pe-ha dan entah apalagi pe-pe-nya.

Sebelum tulisan ini lanjut Anda perlu tahu dulu apa yang disebut dengan cangkang.

Cangkang itu adalah sisa pecahan tempurung sawit. Pecahan yang telah dikeluarkan bijinya  di palm oil mill.  Bijinya yang dijadikan minyak goreng. Minyak goreng yang membuat Menteri perdagangan di copot Jokowi.

Dicopot karena mak-mak marah dan antri belinya. Barangnya langka dan harganya mahal.

Lantas Jokowi beri Luhut Binsar Panjaitan, menteri segala urusan itu, untuk membenahinya. Dan saya nggak tahu apa bisa beres, Entahlah..

Yang saya tahu cangkang sawit itu merupakan bahan yang berserat dan mudah penanganannya. Bisa langsung dipasarkan.

Cangkang itu mengandung lignin, hemiselulosa, selulosa, air. Ada abu dan komponen ekstraktif, dimana seluruh unsur ini termasuk senyawa hidrokarbon.

Makanya, sebagai energi ia berpredikat green. Hijau. Karena kandungan abunya hanya setengah persen.

Permintaan dan harganya terus meningkat, Karena energinya baru dan terbarukan. Istilah kerennya renewable energi.

Di Jepang saja, saat ini, yang  menjadi pangsa pasar terbesar cangkang sawit permintaannya gila-gilaan. Akan meningkat terus menjadi pasar utama komoditas tersebut.

Untuk tahun ini saja kebutuhan Jepang untuk cangkang bisa enam koma lima juta ton.

Permintaan itu sejalan dengan kebijakan energinya  yang menetapkan seperempat kebutuhannya berasal dari energi baru dan terbarukan.

Sedangkan jumlah cangkang sawit yang diproduksi di dalam negeri mencapai jumlah sebelas juta ton lebih. Termasuk cangkang dari pabrik kelapa sawit di Aceh.

Pemeliharaan cangkang sawit juga terbilang mudah dibandingkan wood pellet atau pelet kayu,  yang juga jadi green enerji. Wood pelet membutuhkan gudang tertutup dengan kondisi kelembaban khusus

Sementara cangkang sawit cukup diletakkan di lahan terbuka, dia tidak memengaruhi apapun terhadap kualitas kalori.

Selain untuk menggerakkan mesin pabrik cangkang sawit bisa juga menjadi pakan ternak.

Cangkang yang telah dihaluskan dicampurkan dengan bagian lapisan luarnya bisa menjadi campuran makanan ternak.

Dapat meningkatkan metabolisme tubuh sekaligus pertumbuhan hewan ternak seperti sapi, kambing, bebek, ikan, dan ayam.

Nah selain itu cangkang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengeras jalan. Menggantikan fungsi aspal.

Hal ini karena harga cangkang lebih ekonomis dan ramah lingkungan serta tingkat kualitas yang dimiliki cangkang sawit tidak kalah dengan aspal fosil pada umumnya.

Inilah yang terjadi ketika cangkang belum menjadi bahan baku ekspor. Seperti yang bisa kita dapatkan di Lae Butar, Seumayam, Seunangan dan Tamiang di Aceh.

Dimana socfin, perusahaan milik belgia, yang menjadi pionir sawit di Indonesia, sejak seribu sembilan ratus dua puluh enam, sebelum sinar mas dan wimar berkibar, menjadikan cangkang sebagai pengeras jalan di lokasi pabriknya.

Makanya untuk perusahaan pembangunan Aceh atau pema jangan tersinggung dengan pabrik “tempurung” sawit. Jangan cemberut ketika di “kick”  yang menghuni kawasan industrinya pabrik tempurung.

Perusahaan pembangunan aceh yang kemarin kami ketawakan dengan banyak teman aneuk nanggroe di sebuah duek pakat.

Pema yang membuat acara gagah-gagahan untuk penyerahan dividen sebesar dua puluh satu milyar rupiah ke pemda provinsi.

Yang bikin ketawa ngakak seorang kawan berusia muda karena dana yang sudah dimakan perusahaan itu dari apebede tanpa perjanjian bunga dan hitungan modal.

“Modal gratis labanya cepek dan dividennya cuma hitungan dua puluhan milyar rupiah bikin acara meriah,” timpalnya.

Yang si “aneuk aso lhok” itu sendiri dengan modal dengkul bisa menghasilkan deviden segepok dan punya link bisnis hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan,

Ia juga ketawa dengan aliran dana  sebesar seratus lima puluh delapan milyar ke perusahaan yang kini mengelola sumur kering di Arun dan oleh gubernurnya yang akan “soh” dibanggakan sebagai berprospek cerah.

Yang seperti dikatakannya “kan cerah itu ada di langit”

Maksudnya saya tangkap, di awang-awang.

Exit mobile version